Kepada Gaza,
yang kini tinggal puing dalam pelukan doa,
aku kirim surat cinta
dalam amplop robek,
bekas dicakar radar perang dan pelatuk mortir malam
Tinta suratku bukan lagi hitam,
tapi sisa darah dari mimpi yang digilas tank.
Ku sobek dari halaman terakhir kalender
yang tak berani mencatat syahidmu hari ini.
Aku menulis dengan pena bekas,
dari tulang igaku sendiri
karena kata-kata terlalu pengecut
untuk melukiskan bagaimana
tangismu diludahi dunia.
Kukira cinta bisa menyelamatkanmu,
tapi cinta kini dipakai berdansa
di ruang rapat gedung pencakar langit
sambil membahas berapa banyak
roket boleh dilepas sebelum sarapan.
Surat ini ku bumbui dengan serpih ranjau,
ku bungkus dalam harap yang gosong,
dan ku selipkan bunga plastik
karena tak ada yang tumbuh di ladang jenazah.
Gaza,
aku tak punya doa megah,
hanya puisi sumbing dan suara patah.
Ampunilah daku,
yang hanya bisa mencintaimu dari jauh
dengan hashtag
dan air mata,
yang tak pernah sampai pada tanah Aqsa.
Yogyakarta, 29 Mei 2025