Transfromasi Budaya Dari Kelisanan Primer ke Kelisanan Sekunder

Transformasi Budaya dari Kelisanan Primer Ke Kelisanan Sekunder

Ainun Mutmainna

Universitas Negeri Makassar,Indonesia

 

Abstrak

Penelitian ini menganalisis transformasi budaya masyarakat dari era kelisanan primer menuju kelisanan sekunder, yang ditandai dengan munculnya dan dominasi teknologi komunikasi elektronik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan memahami perubahan fundamental dalam cara manusia memproduksi, menyimpan, dan mendistribusikan informasi serta pengetahuan akibat adopsi teknologi tersebut. Masalah utama yang dibahas adalah bagaimana media elektronik merekonfigurasi sensibilitas oralitas dalam masyarakat modern yang sebelumnya didominasi oleh budaya baca-tulis (literasi). Metode penelitian yang digunakan adalah kajian pustaka dengan pendekatan deskriptif-analitis, merujuk pada konsep-konsep kunci dari Walter J. Ong dan para ahli tradisi lisan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelisanan sekunder bukanlah kembalinya kelisanan primer, melainkan bentuk moralitas baru yang dimediasi teknologi, di mana karakteristik “langsung” dan “komunal” dari komunikasi lisan muncul kembali dalam format elektronik (misalnya, radio, televisi, dan internet). Simpulan dari artikel ini adalah bahwa teknologi telah mengubah lanskap budaya secara signifikan, menciptakan hibrida budaya yang menggabungkan elemen oralitas dan literasi dalam cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kata Kunci: Kelisanan Primer, Kelisanan Sekunder, Oralitas, Teknologi Komunikasi, Budaya Media.

Abstract

This study analyzes the cultural transformation of society from primary orality to secondary orality, marked by the emergence and dominance of electronic communication technology. The aim of this study is to identify and understand fundamental changes in the way humans produce, store, and distribute information and knowledge resulting from the adoption of this technology. The central issue addressed is how electronic media reconfigures the sensibility of orality in modern societies previously dominated by a culture of reading and writing (literacy). The research method used is a literature review with a descriptive-analytical approach, referring to key concepts from Walter J. Ong and other experts on oral traditions. The results indicate that secondary orality is not a return to primary orality, but rather a new form of technology-mediated morality, in which the “direct” and “communal” characteristics of oral communication re-emerge in electronic formats (e.g., radio, television, and the internet).

Keywords: Primary Orality, Secondary Orality, Orality, Communication Technology, Media Culture.

PENDAHULUAN

Pergeseran cara manusia berkomunikasi merupakan salah satu penanda evolusi budaya yang paling mendasar. Dari komunikasi lisan tatap muka, manusia beralih ke tulisan, kemudian cetak, dan kini, komunikasi elektronik yang serba cepat. Setiap pergeseran ini membawa konsekuensi kultural yang mendalam. Permasalahan sentral dalam penelitian ini adalah memahami hakikat perubahan budaya ketika masyarakat beralih dari kondisi kelisanan primer—di mana tulisan belum eksis—ke kelisanan sekunder, sebuah era di mana oralitas dimunculkan kembali melalui mediasi teknologi canggih seperti radio, televisi, dan internet (Ong, 2013).

Penelitian terdahulu mengenai oralitas dan literasi telah banyak dilakukan. Walter J. Ong (2013) secara ekstensif menjelaskan perbedaan psikodinamika antara budaya lisan dan tulisan. Para ahli lain seperti Danandjaja (1997) dan Sukatman (2009) telah mendokumentasikan kekayaan tradisi lisan di Indonesia, sementara Teeuw (1994) menganalisis interaksi kompleks antara kelisanan dan keberaksaraan dalam konteks Indonesia. Ratna (2011) melihat peran unsur budaya dalam proses kreatif sastra yang juga dipengaruhi oleh medium komunikasi.

Namun, yang masih memerlukan pendalaman lebih lanjut adalah analisis spesifik mengenai mekanisme transformasi dari kelisanan murni ke bentuk kelisanan sekunder yang dimediasi teknologi modern. Keterbatasan penelitian sebelumnya seringkali terletak pada fokusnya yang terpisah antara studi tradisi lisan klasik dan analisis media modern. Artikel ini bertujuan untuk menjembatani kesenjangan tersebut, menguraikan bagaimana teknologi tidak hanya mengubah alat komunikasi, tetapi juga cara kita berpikir, berinteraksi, dan merasakan realitas. Urgensi penelitian ini terletak pada kebutuhan untuk memahami lanskap media kontemporer di mana ‘budaya instan’ dan komunikasi ‘real-time’ mendefinisikan ulang norma-norma sosial dan budaya.

METODE

Penelitian ini mengadopsi pendekatan kualitatif dengan fokus pada studi literatur untuk mengeksplorasi hubungan antara teknologi dan oralitas. Sumber data primer meliputi karya-karya fundamental dari Walter J. Ong, James Danandjaja, Nyoman Kutha Ratna, dan A. Teeuw. Data sekunder, yang melengkapi pemahaman, berasal dari artikel jurnal ilmiah serta buku teks antropologi sastra dan studi media yang relevan. Peneliti berfungsi sebagai instrumen utama, bertindak sebagai pembaca aktif dan kritis yang menggunakan teknik dokumentasi dan pencatatan sistematis untuk mengumpulkan data. Proses analisis data dilakukan melalui reduksi data untuk menyeleksi konsep-konsep kunci, diikuti dengan penyajian data untuk mengidentifikasi pola hubungan, dan diakhiri dengan penarikan simpulan berdasarkan kerangka teori yang digunakan.

Validitas data dijamin melalui triangulasi sumber, membandingkan konsep antar penulis, sementara reliabilitas dijaga melalui penggunaan kutipan langsung dari edisi buku yang terstandarisasi. Penerapan metode ini didasarkan pada pentingnya landasan teoritis yang kuat, sebagaimana ditekankan oleh Ong (2013: 45), bahwa teknologi tidak hanya mengubah sifat komunikasi, tetapi juga kesadaran manusia, yang memungkinkan analisis mendalam tentang dinamika perubahan budaya.

PEMBAHASAN

Penelitian ini menyajikan hasil analisis teoritis yang menguraikan transisi dari kelisanan primer alami menuju manifestasi kelisanan sekunder yang disintesis secara artifisial, menggunakan kerangka teori Ong (2013) dan ahli lainnya. Temuan kunci mengonfirmasi bahwa masyarakat pra-literasi mengandalkan memori dan formula mnemonik, dengan komunikasi yang bersifat aditif, agnostik, partisipatoris, dan berorientasi pada situasi (homeostatik), di mana semua pengetahuan bersifat cair dan terikat konteks. Kedatangan tulisan mengubah psikodinamika ini secara drastis, memungkinkan pemikiran yang lebih abstrak, analisis, linier, serta menciptakan objektivitas dan pemikiran logis.

Temuan utama yang menjawab permasalahan penelitian adalah bahwa media elektronik (radio, TV, internet) tidak menghapuskan literasi, melainkan membangun moralitas di atas fondasi literasi, yang disebut “kelisanan sekunder”. Sukatman (2009) mencatat teknologi modern memungkinkan penyebaran tradisi lisan lebih luas. Kelisanan sekunder ini dicirikan oleh skala besar (menjangkau jutaan orang), kesadaran literasi (produsen konten seringkali terliterasi), dan sifat langsung semu (pseudo-immediacy) dalam pengalaman penerima.

Hasil sekunder menunjukkan hibridisasi budaya yang intens (Teeuw, 1994), memunculkan genre baru seperti vlogging yang mencampurkan spontanitas lisan dengan struktur media visual dan tulisan. Semua temuan ini menguatkan argumen bahwa teknologi adalah agen transformasi budaya fundamental yang mengubah struktur masyarakat dan kesadaran individualnya.

Bagian pembahasan menyajikan pengetahuan baru mengenai implikasi teoretis, menegaskan bahwa teknologi komunikasi bukanlah tambahan netral, melainkan arsitek realitas sosial.

Hubungan kuat dengan teori Ong ditunjukkan, di mana kelisanan sekunder mereproduksi kualitas partisipatif kelisanan primer dalam skala global dan dengan kesadaran reflektif pasca-literasi. Hal ini terjadi karena manusia modern merindukan kehangatan komunikasi lisan, yang dipenuhi oleh media elektronik. Membandingkan dengan Danandjaja (1997), media modern seperti YouTube atau TikTok dapat dilihat sebagai arena baru “folklor elektronik”. Artikel ini menguatkan Ong (2013) namun mengoreksi Teeuw (1994) dalam konteks era digital, di mana kelisanan sekunder mendominasi ruang publik.

 

 

Implikasi teoretisnya adalah munculnya konsep “post-oralitas” atau masyarakat “hibrida”, dengan aplikasi praktis dalam pendidikan dan politik yang mengutamakan komunikasi berbasis video/audio. Kelemahan penelitian ini terletak pada fokus teoretis-konseptual yang kurang data empiris spesifik dan analisis terbatas mengenai dampak kelisanan sekunder terhadap struktur bahasa itu sendiri.

KESIMPULAN

Transformasi budaya dari kelisanan primer ke kelisanan sekunder adalah salah satu perubahan paling signifikan dalam sejarah manusia, didorong oleh munculnya teknologi komunikasi elektronik. Klaim utama artikel ini adalah bahwa kelisanan sekunder adalah bentuk komunikasi lisan yang berevolusi di atas fondasi literasi, menggabungkan spontanitas oralitas primer dengan kemampuan analitis dan jangkauan luas yang dimungkinkan oleh teknologi modern.

Temuan baru yang dituangkan secara akurat dalam artikel ini adalah pemahaman mendalam tentang sifat hibrida dari budaya kontemporer, di mana media sosial dan platform streaming berfungsi sebagai arena “folklor elektronik” global. Artikel ini memberikan kontribusi pada bidang antropologi sastra dan studi media dengan memetakan kesinambungan dan diskontinuitas antara berbagai era komunikasi manusia.Implikasi dari temuan ini menunjukkan bahwa kita hidup di zaman di mana keterampilan literasi (membaca dan menulis kritis) harus diimbangi dengan keterampilan “orasi” media (memahami dan memproduksi konten audio-visual secara efektif).

Perspektif penelitian lanjutan perlu mengeksplorasi dampak neurologis dari konsumsi media kelisanan sekunder yang intens, serta menganalisis bagaimana budaya-budaya non-Barat mengadaptasi dan menginterpretasikan teknologi-teknologi ini dalam konteks tradisi lisan lokal mereka. Bagian yang belum terselesaikan adalah prediksi jangka panjang mengenai stabilitas budaya hibrid ini di masa depan.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *