Udara yang sejuk, wangi dan hening begitu terasa di dalam ruangan besar itu. Sebuah pendingin udara merek mahal menempel di tembok berdengung halus. Tirai coklat dengan benang emas halus melambai pelan dan berkilau menutupi cahaya matahari pagi yang masuk dari jendela. Di sudut ruangan, lemari kaca besar memamerkan beberapa piala dan piagam penghargaan. Sebagian besar disi plakat penghargaan hasil kerjasama “program kemitraan sekolah” sebuah istilah dari kerja sama penuh kepentingan. Beberapa foto terpajang kepala sekolah tersenyum lebar bersalaman dengan pejabat dinas pendidikan dengan penuh pencitraan.
Pak Damar masih terdiam duduk di sofa empuk dengan tangan menggenggam map merah yang kusut seperti isi pikirannya. Matanya masih menyapu ruangan yang terlalu megah untuk sekolah swasta di pinggir kota. Sesekali Pak Damar melihat gerak jarum jam berbingkai kayu jati di dinging yang membuat dadanya sesak. Sorot matanya terhenti ketika suara pintu terbuka pelan, ia tahu ini adalah momen kejujurannya akan diuji.
Bu Vina, kepala sekolah telah datang.
“Pak Damar, maaf menunggu lama.” katanya lembut, tapi nada suaranya mengandung kuasa.
Langkah kaki yang anggun menghampiri Pak Damar, dan duduk dihadapannya sambil membuka map merah kusut berisikan tumpukan kertas penghargaan milik Pak Damar.
“Saya sudah melihat surat lamaran Pak Damar kemarin, jadi saya menghubungi dan menerima bapak untuk mengajar di sekolah ini.” katanya tersenyum kecil.
“Untuk hari ini bapak sudah mulai mengajar di kelas 10 A, dan ini buku nilai para murid dari guru sebelumnya.” tambahnya.
Pak Damar menatapnya, mengangguk dan tak mengelak.
“Terima kasih bu sudah menerima dan memberikan kesempatan kepada saya untuk mengajar di sekolah ini.” ucap Pak Damar dengan lembut dan tegas.
Bu Vina tersenyum senang.
“Baik, sekarang Pak Damar bisa menuju ruang guru yang ada di samping ruangan ini dan bisa berkenalan dengan para guru di sekolah ini.” ucap Bu Vina pelan.
***
Sebuah ruang guru kecil tepat disamping ruang kepala sekolah. Pak Damar mendorong pelan pintu kayu ruang guru yang berderit, seperti enggan dibuka. Udara di dalam ruangan terasa pengap, tidak ada pendingin ruangan hanya jendela yang terbuka setengah di ujung ruangan. Beberapa meja dipenuhi tumpukan kertas ulangan lama yang berdebu dan belum diperiksa. Di sudut ruangan, rak buku besi tua yang berdebu dan banyak folder kusut tak tersentuh.
“Kosong,” ucap pelan Pak Damar.
Ia melangkah perlahan, meletakan map di meja kosong tak berpenghuni. Tidak ada guru lain di sana. Namun di buku kehadiran guru, tertulis dengan pulpen merah “Absensi tanggung jawab masing-masing.” Kalimat itu seolah membenarkan kepergian para pendidik di sekolah ini tanpa jejak. Pak Damar duduk terdiam, menyandarkan tubuhnya dengan perasaan seolah mengajar sendirian di sekolah. Padahal waktu itu masih menunjukan pukul jam 7 pagi.
“Mungkin para guru sudah ada di kelas mereka masing-masing.” gumamnya dalam hati.
Tanpa berpikir panjang Pak Damar berdiri perlahan dari kursinya. Langkah ia mantap keluar ruangan dan menuju ruang kelas 10 A. Kelas yang akan menjadi binaannya selama mengajar di sekolah ini. Digenggaman tangan kanannya ia membawa buku nilai kelas 10 yang ditinggalkan guru sebelumnya.
***
Koridor sekolah masing lengang, hanya terdengar suara sepatu murid yang berlarian di kejauhan dan sesekali tawa di tiap ruang kelas. Sesekali ia melihat dari sisi jendela kelas yang usang tidak ada satupun guru yang masuk dan mengajar. Langkah ia terhenti di ujung lorong dengan papan kayu kecil menggantung bertuliskan kelas 10 A. Di depan pintu kelas, Pak Damar menarik napas sejenak sebelum ia mengetuk pintu. Suara gaduh mulai melemah. Beberapa murid memperhatikannya dengan tatapan penasaran, sebagian lainnya tidak memperdulikan kedatangan Pak Damar.
“Selamat pagi,” ucap Pak Damar dengan suara lembut.
Murid-murid hanya terdiam membisu tidak ada jawaban yang berarti. Ruangan yang mulai hening, hanya menyisakan tatapan kosong dari sebagian murid. Seorang siswa duduk di sudut belakang, menatap ponselnya seperti pelajaran bukan urusannya. Pak Damar memandang wajah-wajah para murid yang tampak jenuh, tidak ada rasa semangat dan tidak perduli. Melihat situasi kelas yang dingin, ia langsung berjalan ke papan tulis. Dengan spidol merah Pak Damar menulis di papan tulis huruf besar dan tegas “MENJADI GENERASI YANG JUJUR, KRITIS, DAN BERANI BERUBAH”.
Seketika kelas menjadi hening. Beberapa murid saling melirik, ada yang tersenyum dan bingung. Tetapi perhatian mereka tertuju penuh ke papan tulis. Mereka saling berbisik, karena kalimat itu terasa berbeda, bukan memahami materi yang akan diajarkan atau menguasai soal-soal. Pak Damar tersenyum kecil melihat suasana kelas yang sudah mulai berubah menjadi hidup dan hangat. Pak Damar lalu meletakan spidol merah di atas meja.
“Tulisan itu adalah tujuan kita hari ini, dan seterusnya.” Katanya dengan tegas.
Salah satu murid mengangkat tangan, dan bertanya kepada Pak Damar.
“Apa maksud tulisan itu pak?” bertanya dengan suara lantang.
Pak Damar hanya tersenyum kecil dan menjelaskan dengan bijak.
“Saya ingin kalian jujur menumbuhkan keberanian untuk berkata dan bertindak sesuai dengan fakta. Saya ingin kalian kritis untuk berpikir mendalam dan mempertanyakannya. Saya ingin kalian berani berubah untuk keluar dari kebisaan lama yang salah dan buruk demi perbaikan.” katanya dengan penuh bijaksana.
“Kalimat yang saya tulis itu bukan hanya tujuan belajar, tetapi juga semboyan perubahan di sekolah ini.” sambungnya.
Murid-murid tersenyum kecil dan saling berbisik. Sementara seorang siswi di barisan depan menggigit ujung pulpen sambil bergumam.
“Bagaimana kita bisa berubah pak?” tanyanya.
Kemudian salah seorang siswa kembali bertanya.
“Emang bisa ya sekolah ini berubah?” tanyanya. “Kita masuk sekolah ini pun karena sekolah ini bebas, tidak ada tekanan dari para guru, tetapi kita bisa lulus sekolah.” katanya sambil tertawa.
Pak Damar tidak marah. Ia menoleh dan tersenyum dalam hati. Mendengar pernyataan itu Pak Damar tidak menjawab dan mencoba menghapus tulisan merah di papan tulis itu .
“Kalau begitu, saya akan hapus tulisan ini.” katanya sambil menghapus tulisan.
Namun betapa terkejutnya murid-murid, karena tulisan spidol merah itu tidak bisa dihapus oleh Pak Damar. Mereka saling melirik dan terlihat bingung. Pak Damar berbalik badan dan mengambil satu langkah mendekati meja depan untuk menjelaskan kepada para murid.
“Kalian tentu bingung kenapa tulisan ini tidak dapat dihapus,” katanya.
“Spidol merah yang tidak dapat dihapus melambangkan prinsip hidup yang teguh, serta penanda awal perubahan terhadap sistem yang buruk.” tambahnya.
“Untuk perjuangan melawan kebiasaan buruk harus ditulis dengan tekat yang tidak mudah hilang, seperti spidol merah ini.” tegasnya.
Beberapa detik kemudian, murid-murid terdiam dan mengangguk pelan. Susana kelas menjadi hening, tapi binar mata para murid mulai bersinar. Ada rasa kagum dan harapan dari setiap wajah para murid ketika Pak Damar menjelaskan. Mereka paham sepenuhnya, bahwa harus ada langkah untuk menuju perubahan yang lebih baik. Sesuatu yang tidak biasa dari kejujuran dan ketulusan seorang guru di hadapan mereka.
***
Keesokan paginya, suasana di kelas 10 A tidak lagi sama seperti hari-hari sebelumnya. Murid-murid datang lebih awal dari biasanya dan dengan wajah yang lebih segar. Tidak ada lagi yang bermalasan di lorong sekolah atau duduk di kantin saat bel masuk berbunyi. Mereka masuk kelas dengan penuh semangat dan buku terbuka di ajas meja. Di papan tulis, masih telihat tulisan merah kemarin yang tidak terhapus “MENJADI GENERASI YANG JUJUR, KRITIS, DAN BERANI BERUBAH”.
Suasana kelas menjadi lebih berubah kearah yang positif. Beberapa murid selalu berdiskusi kecil sebelum pelajaran dimulai untuk membicarakan materi yang akan diajarkan bukan bergosip. Mereka juga inisiatif untuk mencatat kalimat di papan tulis itu ke dalam buku catatan sebagai motivasi dalam belajar.
Tidak beberapa lama bel berbunyi Pak Damar masuk kelas dan melihat pemandangan itu. Ia tersenyum senang menatap murid-murid. Tidak ada lagi wajah malas dan mata yang kosong. Semangat itu tidak dapat disembunyikan dari murud-murid. Pak Damar memulai dan mengakhiri pembelajaran di kelas itu dengan rasa bangga. Namun yang paling mengejutkan, perubahan itu tidak hanya di kelas 10 A.
Siang harinya, mulai terdengar kelas lain membahas soal tulisan merah di papan tulis yang tidak bisa dihapus itu. Di ruang guru pun mulai merasa heran, dengan sikap para murid yang tiba-tiba tenang lebih ingin belajar. Para guru mulai bertanya kepada Pak Damar. Bu Nurma, guru yang akrab dengan murid, menghampiri Pak Damar di ruang guru dan bertanya.
“Apa yang Pak Damar lakukan kemarin, luar biasa,”katanya
“Anak-anak sekarang sangat bersemangat untuk belajar, bahkan mereka antusias untuk berdiskusi.”sambung Pak Joko guru yang sudah sepuh di sekolah itu.
Pak Damar hanya tersenyum kecil dan menjelaskan kepada para guru apa yang ia lakukan. Guru-guru merasa heran dan takjub. Tak lama, ada banyak guru lain yang mulai menulis pesan moral sebelum mereka mengajar. Mereka merasa terinspirasi dari cara mengajar Pak Damar. Bahkan satu dua guru yang sebelumnya sering meninggalkan kelas dan mengajar asal sudah mulai masuk serta memperbaiki rencana mengajarnya. Situasi ini menjadi efek bola salju yang terus mulai bergerak. Guru-guru mulai aktif berdiskusi untuk metode pembelajaran. Murid-murid lebih berani menyampaikan pendapat. Bahkan kebiasaan bolos dan menyontek sudah mulai menurun drastis.
Perubahan positif di lingkungan sekolah ini sampai kepada Bu Vina kepala sekolah. Dahulu Bu Vina tidak perduli dengan keadaan para guru dan murid-murid di sekolah. Ia hanya memikirkan mandapat uang banyak dari sekolah swasta yang ia pimpin. Kini Bu Vina mulai sering berkeliling lingkungan sekolah dan memperbaiki fasilitas yang rusak. Dari sinilah revolusi kecil itu dimulai. Bukan dari ruang megah kepala sekolah. Bukan dari banyaknya surat edaran. Tetapi dari tulisan guru di papan tulis sederhana yang penuh makna.