Anna – Cerpen Tessa Anastasia Farasi

puisi mencintai diri

Anna
Karya: Tessa Anastasia Farasi

Brakkk!!!
“Kainku! Astaga!”, teriak seorang gadis yang menatap miris kain cuciannya yang hampir kering diguyur hujan.

Anna selaku pemilik kain pun langsung mengangkat jemurannya lalu berpindah ke tempat semula. Rintik hujan di kota tersebut kian deras berlomba-lomba membasahi seluruh permukaan bumi. Air tergenang membasahi tanaman menimbulkan setitik embun di daunan. Gadis itu duduk di salah satu bangku rongsokan sembari menyelimuti dirinya dengan selendang tua yang lembut. Hujan kali ini, membawa dirinya kepada rindu yang membuncah untuk keluarga di kampung. Helaan nafas kesekian kalinya terdengar jelas dan derup langkah memasuki kos-kosan sederhana tersebut. Anna terpenjat menatap dirinya yang semakin kurus diperas kelaparan. Hanya selembar uang 2 ribu rupiah tersemat di kantung celananya. Malam ini, ia akan kembali menahan nafsu makan itu sambil menikmati dinginnya kabut hujan.

“Hari ini tugas kalian membuat makalah tentang bagaimana gaya kepemimpinan yang dipakai dalam keluarga beserta libatkan konsep-konsep kepemimpinan yang sudah kita pelajari hari ini. Saya tutup jam perkuliahan ini, terimakasih”. Buk Tia selaku dosen kepemimpinan pun melangkahkan kaki keluar. Begitu pula kami yang bersemangat meninggalkan tempat membosankan tersebut.

Seperti biasa, Anna kembali menghabiskan malam dengan layar besar itu sambil menarikan tangan diatas keyboard. Tugas beberapa hari yang lalu menumpuk dan tenggat waktunya adalah besok. Sebenarnya Anna bukan tipe mahasiswa pemalas, tetapi banyak mitos beredar jika sudah hampir tenggat waktu, maka arwah semangat pun berapi. Melihat tugas yang baru itu, ia teringat Ayahnya yang sudah wafat saat ia berumur 10 tahun. Lelehan bening di matanya pun segera ia seka karena takut mengenai barang berharganya yaitu laptop. Anna tidak pernah membayangkan, jika dia akhirnya memasuki dunia perkuliahan bahkan sudah hampir selesai. Memang tidak mudah. Karena Ibunya dia rela melanjutkan pendidikan. Anna pun segera mengambil handphone dan terdengarlah nada memanggil. Tetapi, sambungan itu lagi-lagi tidak terangkat. Anna pun menghela nafas sebentar. Ia berbaring menatap langit kamarnya sendu.

“Kenapa sulit ya Tuhan? Apa bisa aku bertahan sampai waktunya tiba?”. Suara tangisnya pun tertutup derasnya hujan di malam itu.

Jessy selaku sahabat Anna yang terbilang ambis kini membabat semua soal kuis dosen yang disegani. Anna menatap manik hitam itu seakan ada rahasia yang tersembunyi. Awalnya Anna tidak ingin bertanya tetapi melihat Jessy berangsur ke kamar mandi ia pun menyusul.

“Kenapa Je?” tanya Anna melihat sahabatnya meringkuk di depan pintu kamar mandi. Pelan-pelan terdengar suara isakan pilu dan bahu yang bergetar. 5 menit Anna menunggu Jessy menangis meluapkan rasa di dalam hatinya.

“Orangtuaku Na…”

“Kenapa dengan mereka?”. Jessy pun mengangkat wajahnya. Terlihat mata berair dengan hidung sedikit kemerahan. Mimik wajah itu sebenarnya lucu tetapi Anna menahan itu semua dan fokus ke cerita Jessy.

“Tempo hari, mama menelponku dan bertanya keadaanku. Aku mulai menceritakan semuanya terlebih ketika mendapat apresiasi yang baik dari dosen. Papa menimpalinya dengan bertanya apakah semua itu benar?. Aku hanya diam menyimak pertanyaan itu. Kulihat ada keraguan yang mendalam di mata mereka. Penyebab semua itu berawal dari guru yang kupanggil bibi. Dia bertanya tentangku dan mama menceritakan semuanya. Bibi itu meremehkanku seakan lulus nanti aku tidak jadi apa-apa. Apakah serendah itu jurusan kita? Jadi yang kulakukan selama ini tidakkah berharga di mata mereka? Baiklah, aku terima jika di kata-katain seperti itu. Tapi aku tidak ingin orangtuaku jadinya ragu bahkan curiga terhadapku. Harus bagaimana lagi aku membuktikan semuanya untuk membalikkan kepercayaan mereka? Bahkan sekarang mereka memantau aku seakan anak SMP yang baru mengenal dunia luar. Anna, aku harus bagaimana?”.

Jessy mengusap air matanya. Suaranya tersenggal-senggal membuat Anna langsung memberikan pelukan hangat. Jujur, Anna baru melihat Jessy menangis tersedu-sedu. Tidak pernah ia melihat sosok kuat itu menangis. Apakah masalahnya sangat berat?

“Je. Anggapan orangtua itu dijadikan motivasi aja. Anggap itu menjadi tugasmu untuk segera menyelesaikan studi ini. Saat kau memasuki kampus, terbesit tidak jika itu adalah pilihanmu? Mungkin sekarang kau menyesal. Tapi ini udah jauh perjalanannya apa mau berhenti ditengah jalan?. Jangan dimasukan ke hati yah ucapan mereka. Papa dan Mamamu tidak bisa melihat secara langsung. Tetapi kau yang menjalaninya. Jadi kau yang harus membuktikan bahwa dirimu bisa. Yuk semangat lagi”. Jessy pun mengangguk tersenyum. Anna merasa lega akhirnya sahabatnya mau bangkit kembali. Keduanya pun merapikan penampilan dan mengikuti pembelajaran lagi.

Gumpalan asap terlihat dari kopi yang Anna sesap. Ia baru saja pulang dari kampus dan berjalan menuju kos sederhananya. Langkahnya terhenti ketika melihat segerombolan anak kecil bermain ditaman. Ada ayunan juga disana membuat kakinya melangkah dan segera menduduki ayunan itu. Ia pun mengayunkan pelan sembari menikmati pemandangan di depannya. Dia merasa iri dan ingin membalikkan waktu ketika ia masih kanak-kanak. Langit hari ini tidak terlalu terang juga tidak mendung seperti akan turun hujan. Angin pelan berhembus membuat rambut Anna sedikit berantakan tetapi ia tidak keberatan.

“Menikmati angin kah?”

Anna menoleh sedikit kaget melihat Reinhard dengan seutas senyum di bibirnya. Anna pun mengangguk dan kembali menatap kedepan.

“Cuman sekedar aja. Tapi kenapa kita bisa bertemu disini? Kau tidak pulang?”. Reinhard memelankan ayunan Anna dengan tangan kekarnya kemudian duduk di ayunan sebelahnya.

“Niatnya mau pulang. Tapi melihat gadis senja melamun aku tergerak ke sini”

“Jangan menyebutku gadis senja lagi. Yasudah aku pergi dulu. Sepertinya akan turun hujan”. Anna beranjak dari tempatnya tiba-tiba terhenti ketika tangan itu menggenggamnya.

“Sampai kapan kau menjauh Anna? Apa hubungan kita benar-benar berakhir?”

“Rei. Kau yang memulainya duluan. Gadis yang cantik itu pilihanmu. Memang benar kan, laki-laki tidak cukup 1 mangsa saja?. Jadi untuk apa melanjutkan hubungan jika dasar kepercayaannya saja udah hilang. Aku mohon. Berhenti mengikutiku. Kita selesai secara sepihak. Kau lanjutkan perjalananmu begitu juga aku”.

Anna melanjutkan langkahnya meninggalkan Reinhard dengan penuh penyesalan. Benar saja, kota ini sekarang dibasahi rintik hujan. Anna tidak menghindar ataupun berteduh. Ia membiarkan tubuhnya dibasahi hujan untuk kesekian kali. Menyamarkan air mata dan suara isakan tangisnya. Ia merindukan masa kecil yang indah. Merindukan pelukan hangat seorang ibu. Merindukan rumah yang nyaman untuk ia tempati. Hingga Anna tidak sadar sudah menempaki langkah di kosnya. Terlihat kucing putih menunggunya didepan pintu. Anna tersenyum lalu mengelus lembut bulu itu dengan tangan dinginnya.

“Maaf cantik. Hari ini aku tidak punya sisa makanan. Kau carik makan ditempat lain dulu ya. Aku ingin sendiri”. Setelahnya suara pintu tertutup dengan gelapnya suasana di sore menjelang malam tersebut.

Gadis berambut hitam panjang itu pun terbangun. Matahari mengintip malu-malu di sela jendelanya. Anna menatap jam dinding yang menunjukan pukul 10 pas. Ia pun segera mengambil handphonenya dan mengecek apakah ada jadwal di hari rabu ini.

“Akhirnya ada jadwal bimbingan. Sangat langka rasanya jika melihat Pak Sean meluangkan waktu”. Anna pun menghela nafas sembari mengumpulkan nyawanya.

Ruangan dengan warna putih mendominasi serasa mencekam membuat Anna kembali menenangkan diri. Di depannya terlihat dosen muda yang menjabat sebagai dosen pembimbingnya. Hari ini Anna kembali mengajukan proposalnya untuk di ACC. Pak Sean menatap serius kertas-kertas tersebut sembari menyesap kopi hitam miliknya.

“Harus berapa kali saya bilang Anna. Lagi-lagi kesalahan kamu masih sama. Saya tidak akan menandai apa yang perlu di koreksi. Silahkan kamu menilainya sendiri. Seharusnya kamu menggunakan waktu sekarang untuk fokus kepada skripsi ini. Bukannya mengulang mata kuliah lagi. Kamu mau menambah semester lagi?”

“Tidak pak. Saya ingin lulus dengan tahun yang pas”

“Yaudah kamu usahalah dari sekarang. Saya kasih kamu waktu hingga akhir bulan ini. Bulan Januari, kamu udah harus sidang dan lanjut ketahap selanjutnya. Paham?!”

“Paham pak. Terimakasih untuk waktu bimbingannya, saya ijin pamit keluar pak”.

Suara kaki tidak mengusik gadis yang melamun menatap kosong kertas-kertas ditangannya. Wangi roti bakar menusuk indra penciumannya.

“Nih. Dimakan ya Na. Aku tadi beli di depan pas akang langgananku lewat”

“Makasih Je”. Jujur, perutnya sudah meronta-ronta meminta makan. Jessy menyambar kertas ditangannya lalu membacanya dengan serius.

“Kok belum di ACC sih?”

“Masih banyak yang salah Je. Kau bagaimana?”

“Aku udah di ACC kok. Januari awal aku melaksanakan sidang. Padahal aku berharap kita bisa sama-sama”. Anna tersenyum teduh. Ia memeluk sahabatnya itu.

“Kau bisa Anna. Ayok dicoba lagi. Kalau udah di ACC aku akan mentraktirmu ayam penyet gimana?”. Tawaran menggiurkan itu pun diterima Anna dengan semangat.

“Udah jangan nangis lagi. Kau tau, aku jumpa sama Deo hari ini. Dia menanyakan kabarmu dan memberikan coklat ini. Dia juga kirim salam loh”. Jessy menyenggol bahu Anna sambil memberikan tatapan menggoda. Anna menggelengkan kepala dan menyimpan coklat itu dikantongnya.

“Kenapa aku jarang melihatnya?”

“Deo tuh lagi sibuk-sibuknya. Sepertinya dia menaruh perasaan kepadamu Anna. Apa kau tidak berniat memiliki pacar di tahun baru yang akan datang?”

“Kamu urus dulu Adit dan sidangmu di Januari. Jangan menyuruhku yang tidak-tidak”. Anna dan Jessy pun menertawai kebodohan mereka. Keduanya beriringan meninggalkan kampus tercinta menuju kos sederhana mereka.

Seperti biasa, Anna membersihkan kos kecilnya dengan telaten. Tangan dan kakinya seakan menari kesana kemari mengikuti musik dangdut kesukaannya. Ini yang menjadi kebiasaan Anna setiap hari sabtu pagi menjelang siang. Tidak lupa ia menjemur seprei yang begitu tebal hingga hampir membuatnya jatuh tenggelam. Seprei itu sangat tebal dan jika terkena air tentu beratnya tidak sebanding dengan tubuh Anna.

“Kapan membayar uang kosannya Anna?”. Gadis itu terpenjat kaget melihat wanita yang berumur dengan daster warna merah darah.

“Eh bibik. Masuk dulu. Anna lagi bersih-bersih”

“Tidak usah. Ini sudah 2 bulan Anna. Saya tidak ingin mendengar alasan apapun. Kamu harus membayarnya segera atau angkat kaki dari sini!”

Bibik kos pun melangkahkan kaki keluar meyisakan Anna yang terduduk lemas. Darimana uang sebanyak itu ia carik? Ibunya saja susah untuk dihubungi. Makan juga masih dicukupkan. Anna terdiam menatap sejumlah uang tabungan di depannya. Cukup untuk melunasi uang kos nya tapi ia tentu tidak makan apa-apa setelah ini.

Anna berlari kecil kearah gadis berambut pirang di simpang jalan sana. Tak lupa senyum yang mengambang di sore hari senja ini.

“Makasih yah Jessy”

“Tidak masalah. Jadi besok, kau bisa mulai bekerja Na. Kakak iparku menunggumu di cafenya. Alamatnya tadi udah aku share kan. Kau tinggal menandatangani dokumen ini dulu sebagai persyaratan dan persetujuan bahwa kau jadi karyawan disana”. Dengan cepat Anna menandatanganinya lalu mengambil seragam dari Jessy.

“Apa itu tidak akan menganggu perkuliahanmu?”

“Tentu tidak Je. Bulan ini hanya berupa bimbingan saja. Aku bisa membagi waktu nanti”

“Baiklah. Semangat Anna!”

Disinilah gadis itu berakhir. Sebuah cafe yang terletak tidak jauh dari kosannya. Sudah seminggu Anna bekerja untuk mengumpulkan uang sekaligus menghindar dari bibik kos.

“Kak, aku duluan yah”

“Gak mau diantar aja Na? Udah malam kali ini”

“Makasih kak. Tapi Anna jalan aja. Karena dekat kok. Kakak hati-hati berkendaranya”. Kak Tari pun mengangguk. Anna menelusuri jalan yang dihiasi lampu kuning serta kendaraan yang berlalu lalang. Pemandangan malam hari itu sangat indah dan juga menenangkan. Anna mengeratkan jaketnya ketika hawa dingin menusuk kulitnya.

“Serahkan barang-barangmu!”

Miris. Dipertengahan jalan ia dihadang preman. Anna berusaha melepaskan diri tetapi suaranya bagaikan angin sepoi-sepoi. Pertolongan tidak ia dapat dan berakhir, gajinya yang tak seberapa itu ditarik paksa. Anna tidak bisa melawan lagi. Kakinya lemas menatap dirinya yang lemah ini. Air matanya tidak bisa ia bendung. Seharusnya ia menerima tawaran Kak Tari.

Tringgggg…..

“Halo? Kenapa dek?”

“Kakak dimana?! Segera kesini! Ibu sekarat kak”. Gelas yang digenggam Anna pun terjatuh. Masalah apalagi yang akan menimpanya?. Anna pun mengambil sisa tabungan dan menuju ke halte.

Isakan tangis terdengar dari luar saat Anna baru memijakkan kaki di tanah lembab itu. Kerumunan orang memberikan jalan kepadanya seakan mengijinkannya untuk bertemu ibu untuk terakhir kalinya. Anna memandang wajah keriput pucat itu lalu mengelus tangan sedingin es batu.

“Kak…ibu kak…”

Anna tidak buta ataupun tuli. Anita adiknya menangis sesak melihat ia yang tidak kunjung bicara.

“Anna. Ikhlasin ibu kamu yah. Tuhan lebih sayang ibu kamu”, ucap tetangganya yang dulu selalu membantu keluarganya. Anna menggeleng kepala pelan. Akhirnya air mata itu pun jatuh setelah ditahan beberapa menit.

“Kenapa bu? Kenapa ninggalin Anna sekarang? Ibu tidak rindu sama putri sulung ini? Anna ingin peluk ibu tapi badan ibu dingin dan kaku. Liat! Anna udah disini bu. Ayok kepangin rambut Anna lagi. Ibu kan udah janji tahun lalu”. Orang-orang disana tidak tanggup melihat Anna seperti ini.

“Kak. Ikhlasin Ibu. Kita doain Ibu ya kak”. Anita menggengam bahu Anna tetapi di hempas si empunya.

“TIDAK! IBU KITA MASIH HIDUP TA! IBU BANGUN! BILANG SAMA ANITA KALO IBU CUMAN TIDUR SAJA AYOK BANGUN BUK! IBUUUU”

DUARRR….

“IBUK!”

“Anna, kau udah sadar? Ayok minum dulu”

“Je. Ibu ku Je!”. Anna terlihat seperti orang gila dimata Jessy. Ia kasihan melihat sahabatnya itu.

“Sepertinya kau mimpi buruk. Ayok minum dulu”. Anna menurut. Ia mengedarkan pandangan di ruangan yang ditempati. Aroma obat menusuk penciumannya.

“Aku kok disini?”

“Kau pingsan di jalan kemarin. Kak Tari yang membawamu kesini. Kata dokter kau mengalami anemia dan dehidrasi parah”. Anna merasa bingung dan mimpi yang ia dapat seakan nyata.

“Je. Aku mau pulang kampung”. Ia memeriksa gajinya semalam dan tentunya masih utuh. Jessy menahan tangannya dan menunjukkan keadaan diluar sedang hujan deras.

“Besok Deo akan mengantarmu. Aku sudah mengabari nya. Sekarang istirahat. Jangan membuatku takut Na”.

Rumputan hijau, suara burung-burung serta angin yang sejuk menerpa tubuh Anna. Ia pun melangkahkan kakinya di rumah kecil setelah berterima kasih kepada Deo. Ia menerobos pintu kayu itu dan melihat sosok wanita tua duduk di kursi goyang sembari tangannya bergerak membuat selendang rajut. Anna pun memeluk wanita itu dengan hangat.

“Loh. Kamu kapan pulang?”

“Ibu baik-baik aja kan? Anna khawatir dari semalam”.

Wanita yang ia sebut ibu itu menatap Anna dengan teduh. Senyum manisnya tidak pernah luntur bahkan sudah diterjam usia. Ia pun mengelus pelan rambut hitam panjang anak sulungnya.

“Ibu sama Anita disini baik-baik aja kak. Seharusnya ibu yang bertanya keadaan kamu. Maaf ya. Ibu gak bisa menghubungi kamu. Handphone ibu tenggelam disungai saat mau nyuci baju”. Anna tentu terdiam. Ia mengusap air matanya kemudian menekuk lututnya di lantai.

“Ibu. Maafkan Anna ya selama ini banyak mengeluh. Padahal kehidupan Ibu dan Anita disini juga sama parahnya. Anna janji bu, akan menyelesaikan pendidikan di tahun depan. Doakan Anna yah biar bisa sidang Januari nanti. Anna juga udah punya kerja sampingan. Ini Anna sediain sedikit untuk ibu dan Anita”.

Ibu menatap sendu putri sulungnya yang sudah beranjak dewasa ini. Padahal baru kemarin ia mengepang rambut si sulung ini.

“Makasih ya sayang. Ibu bangga sama kamu. Tahun depan, bawakan ibu roti bakar keju ya dari kota. Tahun depan, ibu harus liat Anna pake kebaya yang udah ibu jahit pasti akan cantik”.

Anna kembali memeluk ibunya. Ia tidak ingin kehilangan oragtuanya untuk kedua kali. Anna bertekad menukar semua keinginannya dengan harapan ibunya tadi.

“Anna itu siapa?”.

Gadis itu menatap lelaki sebayanya yang tersenyum manis. Anna hanya bisa memberikan kode kepada ibunya melalui lirikan mata. Kini ia tidak akan berdiri sendiri untuk memenuhi harapan ibunya di tahun yang akan datang. Karena ada sepasang kaki lain bersamanya meskipun asing keberadaannya.

Tagar:

Bagikan postingan

satu Respon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *