TANTANGAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM BAYANG-BAYANG KKM, KKTP, DAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK

Pendidikan karakter telah menjadi agenda nasional dalam pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas dan bermoral. Sejak digulirkannya Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2016, karakter peserta didik menjadi sorotan utama. Namun, dalam pelaksanaannya, pendidikan karakter di sekolah-sekolah masih menghadapi banyak tantangan. Dua faktor yang cukup signifikan menjadi penghambat utama ialah sistem penilaian berbasis KKM atau KKTP dan kekhawatiran guru terhadap penerapan Undang-Undang Perlindungan Anak.

Karakter: Tujuan Ideal yang Terbentur Realitas Sistemik

Secara filosofis, pendidikan bertujuan membentuk manusia seutuhnya. Dalam Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan bertujuan “mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia…”.

Namun, dalam praktiknya, orientasi pendidikan di Indonesia masih sangat kuat pada aspek kognitif. Hal ini tercermin dari sistem penilaian yang selama bertahun-tahun menggunakan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) dalam Kurikulum 2013 dan KKTP (Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran) dalam Kurikulum Merdeka. Meski KKTP digadang-gadang lebih fleksibel, nyatanya fokus terhadap capaian akademik tetap dominan.

Dalam konteks ini, pendidikan karakter kerap terpinggirkan. Guru lebih sibuk mengejar ketuntasan materi daripada menanamkan nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, disiplin, dan empati.

Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Dr. H. Armai Arief, M.Ag., dalam buku “Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Islami”, pendidikan karakter harus menjadi bagian dari kurikulum yang diintegrasikan dalam semua mata pelajaran, bukan hanya sebagai tambahan. Namun, bagaimana bisa karakter menjadi prioritas jika guru terus-menerus dihantui oleh target nilai dan capaian belajar numerik?

KKM dan KKTP: Menjadikan Nilai Akademik Lebih Penting dari Nilai-Nilai Moral dan Etika

KKM awalnya dimaksudkan sebagai alat bantu untuk memastikan siswa memahami materi secara utuh. Namun, dalam implementasinya, KKM berubah menjadi “standar angka mati” yang menekan guru untuk memberi nilai di atas batas, bahkan ketika siswa sebenarnya belum menguasai materi maupun menunjukkan sikap belajar yang baik.

Hal ini diperkuat oleh survei Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat pada 2022 yang menunjukkan bahwa 63% guru mengakui pernah “menaikkan” nilai siswa agar memenuhi KKM, terutama karena tekanan dari orang tua, kepala sekolah, atau agar tidak mengganggu akreditasi sekolah.

Kondisi ini juga berlaku dalam sistem KKTP Kurikulum Merdeka. Walaupun KKTP lebih naratif dan bersifat deskriptif, banyak guru tetap merasa terjebak dalam tekanan administrasi dan harapan agar “semua siswa harus mencapai tujuan pembelajaran”, meskipun prosesnya tidak sejalan dengan pembentukan karakter.

Ketegasan Guru Terhalang Undang-Undang Perlindungan Anak

Di sisi lain, pelaksanaan pendidikan karakter membutuhkan ketegasan. Seorang guru harus mampu memberi peringatan, pembinaan, bahkan sanksi mendidik kepada siswa yang melakukan pelanggaran nilai. Namun, hal ini menjadi sangat sensitif sejak diberlakukannya UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sebagai perubahan dari UU No. 23 Tahun 2002.

Meskipun undang-undang tersebut sangat penting untuk melindungi anak dari kekerasan, tidak sedikit guru yang merasa kehilangan otoritas untuk menegakkan kedisiplinan. Ketegasan guru, yang seharusnya menjadi bagian dari pembinaan karakter, sering disalahartikan sebagai kekerasan psikis atau pelanggaran hak anak.

Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2023 mencatat bahwa terdapat lebih dari 500 aduan terhadap guru, sebagian besar terkait tindakan disiplin seperti memarahi siswa, menyita barang, atau memberi tugas tambahan. Meskipun tidak semua kasus berujung pidana, proses klarifikasi dan tekanan sosial membuat guru merasa takut mengambil tindakan korektif.

Seorang guru SMP di Bekasi yang diwawancarai dalam laporan Tirto (2023) mengatakan, “Saya hanya meminta siswa menulis surat permintaan maaf karena membolos, tapi orang tuanya melapor ke komite dan menyebut saya melakukan tekanan psikis. Sekarang saya hanya diam kalau ada anak bandel.”

Kondisi ini sangat mengkhawatirkan. Pendidikan karakter membutuhkan keteladanan, pembiasaan, dan juga koreksi. Jika guru tidak diberi ruang untuk melakukan koreksi secara wajar dan proporsional, maka yang tersisa hanyalah “transfer ilmu” tanpa pendampingan moral.

Dilema Guru: Terjepit Antara Aturan dan Tuntutan

Guru, sebagai ujung tombak pendidikan karakter, kini berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, mereka dituntut untuk membentuk karakter siswa. Namun di sisi lain, mereka tidak memiliki otonomi untuk bertindak tegas karena takut melanggar aturan hukum. Ditambah lagi dengan tekanan administratif dari sistem penilaian seperti KKM atau KKTP, fokus guru semakin terbagi antara melaporkan data dan membina anak.

Dalam diskusi pendidikan karakter oleh LPMP Yogyakarta (2023), banyak guru menyampaikan keluhan bahwa penilaian afektif hanya menjadi “pelengkap laporan”, bukan sesuatu yang benar-benar diinternalisasi dalam proses belajar. Seorang kepala sekolah bahkan berkata, “Kami sibuk memikirkan raport digital dan indikator capaian, sementara anak-anak semakin tidak peduli pada nilai-nilai.”

Rekomendasi dan Jalan Tengah

Masalah ini tidak bisa dibiarkan. Harus ada upaya kolektif dari pemerintah, sekolah, orang tua, dan masyarakat untuk menciptakan keseimbangan antara perlindungan anak dan otonomi guru dalam mendidik karakter. Beberapa langkah konkret yang dapat diambil adalah:

  1. Reformulasi Sistem Penilaian

KKM dan KKTP perlu lebih fleksibel dan tidak menjadi indikator tunggal keberhasilan pendidikan. Penilaian karakter harus dibuat lebih konkret dan berbobot dalam laporan belajar siswa.

  1. Sosialisasi UU Perlindungan Anak untuk Guru dan Orang Tua

Banyak pihak salah paham bahwa setiap teguran guru adalah pelanggaran. Sosialisasi yang masif dan diskusi terbuka perlu dilakukan untuk membedakan antara “mendidik” dan “melukai”.

  1. Perlindungan Hukum Bagi Guru yang Mendidik Sesuai Etika Profesi

Pemerintah perlu menerbitkan aturan turunan atau pedoman yang jelas agar guru merasa aman dalam mendisiplinkan siswa secara proporsional.

  1. Pelatihan Guru dalam Teknik Pembinaan Karakter Non-kekerasan

Guru perlu dilatih untuk menerapkan pendidikan karakter dengan pendekatan yang humanis namun tetap tegas.

  1. Keterlibatan Komite Sekolah dan Orang Tua dalam Penguatan Karakter

Pendidikan karakter tidak bisa dilakukan sendirian oleh guru. Orang tua dan komite sekolah harus menjadi bagian dari gerakan bersama.

Penutup

Pendidikan karakter adalah fondasi bagi masa depan bangsa. Namun fondasi itu kini goyah akibat dominasi sistem nilai seperti KKM dan KKTP, serta ketakutan guru terhadap pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Anak. Jika kondisi ini terus dibiarkan, kita akan menghasilkan generasi cerdas secara akademik namun lemah secara moral.

Sebagaimana dikatakan oleh Thomas Lickona, “Character education is not a quick fix, it’s a way of life.” Maka sudah saatnya sistem pendidikan Indonesia kembali menempatkan karakter sebagai pusat dari segala kebijakan dan memberikan kepercayaan penuh kepada guru untuk menjalankan tugas mulianya: mendidik manusia seutuhnya.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *