Andam Karam
Karya: Salma Nur Aini
Sebelum membaca cerita ini, bolehkan aku memberikan penawaran? Baik, terima kasih. Aku selalu merasa bahwa musik dan sastra adalah seni yang hidup layaknya suami istri, berdampingan dan saling melengkapi. Mungkin lagu You`re Gonna Live Forever in Me-John Mayer bisa membantu menghanyutkanmu dalam kisah sederhana ini. Tepiskan saja jika lagu ini bermakna rasa cinta pada orang lain karena pada hakikatnya hanya kita yang hidup dalam diri kita sendiri, bukan orang lain.
28 Maret 2023 semua orang tampaknya sangat beruntung kecuali aku. Selepas menunaikan solat tarawih di masjid kampung, malam itu aku meyakinkan seseorang bahwa aku baik-baik saja. Senyumku tulus sekali sampai ia tidak mengkhawatikan keadaanku. Aku senang karena menang lagi, berpura-pura bahagia aku sudah ahli. Malam itu kami pulang membawa kabar yang berbeda. Aku senang dia lolos SNBP.
Sampai di rumah aku berusaha memperbaiki mataku, tetapi tidak bisa. Mataku terlalu merah, panas dan sembab. Oleh karenanya, aku menunduk ketika memasuki rumah. Aku tidak langsung masuk kamar, aku mampir ke dapur untuk menikmati menu bukaan favoritku yang tinggal beberapa potong. Tidak aku habiskan, kusisihkan pula untuk orang lain yang mungkin sudah makan lebih banyak daripada aku. Setelah aku menyadari bahwa aku terlalu sering menyenangkan orang lain, selera makanku jadi hilang. Aku masuk kamar dengan gontai.
Di atas kasur sempit itu, nanar kutatap kembali layar ponselku. Aku tak percaya. Sungguh! Setelah kegagalan itu, aku bertanya-tanya. Skenario apa yang sebenarnya tengah Tuhan susun untukku? Aku tidak sabar untuk segera melihat ke depannya akan jadi seperti apa.
Keterpurukan ternyata membawaku pada keraguan dan ketakutan. Aku bersyukur tidak bunuh diri dan terlalu terpuruk kala itu. Aku memilih untuk mempersiapkan strategi baru yang kiranya bisa membantuku untuk keluar dari kegagalan yang telah lalu. Sayangnya, strategi tak melulu soal taktik. Yang kubutuhkan saat itu sebenarnya adalah uang. Uang yang sangat banyak supaya aku punya peluang yang besar pula. Aku bersyukur masih memiliki modal delapan ratus ribu rupiah di tabunganku. Hasil menyisihkan uang hadiah berbagai perlombaan menulis.
“Aku takut tidak memiliki peluang yang besar,” ucapku via telepon setelah mendapati bahwa aku ditolak oleh Universitas Islam Negeri.
Dia berusaha menenangkanku, walapun aku sedang tidak butuh tenang waktu itu. Aku menerima semuanya. Menerima kegagalan, motivasi yang dia berikan serta nasihat-nasihat sederhana supaya aku tetap kuat dan bersemangat. Siangnya, aku mendapat kabar bahwa temanku yang lain diterima di Universitas Islam Negeri yang memang ia idam-idamkan. Aku senang karena bisa membantunya keluar dari kebimbangan yang ia miliki hari itu. Aku jadi belajar bahwa setelah kesulitan akan ada kemudahan, lalu datang lagi kesulitan. Artinya, manusia tidak akan lepas dari permasalahan, sebahagia apa pun kelihatannya.
Setelah kegagalan yang kedua kalinya, aku memperjuangkan empat jalur lagi yang kuharapkan bisa menjadi pintu gerbang yang menyambutku pada seperempat langkah dari cita-cita yang kugantung tinggi. Akan tetapi, tak perlu waktu lama untuk gagal lagi. UGM menolakku setelah mencoba meminangnya lewat jalur PBUTM. Kini tersisa tiga jalur yang harus aku perjuangkan SBUB UNDIP, SNBT, dan jalur yang telah Allah persiapkan untukku yaitu tawakal.
Setiap hari aku seperti tengah mengikuti seleksi jalur tawakal. Aku tidak belajar dengan maksimal untuk SNBT karena lebih besar rasa kekecewaan daripada motivasi yang aku dapatkan. Secara psikologis itu berpengaruh, tetapi semua bisa teratasi dengan mencermati dan teliti dalam menjawab soal selama tes SNBT berlangsung.
Lain cerita dengan SBUB UNDIP yang seleksinya dilaksanakan sebelum SNBT berlangsung. Tahap demi tahap aku lalui dengan air mata. Aku selalu ragu dan takut gagal. Aku bahkan merasa bahwa memakai jas almamaternya sangatlah tidak mungkin.
Namun, Tuhan itu Maha Baik. Hanya Tuhan-lah yang berhak membayar ikhtiar dan doa hamba-hambanya. Aku lolos SBUB UNDIP dengan prodi Bahasa dan Kebudayaan Jepang dan SNBT dengan prodi Psikologi di Universitas Trunojoyo Madura. Setelah melewati berbagai pertimbangan, akhirnya diputuskanlah aku untuk memilih SBUB UNDIP dengan prodi Bahasa dan Kebudayaan Jepang. Berat rasanya melepas jurusan psikologi. Keputusan itu bahkan membuat sembab mataku selama tiga hari. Mungkin, inilah jalan yang Tuhan mau. Tuhan ingin aku melewati proses yang berbeda dan menyiapkan kejutan paling membahagiakan sebagai penutupnya. Aku menerima keputusan itu dengan lapang dada.
Sekarang aku tengah mengetik kisah ini di kamar kostku yang tidak terlalu luas sambil mendengar instrumen hujan dari ponselku. Aku suka hujan. Syukurlah, langit Dharmasraya menurunkan rintik yang berlimpah setiap musim penghujan tiba. Berbeda dengan Semarang, kota baru tempatku mengembara mimpi ini jarang sekali hujan. Ketika hujan turun, aku akan sangat menikmati irama rintiknya yang berbaur dengan guntur. Mencium bau tanah kering yang terguyur hujan mejadi bagian favoritku.
Aku bersyukur menjadi salah satu dari sekian juta siswa yang lolos dalam persaingan memasuki kampus negeri di seluruh Indonesia. Aku bersyukur karena telah berjuang selama tiga tahun belakangan untuk terus belajar dan mengumpulkan prestasi. Aku sadar bahwa inilah harga yang membayar perjuanganku selama ini.
Meski demikian, rantau tetap menjadi penjara bagiku. Aku ingin pulang dan membawa buah hasil romusha-ku di sini. Aku ingat seseorang pernah memakiku dan membuatku menangis selama dua hari lamanya. Katanya, “Kalau mau pergi, pergi saja. Nggak usah kebanyakan drama!” Kurang lebih begitulah kira-kira. Aku tak tahu apa sebabnya ia berkata deikian, tetapi yang pasti itu menyakitkan. Diusir secara kasar untuk pergi mengembara ilmu adalah hal yang aneh.
Setiap malam, rindu menjelma menjadi musuh. Aku rindu teman-teman yang bisa aku peluk setiap tangis terjun bebas dari mataku. Aku rindu menggendong adik bungsuku. Di sini aku tetap melewati rintangan, tetapi tidak seterjal rintangan yang aku lalui di Dharmasraya. Anehnya, aku jadi lemah jika harus melewati rintangan kecil di sini. Apakah itu karena tidak ada teman-teman yang menguatkanku secara tulus di sini? Atau, apakah karena rasa traumaku terhadap masa lalu telah membuat nyaliku ciut? Kenapa hujan tidak turun setiap malam supaya aku bisa sejenak merasa tenang menikmati rintiknya? Ah, bagaimana pun hari ini aku harus tetap bersyukur.
Sekarang sudah pukul sebelas lewat tiga menit malam. Aku masih duduk di posisi yang sama, memangku laptop ditemani instrumen hujan yang menenangkan. Aku masih harus mengetik beberapa kata lagi untuk mencapai target kata yang telah ditentukan. Untuk itu, aku ingin menutup kisah ini dengan sebuah pertanyaan, yakinkah kalian semua akan baik-baik saja? Kuharap kalian semua merasa yakin. Kawan, setiap langkah yang kita lewati kemarin adalah bagian dari proses. Proses itu bagian dari pertumbuhan dan perkembangan. Jika sekarang kalian sedang berada di masa sulit, maka tetaplah beikhtiar. Jangan mudah dikalahkan oleh rasa takut, jangan takut terhadap kegagalan, pahami hati kecilmu, bujuk mentalmu untuk tetap menjadi sosok yang tangguh dan jangan berhenti merayu Tuhan-Mu.
Aku bisa menjamin, manusia tidak akan bisa membayar proses yang telah kita lalui. Manusia tidak akan bisa mengantikan darah, tangis, dan keringat yang jatuh selama proses itu berlangsung. Namun, percayalah bahwa Tuhan jauh lebih tahu bagaimana cara membayar dengan balasan yang sepadan atas kerja kerasmu kemarin.
Sekarang sudah pukul sebelas lewat empat belas menit malam. Aku akan menutup kisah ini dengan ucapan terima kasih kepada teman-teman yang telah berjuang hari ini. Kalian pantas untuk disayangi, diapresiasi, dan dihargai. Jika kalian ingin kata-kata sederhana ini bermakna luar biasa, silakan baca seraya memeluk luka-luka yang ada dalam diri. Selamat malam, semoga hari esok lebih bahagia.