Album Kisahku di 2023
Annisa FN
Dreet… gawai bergetar rupanya notifikasi WA berkumpul di beranda gawaiku. Bu Rani mengabarkan bahwa aku akan melatih anak-anak untuk lomba visualisasi puisi. Seketika senyum merekah menghiasi wajah saat membacanya betapa tidak senang hal ini adalah kesempatan untuk mengembangkan potensi murid di bidang literasi. Mulai kubuka dan pelajari pengertian dan video macam-macam penyampaian visualisasi puisi.
Esok harinya, saya dan bu Diani mengajak para murid untuk berkumpul di perpustakaan. Mereka begitu antusias mengikuti seleksi pembacaan puisi. Namun, hanya dua orang anak laki-laki yang mengikuti itu pun karena keterpaksaan. Hal itu membuatku heran sekaligus miris, saya teringat dengan seorang anak lelaki bernama Aban. Ia memang tidak ikut seleksi, tetapi aku percaya ia memiliki potensi. Langsung kupanggil Dewi, murid yang sudah diseleksi ikut mewakili lomba sekaligus teman satu kelasnya.
“Dewi, tolong panggil Aban.” Kataku pada Dewi
“Iya Bu… Dewi panggilkan dia.”
Para murid keheranan mengapa ia tidak ikut seleksi tetapi malah dipanggil. Lalu kusuruh Aban membacakan salah satu puisi. Mulanya ia terkejut kenapa diminta hadir, tetapi tidak ada satupun pertanyaan muncul darinya. Ketika membaca puisi tiada keringat mengucur di dahinya seperti murid lain yang ikut seleksi. Hal itu membuatku yakin dia adalah pilihan tepat. Semua murid di perpustakaan merasa kaget mengapa ia bisa membaca puisi dengan tenang dan mengikuti arahan intonasi dengan baik. Akhirnya enam anak telah dipilih, yaitu dua anak laki-laki dan empat anak perempuan. Mereka begitu antusias berlatih di satu sisi masih suka bermain untuk melewatkan pelajaran yang kurang mereka gemari. Sesekali aku mengingatkan pentingnya belajar untuk masa depan jika mereka sudah kelewat batas saat ingin ikut latihan. Salah satu murid berambut pendek bernama Lia bertanya kepadaku.
“Bu Ayu, apa latihan kita hanya baca puisi saja?” Tanyanya dengan wajah bingung.
“Ya, gaklah Lia. Kita bakal tampilkan drama dan tarian di satu panggung itu.” Jawabku sambil memperhatikannya tengah melipat kertas.
Aku pun menyuruh mereka menghafal semua teks puisi dan memilih kembali peran sesuai dengan bakat. Hari berganti hari beragam video Youtube kubuka dari membuat pernak-pernik lomba hingga make up yang sesuai dengan wajah remaja untuk mereka tampil nantinya.
Ketika ujian, teman satu pengawasku heran apa yang tengah kubuat, tali plastik hitam dari sekolah telah kuikat rapi seperti gelang, setiap mengawas bunyi sreek sreek bergema menyelinap di telinga para murid yang sedang ujian. Mengetahui hal itu aku pun bertanya kepada mereka.
“Maaf nak, apa ibu ganggu ujian kalian?” Tanya ku khawatir.
“Gak kok bu.” Jawab mereka bergantian.
Salah satu anak laki-laki yang berpapasan duduk dekat mejaku mulai bertanya pelan. Karena temannya berbisik menyuruh ia untuk bertanya yang membuatku tertawa kecil.
“Bu, ibu buat apa?” Menunjuk tali.
“Ini untuk lomba, sebut saja rumbai-rumbai.” Jawabku sambil tersenyum.
Setelah siap mengerjakan ujian tinggal menunggu bel istirahat, aku menyampaikan alasan membuat rumbai itu. Mereka pun memahaminya dan mendoakan semoga teman yang mewakili sekolah menjadi pemenang. Tak terasa, setelah seminggu melaksanakan ujian, kami tiba pada hari yang dinanti, ya… perlombaan. Kami pergi dari jam tujuh pagi dengan naik becak, hamparan sawah menghiasi pemandangan. Cahaya mentari pagi memantulkan kerlip dari dedaunan padi berselimut embun.
Sesampainya disana Aban, Egy dan Dewi langsung membeku, tampak keringat mengucur deras dari dahi mereka. Aku pun langsung mengusap pundak mereka untuk menenangkan sambil mengatakan.
“Semua bakal baik-baik saja nak, wajar gugup tapi ingat… jangan sampai itu gagalkan fokus kalian.” Saranku pada mereka bertiga.
“Iya bu.” Jawab Dewi dan Aban serentak
“Bu, kepalaku pening” Kata Egy dengan wajah murung.
Aku pun langsung mengeluarkan tas yang berisi obat-obatan untuk mereka. Dengan sigap kuusap minyak kayu putih di dahinya. Aku bertanya apakah ia masih gugup, Egy hanya membalas dengan anggukan. Lalu aku memanggil ketiga temannya yaitu Lia, Ara, Bela, mana tahu bisa membuatnya semangat, mereka menghibur Egy yang terlihat pucat karena demam panggung.
“Egy… Egy… disekolah kau paling ribut disini gugup manalah bisa dapat kawan WA yang baru.” Kata Lia sambil memainkan kain jarik yang melilit pinggangnya untuk menari.
“Iya nih, semalam pas terakhir latihan kau masih bisa ledek aku yang bakal demam panggung rupanya kau… hahaha.” Tawa Ara memainkan bola matanya meledek.
“Iya loh, iya… gak gugup aku…Bu Ayu ngapain panggil mereka? Gak betul pun orang ini hiburnya.” Gerutu Egy.
“Kok kau pula yang atur bu Ayu? Ibu tuh takut kau pingsan disini, kami mau gendong kau kemana pula kalau pingsan.” Kata Bela sambil tertawa cekikikan.
Akhirnya gelak tawa menghiasi wajah mereka dan Egy mulai melupakan rasa gugupnya. Sementara Aban dan Dewi tengah menghafal teks puisi. Kami mendapat nomor urut 6, strategi mulai disiapkan. Mereka berenam juga turut memberikan saran dan taktik ketika maju diatas panggung. Tibalah kami maju kedepan, aku hanya berperan sebagai pemberi lagu dibelakang panggung untuk lomba mereka, selebihnya semua tergantung kekompakan mereka berenam.
Namun, rupanya ada permasalahan terjadi. Aku sebagai pendamping sekaligus orang yang akan memutar lagu mereka ketika tampil, tanpa disadari kami lupa bahwa dokumentasi lomba sangat diperlukan. Timbul rasa khawatir apakah Bu Rani dapat sampai tepat waktu. Ketika penampilan nomor urut satu, mulanya kami masih tenang, lambat laun tak terasa sudah berganti ke nomor urut empat, jelas terasa cepat durasi lomba karena waktu yang diberikan maksimal 10 menit dan sebagian sekolah kebanyakan menampilkan durasi 6 menit saja. Aku mulai khawatir, tetapi hal itu tak bisa kusampaikan, mereka tetaplah harus fokus menghafal bagiannya. Aku pun mulai mengambil gawai dari tasku dan menelepon Bu Rani.
Biipp…bipp…bipppp… nada gawai berdering, tak lama Bu Rani mengangkat panggilanku.
“Halo, Bu Rani…”
“Ya, Bu Ayu. Ada apa?” Jawab Bu Rani dari telepon.
“Apa ibu jadi datang ke lombanya? Sekolah kita dapat nomor urut enam sekarang sudah nomor empat, durasi waktunya lumayan cepat bu. Saya memutar musik ketika lomba sedangkan bagian dokumentasi belum ada bu…” Kata ku dengan cemas.
“Iya bu, kami sedang diperjalanan sebentar lagi sampai… tenang ya bu…” jawab Bu Rani.
Setelah gawai dimatikan, nomor urut lima pun tampil. Semua muridku sadar kalau bagian dokumentasi belum tahu siapa. Mereka tampak cemas dan satu persatu bertanya kepadaku.
“Bu, gimana nih… bagian dokumentasi kita belum ada, apa kita tampil tanpa ada buktinya ke sekolah?” Tanya Bela.
“Iya bu, sedih kali kalau gak ada foto dan videonya bu.” Keluh Ara.
“Sabar nak, ibu lagi mencari cara, kalian hafal saja masing-masing perannya, fokus untuk lomba. Urusan dokumentasi biar ibu yang cari cara.” Jawabku dengan tegas.
Ku langkahkan kaki menuju stand penjual keripik yang berada disebelah kami, timbul perasaan bingung apakah dua kakak penjaga tersebut mau untuk membantu karena mereka tengah sibuk menjaga stand. Tapi, aku harus berani bertanya demi dokumentasi para murid.
Untunglah, mereka mau membantu kami, aku pun berterima kasih kepada kakak penjaga tersebut dan kembali menuju tempat duduk bersama para murid, terlihat senyuman menghiasi wajah mereka berenam. Aku terus berdoa semoga lomba yang mereka bawa berjalan lancar. Tiba-tiba ada tangan memegang pundak sebelah kiriku. Rupanya itu adalah tangan Bu Rani mengisyaratkan mereka sudah hadir. Langsung aku berdiri menyambut mereka mempersilahkan duduk.
“Eh, Bu Rani, Bu Kepala, Pak Dani… Bu Dina…” Kata ku dengan sumringah kepada mereka berempat.
“Kami belum terlambat kan bu?” Kata Bu Dina.
“Belum bu, sebentar lagi kita tampil setelah penampilan ini.” Jawabku pada Bu Dina.
Betapa senangnya hati para murid melihat mereka sudah hadir. Aku pun menyampaikan kepada kakak penjaga stand tadi bahwa bagian dokumentasi sekolah kami sudah hadir. Tak lupa kuucapkan terima kasih padanya karena sudah niat membantu.
Alhamdulillah, kami dapat menyelesaikan lomba dengan lancar. Kepala Sekolah, Bu Rani dan dua rekan guru ikut memberikan tepuk tangan yang meriah terlihat senyuman merekah dari wajah mereka, aku pun merasa terharu akan pencapaian tersebut. Begitu banyak ujian yang harus dilewati untuk sampai disana. Kepala sekolah, Bu rani, Bu Dina dan Pak dani pun kembali ke sekolah karena kegiatan mengajar tetaplah harus berjalan. Setelah semua sekolah selesai menampilkan puisi tibalah jam istirahat makan siang sekaligus menunggu pengumuman lomba dari dewan juri. Terlihat masing-masing sekolah memberikan hiburan berupa tarian dan nyanyian mulai dari Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan bahasa daerah dari suku mereka. Kami begitu menikmati hiburan tersebut, tetapi ada satu yang terlihat murung.
“Aban, itu lagu untuk ibunya tentang perjuangan seorang ibu yang membesarkan anaknya.” Kataku padanya.
“Iya bu.” Jawab Aban sambil mengangguk.
Bela pun melihat ke arahku, menjelaskan penyebab Aban sedih. Aku pun menghampirinya dan menjelaskan bahwa semua orang tua di dunia ini pasti menyayangi anaknya sesibuk dan serumit apapun masalah yang mereka hadapi. Dari yang orangtuanya bersatu ataupun berpisah mereka tetap peduli pada anaknya, Aban hanya terdiam masih memunggungi kami. Namun, terlihat jelas ia meneteskan air mata. Aku pun mengusap pundaknya dan mengatakan.
“Kita harus kuat, memang mengatakannya mudah tapi itu untuk masa depan kita sendiri. Tunjukkan kalau kalian itu mampu memperoleh prestasi, jika menang dan dapat juara, sertifikat itu bisa jadi nilai tambah kalian untuk masuk SMA.” Jelasku pada mereka berenam.
“Iya bu, betul!” Jawab Lia, Ara dan Dewi serentak.
“Udah Ban, jangan sedih terus, masa depan kita masih panjang, kau kan masih tinggal sama kakek nenekmu, kadang orang tuamu jumpai kau kok. Belajar kuat ya…” Kata Bela menghibur Aban.
“Iya Ban, jangan sedih terus mending kau ikut nyanyi kayak mereka.” Kata Egy ikut menghibur temannya.
Aban pun tersenyum karena dihibur oleh temannya. Setelah makan siang dan Shalat Zuhur kami mulai memasuki gedung. Rupanya, nama sekolah kami mendapat kategori juara. Langsung mereka berenam bersorak gembira membawa perlengkapan lomba ke dalam gedung.
Tak disangka pengumuman pemenang mulai dibacakan kami memperoleh juara dua dari enam peringkat. Lia sebagai pemegang hadiah juara turut meneteskan air mata karena terharu. Mereka tidak menyangka dapat meraih juara dengan berbagai macam kendala yang dihadapi. Aku sendiri mengambil banyak hikmah dari kejadian ini bahwa tidak ada yang tidak mungkin, asal kita mau melakukannya. Sesedih apapun kita haruslah bisa bangkit dan memiliki tekad untuk meraih masa depan yang cerah. Karena waktu teruslah berjalan, kita akan tergerus waktu jika tidak mau berkembang. Ini adalah salah satu kisahku di 2023.
3 Responses
Cerita yang ditampilkan penuh akan makna
Amanat dari cerita dapat tersampaikan dengan baik.
Cerita yang ditampilkan sangat menarik untuk dibaca.