Cahaya yang Tersisa di Ujung Jalan

Warna merah menyala terang di ujung jalan. Suara deru mesin mulai mereda, seolah jalanan ikut menahan napas. Di tengah lajur kendaraan yang berbaris rapi, seorang anak laki-laki melangkah maju dengan kostum badut kebesaran dan wajah penuh cat warna-warni yang mulai luntur oleh peluh dan debu.

Namanya Gadhing. Usianya tak lebih dari dua belas tahun. Tapi hidup telah menjadikannya tua sebelum waktunya.

Dulu, ibunya memberinya nama itu agar kelak ia tumbuh menjadi laki-laki yang kokoh, kuat, dan berharga, seperti gading yang putih dan keras, meski berasal dari sesuatu yang hidup dan lembut. Harapan yang besar dari orang tua sederhana.

Dengan sepasang bola mata yang tajam mengintai waktu, ia tahu betul kapan harus bergerak, kapan harus berhenti. Di bawah sorot matahari siang yang kejam, ia mulai melompat-lompat kecil, menggoyang-goyangkan balon panjang yang dibentuk menyerupai bunga..

Beberapa pengemudi hanya melirik tanpa ekspresi. Ada yang menatap iba, tapi tetap menggenggam erat recehannya. Ada pula yang sengaja memalingkan muka ke arah jendela, pura-pura sibuk dengan ponsel. Di antara semuanya, hanya seorang ibu di mobil tua yang menurunkan kaca jendela dan menyerahkan dua lembar uang ribuan.

“Terima kasih, Bu,” kata Gadhing lirih, namun senyumnya tetap mengembang, seperti yang diajarkan oleh almarhum neneknya:
“Gadhing, ingat. Lelaki kokoh bukan yang keras kepala, tapi yang kuat hati dan tetap bisa tersenyum, meski sedang sakit.”

Tiga puluh detik berlalu. Dua puluh lima. Dua puluh. Sepuluh.

Gadhing mulai mundur perlahan ke trotoar. Di dalam hatinya, ia mulai menghitung mundur tanpa melihat timer.

Tiga… dua… satu…

TIIN! TIIIIIN!
Suara klakson langsung bersahut-sahutan. Seolah waktu yang ditahan selama satu menit itu harus dikejar dengan kebisingan. Mobil-mobil merayap cepat, bahkan sebelum kendaraan di baris depan benar-benar bergerak.

Gadhing menatap semua itu dengan mata lelah. Dalam hati, ia bergumam:

“Hanya sekian detik… orang sudah terburu-buru. Sesibuk itukah mereka? Memang pantas saja orang bilang, waktu adalah uang.”

Gadhing masih duduk di trotoar, mengipas wajah dengan topi badut lusuhnya, ketika sebuah suara menyapa pelan dari belakang.

“Capek ya, Gadh?”
Suaranya ringan, tapi ada nafas yang ngos-ngosan di baliknya.

Gadhing menoleh dan mendapati seorang anak laki-laki seumurannya menghampiri, memanggul tas berisi botol-botol minuman dingin dan plastik berisi permen serta tisu. Bajunya lusuh, topinya miring, tapi wajahnya selalu cerah. Namanya Bintang.

Bintang duduk di sebelah Gadhing tanpa banyak basa-basi. Mereka sudah seperti saudara. Sama-sama hidup dari jalan, dari lampu merah yang selalu berubah warna, dari sisa-sisa perhatian pengendara yang kadang ingat, tapi lebih sering lupa.

“Kamu tadi dapat berapa?” tanya Bintang sambil membuka sebotol air minum dan menyeruputnya.

“Sepuluh ribu,” jawab Gadhing. “Tadi ada ibu yang baik, kasih dua ribuan dua lembar.”

Bintang mengangguk. “Lumayan. Bisa beli nasi sama tempe nanti.”

Mereka terdiam sejenak, memandangi kendaraan yang melintas cepat.

Gadhing memandangi temannya dan berkata lirih, “Bintang, kamu beruntung masih bisa sekolah.”

Bintang tersenyum kecut. “Ya… meski cuma sampai siang. Sekolah gratis di yayasan dekat rel itu. Tapi tetap lumayan.”

“Aku pernah minta sama Bapak buat sekolah, tapi bapak melarangnya karena aku harus membantu ketiga adikku.”

Bintang tak menjawab. Ia tahu rasa itu. Rasa ingin belajar, tapi hidup berkata lain.

Karena ingin bisa baca-tulis, Gadhing sampai memohon pada Bintang agar mengajarinya tiap malam. Di bawah jembatan penyeberangan, dengan cahaya temaram dari lilin yang bergoyang-goyang terkena angin malam dan papan tulis bekas dus mie instan, Gadhing mengeja huruf demi huruf. Lambat, tapi pasti.

Warna merah kembali menyala.

Gadhing langsung bangkit. Topi badutnya ia pasang kembali. Cat di pipinya mulai pudar, tapi semangatnya tidak.

Bintang pun berdiri, memanggul dagangannya. Keduanya melangkah ke tengah jalan, berlawanan arah tapi dengan tujuan yang sama: bertahan.

Gadhing melompat-lompat di antara sela kendaraan, mencoba membuat orang tertawa meski dirinya sendiri letih. Di sisi lain, Bintang berjalan cepat, menawarkan botol minuman pada jendela yang terbuka, kadang ditolak, kadang diterima dengan senyum.

Waktu kembali berjalan dalam irama yang sama.

Saat itu, mata Gadhing tertumbuk pada sebuah mobil berwarna putih di baris kedua. Di dalamnya, duduk seorang anak laki-laki seumurannya. Seragam putih-merahnya masih rapi, dasinya terikat sempurna, rambutnya tertutup topi sekolah. Di pangkuannya tergeletak buku-buku tebal dan kotak bekal makan siang. Anak itu sedang menatap keluar jendela, ke arah Gadhing.

Mereka bertatapan sebentar. Bukan tatapan iba, bukan pula hinaan. Hanya tatapan kosong—seolah dua dunia berbeda saling melihat sebentar, lalu kembali ke jalan masing-masing.

Hati Gadhing terasa dingin. Ada sesuatu yang menusuk dari dalam. Bukan iri, bukan juga benci. Mungkin hanya rindu. Rindu pada sesuatu yang belum pernah benar-benar ia miliki: bangku sekolah, guru yang menulis di papan tulis, dan jam istirahat.

Tiga puluh detik. Dua puluh lima. Dua puluh. Sepuluh.

Gadhing menoleh ke arah Bintang dan melihat Bintang menyerahkan air minum pada seorang sopir truk dan tersenyum kecil. Ia kembali ke trotoar, begitu pula Bintang.

Keduanya duduk bersisian lagi, kali ini tak bicara. Hanya diam, tapi saling tahu isi kepala masing-masing.

Hanya sekian detik. Tapi dari sekian detik itulah hidup mereka bergerak.

Malam harinya, di bawah jembatan penyeberangan yang sepi, Gadhing duduk bersila di atas kardus bekas. Di depannya, lilin kecil menyala goyah, ditiup angin yang masuk dari sela-sela beton. Lilin itu satu-satunya penerangan yang mereka punya.

Di sebelahnya, Bintang membuka buku tulis yang sudah kumal, halamannya penuh huruf-huruf yang dilatih dengan susah payah.

“Ayo, ulangi yang kemarin,” kata Bintang sambil menunjuk huruf di buku.

Gadhing mengeja perlahan, suaranya bergetar tapi yakin. “Be…a… ba. De…a… da. Ma…ta… mata…”

Bintang tersenyum kecil. “Bagus. Udah makin lancar.”

Gadhing menatap nyala lilin yang bergoyang. Bayang-bayang mereka menari-nari di tembok beton, seperti cerita yang belum selesai ditulis.

“Aku tadi melihat anak seumur kita di dalam mobil. Pakai seragam. Bawa buku. Mungkin habis pulang sekolah,” gumamnya.

Bintang tak langsung menjawab. Ia hanya menatap Gadhing sebentar, lalu kembali melihat buku.

“Mungkin nanti kamu juga bisa. Kita nggak tahu. Yang penting sekarang kita belajar. Sedikit-sedikit, lama-lama jadi bisa.”

Gadhing mengangguk pelan. Lilin di depan mereka makin kecil. Tapi di dalam dadanya, sesuatu terasa hangat.

Malam semakin larut. Setelah menyelesaikan pelajaran singkat di bawah cahaya lilin, Gadhing dan Bintang berkemas. Lilin mereka padamkan bersama, lalu berjalan menyusuri gang kecil yang remang dan sempit. Rumah mereka berdampingan, dua bangunan reyot berdinding tripleks dan atap seng karatan yang selalu bocor saat hujan.

Di depan rumah sebelah, Gadhing melihat Bapak Bintang sedang jongkok di dekat sepeda ontelnya. Tangannya yang kasar mengelap ban yang bocor, sambil sesekali meniup debu dari tambalan karetnya.

Sepeda itu bukan sekadar alat transportasi. Itu adalah modal kerja—kendaraan yang membawanya keliling kampung dan pasar untuk menawarkan jasa sebagai tukang sol sepatu keliling. Di bagian belakang sepeda, ada kotak kayu kecil berisi palu, jarum sepatu besar, benang nilon, dan lem murahan.

Meski tubuhnya ringkih, bapak Bintang bekerja nyaris tanpa mengeluh. Gadhing pernah dengar dari Bintang, bapaknya selalu berkata, “Meski rezeki kecil, asal halal dan nggak nyusahin orang, itu cukup buat kita.”

Gadhing tersenyum kecil, lalu menoleh ke arah rumahnya sendiri. Di depan pintu, Bapaknya sedang duduk santai di bangku kayu reyot, menghisap rokok kretek murahan sambil sesekali menyeruput kopi panas dari cangkir enamel.

Tidak ada alat kerja. Tidak ada tambalan sepatu. Tidak ada sepeda ontel. Hanya asap rokok yang menari di udara dan suara seruputan yang menyatu dengan nyanyian jangkrik.

Gadhing melangkah masuk, namun langkahnya terhenti oleh suara berat bapaknya.

“Eh, Gadh… mana duitnya hari ini?”

Tanpa berkata, Gadhing merogoh kantong celana dan menyerahkan beberapa lembar uang lusuh. Bapaknya menerimanya sambil mengangguk pelan, lalu kembali menyandarkan tubuhnya dengan santai, memandangi langit yang tak berbintang.

Gadhing berlalu masuk ke kamar. Sebuah ruangan kecil dengan kasur tipis di atas lantai semen dan satu bantal bekas. Ia duduk di ujung kasur, memandangi langit-langit. Lampu mati, hanya cahaya temaram dari luar jendela yang menembus lubang-lubang dinding.

Dalam keheningan malam, pikirannya melayang. Pendapatannya hari ini lebih banyak dari Bintang, itu biasa. Ia bekerja dari pagi, sementara Bintang baru turun ke jalan setelah pulang sekolah. Gadhing tak butuh modal, hanya kostum badut, sebotol air, dan topi lusuh. Sementara Bintang harus menyetor sebagian ke pemilik barang dagangan. Untung sedikit, tapi tetap dijalani dengan senyum.

Namun, entah kenapa… Gadhing tidak merasa lebih beruntung.

Ia memejamkan mata. Dalam pikirannya kembali terbayang tatapan kosong anak berseragam di dalam mobil siang tadi, juga cahaya lilin yang goyah saat ia mengeja huruf. Semuanya datang silih berganti, seperti film yang diputar diam-diam dalam benaknya.

“Kenapa rasanya… aku terus jalan di tempat?”
“Kenapa walaupun aku lebih banyak dapat uang… tetap terasa kosong?”

Di luar, suara gelas diletakkan di lantai dan bunyi kursi kayu yang digeser mengabarkan bahwa bapaknya telah masuk ke dalam rumah. Tapi Gadhing tak bergeming. Malam terasa sunyi. Tapi di kepalanya, suara-suara terus berputar. Hanya sekian detik di lampu merah. Tapi sisa harinya adalah pertanyaan panjang yang belum bisa dijawab.

Lalu tanpa sadar, ia bergumam dalam hati—kalimat yang bahkan ia sendiri tak yakin dari mana datangnya:

“Melahirkan anak dalam keadaan miskin… adalah kejahatan.”

“Karena itu seperti… mengubur mimpi anak sejak lahir.”

Gadhing langsung merasa bersalah setelahnya. Tapi kalimat itu terus terngiang di benaknya. Ia tahu orang tuanya tidak minta dilahirkan miskin. Tapi kenapa seolah tak ada usaha untuk keluar dari lubang itu?

Ia melihat ke arah dinding yang memisahkan rumahnya dan rumah Bintang. Tipis, bisa mendengar suara dari seberang jika malam terlalu sunyi. Ia ingat betul suara bapak Bintang menyemangati anaknya beberapa malam lalu:

“Bintang, meski kita miskin, kamu jangan pernah berhenti belajar. Nanti Bapak tambah keliling lebih jauh, asal kamu tetap sekolah.”

Gadhing tak pernah mendengar kalimat seperti itu dari bapaknya sendiri. Tak pernah. Yang ada hanya permintaan setoran, dan sisa-sisa omelan tentang betapa beratnya hidup.

Gadhing berbaring pelan, memeluk bantal tipis yang baunya sudah menyatu dengan malam. Ia menatap langit-langit rumahnya, berharap menemukan jawaban di antara retakan-retakan semen yang mengelupas.

Dalam hati kecilnya, Gadhing ingin berteriak:

“Aku bukan mesin pencetak uang! Aku anak! Aku punya mimpi!”

Tapi suara itu hanya bergema dalam batin. Tidak terdengar. Tidak tersampaikan.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *