Untuk Ayahku, Semoga Kau Bangga – Cerpen Raden Said Kosim

perjalananku selama mengikuti PMM

Untuk Ayahku, Semoga Kau Bangga
Karya: Raden Said Kosim

Aku Hasyim, seorang mahasiswa semester 4 di suatu Universitas yang memiliki cita-cita menjadi seorang dosen. Aku merupakan anak tunggal di sebuah keluarga kecil yang hidup hanya bersama dengan ayahku. Ibuku, entahlah aku hanya melihatnya melalui foto yang dipasang di setiap dinding rumahku.

Ayahku seorang jurnalis. Beliau menjadi pendorong terbesar atas mimpi yang aku impikan. Ayahku bercerita bahwa dulu beliau pernah memiliki mimpi menjadi seorang dosen sama sepertiku. Tetapi karena kondisi finansial dan faktor lainnya, ayah tidak bisa melanjutkan mimpinya tersebut. Hal itu yang menyebabkan ayah mendukungku. Sebagai ayah, beliau menginginkan yang terbaik untuk buah hatinya dan tak ingin kegagalannya dulu terulang pada anaknya.

Menjadi seorang dosen bukanlah suatu impian yang mudah untuk digapai. Perlu Pendidikan tinggi, jiwa kepemimpinan, serta pantang menyerah. Keseriusan dapat membuka segala pintu yang tertutup, itulah yang berkali-kali ayah sampaikan kepadaku.

Hari-hari berjalan seperti biasanya. Aku dengan kesibukanku sebagai mahasiwa, ayahku dengan kesibukannya sebagai jurnalis yang waktunya penuh dengan tulisan. Hampir sore, setelah pulang kuliah, aku berbegas mandi dan merebahkan diri, membuka ponsel dan mengecek ada kabar apa di halaman chat aplikasi Whatsapp ku. Aku dididik oleh ayahku sejak kecil untuk belajar terfokus pada salah satu hal. Saat kuliah, atau bercengkrama keluarga, aku hanya diperbolehkan membawa laptop dan selalu dilarang untuk membawa ponsel. Tujuannya agar aku fokus kepada mata kuliah yang diberikan dosen.

Suatu malam kala sedang menonton televisi dan berbaring di ruang tamu, tiba-tiba ayah dengan segelas teh dan cemilan yang sengaja dibawakannya untuk menemaniku mengobrol.

“Hasyim, bagaimana kuliahmu, Menyenangkan atau melelahkan?” Tanya ayah.

“Eh, ya begitulah, sementara masih bisa kunikmati perjalanan ini. Tapi ada suatu hal yang bikin aku bimbang tentang cita-citaku menjadi seorang dosen, aku takut gabisa mencapai itu.” Jawabku sembari mengambil cemilan yang ayah bawakan.

“Kenapa begitu, bukannya dulu kamu pengen banget menjadi seorang dosen. Kenapa sekarang ragu-ragu?” Ayah merespon dengan kembali bertanya padaku.

“Aku ragu karena terpikir tentang biaya kuliah yang gak murah, terus keadaan kita juga seperti ini, apakah aku bisa melanjutkan mimpiku, yah?” Ucapku dengan nada sendu.

“Udahlah, gausah khawatir masalah itu. Selama masih hidup, mimpi itu gak ada batasnya. Selama itu baik, lanjutkan saja pasti ayah dukung. Kamu doakan saja ayahmu ini sehat terus dan diberi kelancaran rejeki.” Jawab Ayah menguatkan keraguanku.

“Aamiin.”

Malam itu berjalan begitu singkat dengan obrolan tentang masa depan bersama ayahku, hingga berakhir pada saat beliau mulai menguap.

“Hoaamm. Ayah capek, Nak. Sudah dulu ya obrolan kita hari ini, istirahatkan juga badan dan pikiranmu.” Ujar Ayah sembari menutup mulutnya yang menguap.

Aku menolehkan kepalaku ke arah ayah, menatap matanya yang mengembun menahan kantuk, dan kemudian meganggukkan kepalaku tanda menuruti perintah ayah. Jam dinding menunjukkan pukul 23.00. obrolan malam ini terasa singkat mungkin karena terlalu asik yang kami bahas hingga tak terasa sudah larut malam dan memasuki waktu untuk istirahat.

Di dalam kamar, aku menatap kosong langit-langit dan memikirkan apa yang ayah bicarakan tadi. Ayahku adalah seorang yang sangat optimis dalam menjalani kehidupan. Seperti yang aku lihat, beliau tidak pernah menunjukkan rasa khawatirnya sedikitpun kepadaku karena mungkin hal itu akan menyebabkan munculnya perasaan yang membuatku ragu untuk meneruskan impianku.

“Ayah, terimakasih atas segalanya, kau ayah terhebat. Doakan aku ayah.” Ucapku dengan samar karena rasanya tubuhku sudah waktunya untuk diistirahatkan. Seperti benda-benda elektronik yang perlu dicharger, tubuh manusia pun sama.

Sang surya telah terbit, cahayanya menyusup masuk melalui celah-celah jendela, kicauan burung dan suara jago berkokok saling bersahutan seakan mengajakku untuk beranjak dari tempat tidur dan segera melanjutkan aktivitas di minggu pagi ini.

“Selamat Pagi, Ayah.” Sapaku sambil menggosok-gosok mata, setelah berhasil membuka mata yang sebenarnya masih ingin terpejam.

Seperti biasanya, ayah selalu saja lebih siap dariku. Duduk di meja kerjanya, dengan kopi dan laptop lawas yang menjadi teman menulisnya selama ini. Aku berjalan menuju kamar mandi sekedar untuk mencuci muka dan menggosok gigi.

“Itu teh hangat dan sarapan telur dadar kesukaanmu sudah ayah siapkan di meja makan. Segera makan biar energimu penuh lagi untuk hari ini.” Ujar ayahku dengan tetap fokus mengetik dan sesekali meminum kopinya.

Hari-hari ayahku dipenuhi dengan menulis jurnal, mencari berita, dan mengurus rumah. Itulah yang membuatku terus-menerus bersyukur atas apa yang Tuhan berikan berupa ayah yang hebat. Beliau tidak pernah mengeluh sedikitpun, selalu menunjukkan senyum manis dihadapanku. Tanpa sosok ibu, aku mengetahui peran ibu dari seorang ayah. Beliau mengurus rumah, mencuci pakaian, dan memasakkan makanan terbaik kesukaanku. Teh hangat buatan ayah selalu menjadi minuman terbaikku saat memulai hari. Telur dadar khas ayah selalu menjadi hidangan yang aku nantikan setiap pagi.

Saat tengah menikmati sarapan buatan ayah, ponselku berdering dari dalam kamar. Bunyinya mengganggu telinga ayahku yang tengah asik menulis.

“Hasyim, itu ponselmu berbunyi. Coba diangkat, siapa tau ada hal yang penting” Ujar Ayah sedikit menengok ke arahku.

Aku bergegas mengambil ponsel ke kamar dan mengecek siapa yang menghubungi pagi-pagi seperti ini.

“Hasyim, hari ini ada seleksi untuk perwakilan kampus di ajang lomba menulis jurnal Internasional di Malaysia. Ayo ikut bareng aku.” Ternyata telepon itu berasal dari Luna. Ia mengajakku untuk mengikuti seleksi menulis jurnal Internasional di kampus.

Luna merupakan teman sekelasku. Ia wanita berkacamata yang cantik, pintar, serta merupakan aktivis di suatu organisasi. Sebagai mahasiswa, ia benar-benar menunjukkan potensi dan kualitasnya dengan sering menjuarai lomba-lomba yang diikutinya.

“Wah, hari ini? Padahal agendaku hari ini bersantai dirumah. Hehe, maklum hari libur.” Sahut aku sambil tertawa ringan.

“Iya, ih. Hari ini ayo ikutan bareng aku. Jangan kebanyakan bersantai, nanti ketinggalan sama orang-orang diluar sana yang terus berkembang.” Ujar Luna yang masih berusaha membujukku untuk ikut seleksi bersamanya.

“Emangnya hari ini seleksinya jam berapa, Lun?” Tanyaku.

“Jam 10 pagi nih, pokoknya nanti aku tunggu kamu di kampus, oke?” Ujar Luna.

“Yaudah, sampai jumpa di kampus ya, Lun.” Jawabku menyetujui ajakan Luna.

Aku bukanlah mahasiswa yang aktif di organisasi kampus. Aku tipe mahasiswa yang lebih suka bebas tanpa ikatan organisasi. Lebih suka berkunjung di perpustakaan membaca berbagai buku dan bercengkrama dengan teman-teman. Di kelas, aku dikenal sebagai mahasiswa yang aktif bertanya serta menjawab pertanyaan saat presentasi.

Walaupun tidak mengikuti organisasi, tapi pengalaman dan pengetahuan yang aku miliki terinspirasi dari ayahku. Sejak kecil aku sering disuguhi berbagai buku yang ayah miliki. Bahkan, setiap bulan ayah selalu memberi target kepadaku minimal menghatamkan 1 buku sekaligus mereview bukunya. Hal itu cukup membuatku menjadi mahasiswa yang pintar dan berprestasi dengan ilmu yang kudapat dari berbagai buku yang aku baca.

Selesai menjawab telepon dari Luna, aku Kembali ke meja makan meneruskan urusan makanku yang belum tuntas.

“Telepon dari siapa, Hasyim?” Tanya Ayah.

“Itu, Yah. Luna mengajakku mengikuti seleksi menulis jurnal Internasional nanti jam 10 di kampus.” Jawabku sambal merapihkan posisi dudukku untuk melanjutkan makan.

“Wah, keren itu. Ayah dukung sepenuhnya. Tunjukkan kemampuan yang kamu miliki.” Sahut Ayah dengan mimik wajah sumringah mendukung aku mengikuti seleksi tersebut.

Waktu menujukkan pukul 08.00. Rupanya terpaksa aku harus mandi merubah rencanaku yang awalnya ingin mandi sore nanti. Setelah selesai mandi, aku menyiapkan apa saja yang harus aku bawa ke kampus untuk persiapan seleksi. Buku, laptop, ballpoint, dan juga mental.

Ayah masih saja duduk dibangku kerjanya menyelesaikan tugasnya sebagai jurnalis. Musik-musik tua menjadi pengiringnya dalam menulis. Mungkin itu menjadi caranya agar tidak bosan saat menulis jurnal.

“Berangkat ke kampus jam berapa, Hasyim?” Tanya Ayah melihatku sibuk menyiapkan diri.

“Jam 10 mulai seleksinya, Yah. Ini mau berangkat biar ga buru-buru dijalan.” Jawabku sambil memasukkan berbagai barang kedalam ransel.

“Aku berangkat, Yah. Doakan aku ya semoga bisa membuat ayah bangga.” Aku berpamitan kepada ayah dan meminta doa restunya sembari mencium tangannya.

“Iya, Semoga Berhasil ya.” Sahut Ayah dengan tetap melanjutkan paragraf yang ditulisnya.

Ayah selalu seperti itu. Mungkin, sedikit cuek. Tapi aku memakluminya karena beliau sedang fokus pada pekerjaannya. Aku yakin, selama yang aku lakukan adalah hal yang baik, ayah akan selalu mendukung dan bangga kepadaku.

Sepeda motor yang menjadi teman setiaku mulai aku panaskan mesinnya. Sepeda motor ini bekas dari seseorang yang ayah beli untukku karena jarak kampusku yang memang lumayan jauh. Sedangkan ayah tetap setia dengan motor miliknya yang digunakan sejak awal menjadi jurnalis.

Setelah kurasa selesai memanasi sepeda motor, aku mulai melaju menuju kampus. Jarak tempuh dari rumahku ke kampus sekitar 30 menit. Aku berangkat lebih awal agar bisa menikmati pemandangan disepanjang jalan. Persawahan, pepohonan, dan angin sejuk pedesaan selalu menjadi hal yang kunikmati selama perjalanan.

Sementara itu dimeja kerjanya, ayah beristirahat sebentar sembari meminum kopi miliknya yang sudah dingin karena hanya diminum sekali dua kali saat merasa jenuh.

“Hasyim, kamu anak yang baik, kamu anak yang hebat, ayah yakin itu. Walaupun hidup tanpa sosok ibu, ayah akan selalu mencoba menjadi ayah dan ibu yang baik untuk kamu. Ayah akan selalu mendoakan kesuksesanmu, ibumu pasti bangga kalau melihat kamu sekarang, Nak.” Ayah bergumam melamun memikirkan tentangku.

Mungkin sangat berat menjadi ayah yang berusaha menghidupi anaknya seorang diri dan juga menjadi dua sosok yang berbeda. Katanya, Ibuku meninggal sewaktu melahirkan diriku. Tapi, hingga kini ayah tidak mau mencari pengganti ibu. Beliau masih setia dengan pasangannya dulu.

Tepat 24 menit setelah aku menikmati pemandangan dijalan, tibalah aku di depan gerbang kampus. Melihat ada penjual es teh di pinggir jalan, aku berhenti sejenak karena kupikir masih ada waktu 6 menit untuk mampir membeli es teh.

“Bu, es teh dua ya.” Ujarku kepada ibu penjual es teh.

Setelah selesai membeli es teh, aku langsung bergegas meletakkan sepeda motorku di tempat parkir gedung terpadu, tempat pelaksanaan seleksi menulis jurnal Internasional di kampusku. Saat tengah memarkirkan motor, aku melihat Luna duduk disamping tangga membaca novel karya Tereliye kegemarannya. Karena Luna yang aku kenal merupakan seorang mahasiswi yang pintar, maka tak heran jika yang ia baca bukanlah kisi-kisi seleksi atau buku tentang tips seputar menulis jurnal. Mungkin pengetahuan tentang menulis jurnal sudah ia kuasai diluar kepala.

“Luna, sedang apa kamu di tangga sendirian, seleksinya belum mulai?” Tanyaku sambil melangkah menuju kearah Luna dengan dua es teh yang aku beli tadi di depan kampus.

“Nungguin kamu lah, ini sambil baca novel. Terus juga seleksinya masih belum dimulai kok, mungkin panitianya masih briefing tentang acara seleksinya.” Jawab Luna menengok kearahku, kemudian menutup bukunya menyambut kedatanganku. Dengan kacamata dan dan pipinya yang putih, dia sangat manis.

“Ini es teh, tadi beli di depan gerbang. Aku tau kamu pasti haus tapi males buat beli minum kan?” Ujarku sambil duduk disebelahnya dan memberikan salah satu es teh yang kubawa untuknya.

“Hehe, sok tau kamu. Tapi emang bener sih, makasih banyak ya.” Sahut Luna yang langsung meminum es teh miliknya.

“Silahkan para peserta yang mengikuti seleksi menulis jurnal Internasional bisa langsung memasuki ruangan karena seleksi akan segera dimulai.”

Baru sebentar aku berbicara dengan Luna, para peserta seleksi sudah diminta masuk ke ruangan karena akan segera dimulai.

Proses seleksi menulis jurnal Internasional berjalan cukup lama. Melalui tes wawancara dan juga tes tertulis, seleksi ini diikuti oleh sekitar 40 peserta dari berbagai jurusan dan fakultas di kampusku. Setelah semua peserta selesai mengikuti seleksi, panitia dari pihak kampus rupanya langsung memberikan pengumuman siapa saja yang lolos untuk mengikuti lomba menulis jurnal Internasional di Malaysia.”

“Akhirnya selesai sudah kita dipenghujung acara, langsung saja akan kami umumkan 3 orang yang terpilih untuk mengikuti lomba menulis jurnal Internasional mewakili kampus kita di Malaysia.”

Saat seperti ini selalu saja memberikan rasa tersendiri.

“Yang pertama, Rian.”

“Yang kedua, Luna”

Luna tidak terlihat begitu sumringah, ia masih hanya sedikit mengucapkan syukur dengan tetap menggenggamkan kedua tangannya, seperti tengah berdoa. Apa yang sedang ia doakan, bukannya Luna harusnya bahagia karena sudah terpilih menjadi mahasiswi yang lolos ke Malaysia. Aku sesekali menengok kanan kiri, melihat para pesaingku di seleksi ini. Hampir gemetar karena peserta seleksi di seisi ruangan yang kulihat, merupakan aktivis organisasi mahasiswa. Sedangkan aku, bisa dibilang mahasiswa kupu-kupu.
Pengumuman yang terakhir masih saja belum disebutkan. Dari sekian banyaknya lomba yang aku ikuti, sepertinya juri-juri di seluruh dunia sepakat untuk sedikit melambatkan pengumuman terakhir yang entah untuk apa tujuannya.

“Dan yang terakhir, mahasiswa yang lolos mewakili kampus kita dalam ajang lomba menulis jurnal Internasional di Malaysia ialah, Hasyim.”

Hari itu, pertama kalinya aku melihat Luna begitu bahagia karena mungkin mendengar pengumuman terakhir yang menyebutkan namaku.

“Alhamdulillah, Hasyim. Akhirnya kita lolos mengikuti lomba di Malaysia!” Luna menyeru, matanya sedikit berair. Akhirnya kulihat Luna melepaskan genggaman tangannya yang kemudian mengusap-usap matanya sambil tersenyum bahagia.

Aku sangat bahagia, namun juga heran, apa yang membuat Luna begitu bahagia ketika namaku disebutkan sebagai salah satu peserta yang lolos mengikuti lomba menulis di Malaysia. Kemudian, kembali kulihat seisi ruangan seleksi. Ada banyak aktivis, ada banyak orang-orang cerdas, tapi malah akulah yang lolos. Gemetarku pada mereka sudah sedikit mereda, bisa dibilang aku sedikit besar kepala.

Setelah rangkaian acara seleksi selesai dilaksanakan, kita semua meninggalkan ruangan itu. Aku masih saja terheran-heran kenapa mahasiswa kupu-kupu ini yang lolos.

“Alhamdulillah ya, Lun. Kita berdua bisa lolos bareng mewakili kampus ke luar negeri. Tadi aku lihat kamu sangat sumringah waktu namaku disebut sebagai peserta yang lolos itu kenapa, Lun?” Ujarku pada Luna. Masih dengan suasana bahagia, kami berdua berjalan menuju tangga dekat parkiran tadi pagi.

“Iya, nih. Aku tuh bahagia karena akhirnya aku bisa buktikan kalau yang bisa berprestasi bukan hanya aktivis saja, mahasiswa umum juga bisa berprestasi. Apalagi kamu, Hasyim. Tadi itu aku terus berdoa biar kamu juga ikutan lolos bareng aku. Aku percaya kamu pasti bisa.” Sahut Luna menjelaskan yang terjadi sewaktu pengumuman.

Kebahagiaan yang aku rasakan setelah menerima pengumuman baha aku adalah salah satu dari tiga mahasiswa yang lolos mengikuti lomba menulis jurnal Internasional berlangsung selama perjalananku pulang menuju rumah. Di rumah, aku menceritakan semuanya pada ayah. Keberhasilanku, perasaanku, dan semua yang aku rasakan. Tak lupa juga aku ucapkan terimakasih pada ayah atas doa-doanya.

Hari-hariku dikampus selama seminggu ini dipenuhi dengan pelatihan, pembekalan, dan penguatan sebelum aku berangkat ke Malaysia.

“Teman-teman semuanya, jangan lupa tanggal 2 Januari 2024 kita berangkat lomba ke Malaysia. Siapkan mental dan tenaga kalian, sampai jumpa besok bertemu di kampus.” Ucap Luna setelah kita melakukan latihan yang berjalan hampir setiap hari.

Tanggal 2 Januari 2024, aku dan teman-teman perwakilan kampus, berangkat bersama menuju Malaysia tempat lomba menulis jurnal Internasional. Kami menaiki pesawat dengan lama perjalanan sekitar sehari. Kami beristirahat, menikmati waktu, dan menginap di hotel yang disediakan.
Tiga hari selama kami sampai di Malaysia, lomba menulis jurnal Internasional dimulai, peserta dipersilahkan mengerjakan karya tulisnya secara mandiri. Kemudian, di akhir lombanya para peserta diminta untuk melakukan presentasi terkait tulisannya.

Tim kami perwakilan dari Indonesia mendapatkan giliran maju nomor 4 dari 20 peserta yang berbeda negara. Agak gugup, karena para peserta dari masing-masing negara teerlihat sangat meyakinkan.

Tibalah giliran kami untuk menunjukkan Indonesia pada dunia. Aku, Luna, dan Rian, bergantian melakukan presentasi sesuai dengan yang telah kami bagi. Sangat menegangkan melakukan presentasi dihadapan ratusan orang baru.
Setelah melakukan presentasi, kami akhirnya bisa menghirup nafas lega setelah tiga hari berpikir panjang dalam lomba ini. Kami mengamati satu persatu penampilan peserta hingga peserta terakhir.

Kemudian dewan juri langsung membacakan pengumuman lomba menulis jurnal Internasional tersebut. Tim kami, Indonesia ternyata tidak memperoleh juara. Kami bertiga menangis, meminta maaf pada seluruh rakyat Indonesia atas kegagalan kami.

Melihat kami yang begitu terpukul dengan kegagalan ini, dosen sekaligus pembimbing kami menenangkan kami dan tetap memberikan apresiasi dengan beasiswa sampai s3 untuk kami bertiga. Pemberian beasiswa sampai s3 ini dilakukan karena sebenarnya presentasi kami sangat baik dan memiliki potensi di masa mendatang.

Akhirnya, aku tidak perlu khawatir lagi dengan cita-citaku menjadi dosen. Aku hanya perlu lebih tekun dalam belajar dan membanggakan ayahku.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *