Suara: Dari Lisan ke Digital

Suara: Dari Lisan ke Digital

Orang yang benar-benar melek huruf hanya bisa membayangkan dengan susah-payah seperti apa budaya lisan primer itu, budaya yang sama sekali tak mengenal tulisan atau bahkan kemungkinan tulisan.

Bagi mereka yang terbiasa dengan kemampuan membaca dan menulis, sangat sulit membayangkan seperti apa kehidupan dalam budaya lisan murni dimana dunia yang sama sekali tidak mengenal tulisan atau bahkan konsep tentang tulisan.

Kata-kata adalah suara. Kita bisa “menyebutkan” kata-kata itu lagi. Namun tidak ada tempat untuk menyimpan kata-kata. Tidak ada rekaman atau bukti fisik dari kata-kata yang diucapkan; kata-kata itu menguap begitu saja ke udara.

Suara adalah kejadian, peristiwa. Bagi mereka yang mengerti hakikat “kata” dalam budaya lisan murni atau budaya yang masih sangat dekat dengan kelisanan fakta bahwa istilah Ibrani dabar berarti ganda, yaitu “kata” dan “peristiwa”, adalah hal yang wajar.

Fenomena ini sebelumnya telah diamati oleh Malinowski (1923), yang menjelaskan bahwa dalam masyarakat (lisan) “primitif”, bahasa berfungsi sebagai cara bertindak, bukan sekadar sistem untuk mengemukakan pikiran.

Meskipun demikian, Malinowski sendiri mengalami kesulitan dalam menguraikan konsep ini secara tuntas (Sampson, 1980), terutama karena pada tahun 1923, pemahaman mengenai psikodinamika kelisanan cara berpikir dan fungsi kognitif dalam budaya lisan bisa dibilang belum berkembang.

Guna mempelajari apa itu budaya lisan primer dan apa sejatinya masalah kita berkenaan dengan budaya semacam itu, akan membantu bila pertama-tama kita merenungkan hakikat dasar suara itu sendiri sebagai suara (Ong, 1967b:111-38)

Oralitas sekunder

Seiring berkembangnya zaman, beberapa dekade terakhir, sebuah paradoks menarik telah terjadi di dunia digital: sementara manusia semakin banyak menggunakan teknologi berbasis tulisan, komunikasi justru kembali ke bentuk lisan.

Fenomena ini, yang disebut oleh Walter J. Ong sebagai “oralitas sekunder”, adalah bentuk kelisanan baru yang muncul melalui teknologi elektronik dan digital, berbeda dengan kelisanan primer masyarakat tanpa tulisan.

Kebangkitan media seperti radio, televisi, telepon, dan perangkat elektronik lainnya menunjukkan bahwa suara kembali menjadi medium utama dalam interaksi sosial modern. Fenomena ini bukan sekadar kemajuan teknis, tetapi juga fenomena budaya dan psikologis yang berkaitan erat dengan cara manusia menafsirkan dan menciptakan makna.

masyarakat kontemporer kini berada dalam tahap “oralitas sekunder”. Ini adalah bentuk kelisanan (oralitas) yang khas karena kemunculannya bergantung pada penggunaan teknologi canggih seperti radio, televisi, telepon, dan internet.

Tidak seperti oralitas primer bentuk komunikasi lisan alami dari masyarakat primitif. Oralitas sekunder ini tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat yang sudah sangat melek huruf.

Dalam konteks ini, suara yang didengar bukanlah hasil dari interaksi tatap muka langsung, melainkan pengalaman pendengaran yang dihasilkan dan disalurkan melalui perantaraan media-media yang populer.

Menurut Ong, karena suara itu cepat berlalu, popularitas suara kembali berkat teknologi digital menyebabkan masyarakat modern secara tidak sadar mengalami kembali kehangatan dan Keakraban yang merupakan ciri khas budaya lisan primer, meskipun dalam lingkungan yang berbeda sama sekali.

Menurut Marshall McLuhan, pembuat frasa terkenal “media adalah pesannya” (the medium is the message), bahwa media memiliki peran transformatif, tidak sekadar sebagai penyampai informasi, tetapi sebagai pembentuk fundamental cara manusia berpikir dan menyadari realitas.

Dengan munculnya platform audio modern seperti podcast, pesan suara, dan audio langsung, McLuhan berpendapat bahwa manusia sedang beralih ke cara berpikir yang mengutamakan pendengaran, ini merupakan bukti bahwa medium suara kini sedang mengubah cara manusia berinteraksi dan terhubung.

Struktur Dialogis dan Rasa Kehadiran Langsung, dari struktur dialogis Komunikasi lisan mendorong interaksi dua arah (dialog) yang lebih cepat dan alami dibandingkan pertukaran surat atau pesan teks yang terpisah-pisah. Ini menciptakan percakapan yang hidup, bukan sekadar transmisi informasi.

Rasa Kehadiran Langsung, mendengar suara seseorang menciptakan ilusi bahwa mereka hadir secara fisik. Fenomena ini, yang sering disebut “telepresensi,” mengurangi jarak fisik dan psikologis antar individu.

Dari suara sebagai peristiwa menjadi suara sebagai artefak digital

Pada mulanya, dalam oralitas primer (budaya lisan asli), suara bersifat fana; muncul dan langsung menghilang tanpa jejak, sehingga sulit untuk disimpan atau diulang.

Era oralitas sekunder merevolusi hal ini. Melalui media elektronik, suara dapat direkam, disiarkan ulang, dan disebarkan secara luas, membebaskan suara dari keberadaan fisik pembicara.

Di zaman yang terus berkembang kita menyaksikan pergeseran mendasar lainnya. Teknologi seperti Meta Voicebox, kloning suara, dan suara yang dihasilkan oleh AI sehingga mengubah suara menjadi artefak digital. Suara tidak lagi memerlukan sumber pengalaman manusia yang mendasarinya.

Karena perubahan drastis ini memunculkan oralitas digital. Dalam paradigma baru, teknologi tidak hanya menyalurkan suara manusia, tetapi juga menciptakannya. Ini adalah bentuk kelisanan baru yang tidak lagi memerlukan “pembicara” manusia menurut pemahaman umum.

Transformasi teknologi suara, dari tubuh manusia (radio/TV) ke suara sintetis AI, telah mengubah kelisanan menjadi aktivitas digital. Kini Sistem digital dapat meniru ucapan manusia secara sempurna, membuat ilusi kehadiran yang sangat meyakinkan, misalnya yang sering kita lihat di media sosial seperti pembacaan berita atau podcast.

Perubahan fundamental ini berarti bahwa kedekatan dan kehangatan sifat utama budaya lisan yang dulunya otentik dan spontan kini dapat ditiru secara artifisial dan terpisah sepenuhnya dari pengalaman atau kesadaran manusia yang sesungguhnya.

Teknologi sintesis suara AI menyebabkan dampak besar dalam banyak aspek. Konsep keaslian (autentisitas) suara menjadi rumit. Jika suara seseorang dapat ditiru secara digital, Status suara sebagai penentu mutlak identitas mulai diragukan.

Selain itu, karena makna suara yang dihasilkan oleh AI tidak berasal dari pengalaman hidup manusia, hal ini menyebabkan keraguan tentang siapa pemilik narasi atau otoritas di balik pesan yang disampaikan.

Dalam konteks masyarakat modern yang semakin mengandalkan komunikasi audio digital, era “kelisanan tersier” ini menghadirkan dilema. Di satu sisi, teknologi ini menawarkan manfaat nyata berupa efisiensi dan kemudahan akses.

Di sisi lain, ia secara efektif mengaburkan garis pemisah esensial antara suara yang dihasilkan manusia dan mesin, antara pengalaman nyata dan simulasi, serta antara kehadiran fisik yang sebenarnya dan representasi digital belaka.

Evolusi komunikasi lisan, dari oralitas primer hingga munculnya oralitas digital atau tersier. Dalam budaya lisan primer, suara bersifat fana, hadir sebagai peristiwa yang menguap begitu diucapkan, mencerminkan kehangatan dan kedekatan manusia yang autentik.

Dengan munculnya oralitas sekunder, teknologi seperti radio, televisi, dan media digital membebaskan suara dari keterikatan pada kehadiran fisik pembicara, memungkinkan penyebaran dan pengulangan yang lebih luas, sekaligus mempertahankan nuansa keakraban lisan secara tidak langsung.

Perkembangan lebih lanjut melalui kloning suara dan AI menandai lahirnya oralitas tersier, di mana suara dapat diciptakan dan disintesis sepenuhnya tanpa keterlibatan manusia.

Fenomena ini mengubah suara dari pengalaman manusia menjadi artefak digital, menghadirkan efisiensi dan aksesibilitas yang tinggi, tetapi sekaligus menimbulkan pertanyaan tentang keaslian, identitas, dan otoritas narasi.

 

Oleh : Andi Nayla Sahrani Patoppoi Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Makassar

 

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *