“Mulailah menghitung hari menggunakan jam ini! Jika tidak ada yang membukakan pintu, jangan pernah keluar sebelum dua tahun!”
Ucapan itu terngiang-ngiang dalam benak Siran. Pesan terakhir dari tentara sebelum menutup pintu dari luar. Itu sehari lalu, tak lama setelah cahaya terang terlihat di selatan cakrawala. Para tentara yang membawanya menggerutu soal Australia yang menjadi sasaran gara-gara ikut-ikutan.
Siran melihat jam pemberian itu sekali lagi. Sudah 24 jam ia di sini. Tangannya membuka tutup spidol lalu menggores papan tulis putih di samping kalender tahun ini. Pada kolom HARI ia membentuk satu garis.
Lima teman jalan-jalannya masih tidur. Ikar, Ibad, dan Mila, sembilan tahun seperti dirinya. Ersi dan Jimi yang lima tahun lebih muda. Kemarin, dua balita itu sempat menangis ketika para tentara menggendong mereka ke ruang ini. Ternyata, berwisata ke Bandung tak seperti yang terbayang. Tidak ada naik kuda atau wahana permainan, malah lorong-lorong remang dan ruang yang mengurung.
“Sudah satu hari, yah?” ucap Ibad yang bangun paling terakhir, selain Ersi dan Jimi yang masih pulas. Siran mengangguk dan menunjuk papan putih agar Ibad ikut membaca. Ibad menoleh dan melihat kolom HARI sudah terisi, sementara kolom MINGGU dan BULAN masih kosong.
“Kenapa harus dua tahun?” tanya Ibad.
“Mungkin menunggu aman,” jawab Mila.
“Aman dari apa?” tanya Ibad lagi.
“Perang.” jawab Mila.
“Memang jadi?”
“Sepertinya,” jawab Mila. “Menurutku merah-merah di langit kemarin itu ledakan.”
“Aku kira itu ledakan meteor,” timbrung Ikar. “Soalnya mirip waktu melesat.”
“Meteorit namanya kalau sampai jatuh ke Bumi.” kritik Mila.
“Negara kita kan tidak ikut-ikutan,” gugat Ibad. Mila menggerakkan bahunya.
“Nama-nama kalian ada di sana,” ucap Siran menunjuk perpustakaan tempat empat lemari buku berjajar. Setiap raknya bertingkat lima dengan buku-buku beragam ukuran. Mareka berpencar mendatangi masing-masing rak yang memampang nama mereka di bagian atasnya.
“Bukunya beda-beda?” tanya Ikar.
“Sepertinya begitu,” jawab Siran. “Mereka memberi nomor pada setiap tingkat sebagai urutan,” tambahnya.
“Ini buku-buku pelajaran kesukaanku! Biologi!” seru Mila lalu memindai semakin ke bawah, “Di paling bawah buku-buku kedokteran.”
“Ini juga pelajaran favoritku,” ujar Ikar kalem “Matematika dan fisika. Tapi di bawahnya buku-buku teknik bangunan,”
Ibad mengambil salah satu buku di raknya. “Ini buku-buku tentang pertanian dan peternakan. Yang paling atas kebanyakan tentang hidroponik. Yang paling bawah budidaya semua. Lele, domba, sapi, sawi, tomat.”
Mila menoleh ke Siran. “Kamu gimana?” tanyanya.
Siran memamerkan salah satu buku pada Mila. “Sosial budaya,” jawabnya.
Setelah hening Ikar bertanya “Kenapa kita disuruh baca ini?”
Mila malah menggeleng lalu bertanya pula “Kenapa kita? Itu dulu sih harusnya.”
“Iya juga, yah,” ujar Ikar. “Kenapa kita?”
Siran menatap tiga temannya berurutan. Terpikir satu hal lalu bertanya “Sebelum kalian ditawari jalan-jalan, kalian pernah mengisi biodata?” tanyanya.
“Pernah,” jawab Mila, sementara Ikar dan Ibad mengangguk mengartikan sama.
“Nama, usia, hobi, cita-cita?” tanya Siran lagi.
“Iya,” jawab Mila. “Formulir itu kan?”
“Cita-cita kamu apa, Mil?” tanya Siran
“Guru.”
“Kamu, Bad?”
“Guru.”
“Kamu, Kar?”
“Sama.”
“Berarti, pertanyaan kenapa kita itu sudah terjawab,” ujar Siran.
***
Siran membaca buku pertamanya.
Kami tak punya waktu dan sumber daya yang cukup untuk membangun fasilitas ini lebih banyak. Kalian adalah orang-orang paling pantas. Bukan orang-orang dewasa yang naluri biologisnya membutuhkan ruang dan material yang lebih rumit. Tempat ini kami rancang untuk kalian bertahan hidup selama tiga tahun. Berikut adalah hal-hal yang harus kalian utamakan keberlangsungannya.
Oksigen yang kalian hirup berasal dari beragam tanaman yang ada di ruang hidroponik dan tanaman-tanaman rambat di dinding tiap ruangan. Biarkan mereka tumbuh. Kami membuat sistem pantul cahaya matahari untuk proses fontosintesis dan penerangan, selain lampu-lampu tenaga surya. Jangan pernah mencoba membuat api meskipun Alat Pemadam Api Ringan ada di setiap ruangan.
Sumber makanan kalian adalah makanan-makanan kaleng yang ada di gudang dan sayuran yang bisa kalian petik di ruang hidroponik. Sesuaikan konsumsi dengan kebutuhan kalori yang ada di lembar berikutnya.
Sumber air minum kalian adalah air mineral yang telah kami timbun dan alirkan lewat pipa menuju kran air minum di ruang makan. Sesuaikan konsumsi air, jangan minum berlebihan.
Sumber air mandi dan buang air kalian adalah air sungai yang dialirkan lewat pipa bawah tanah. Jika tak lagi mengalir, gunakan sumber air minum. Jangan pernah mencoba memperbaiki saluran pipa. Berhematlah.
Jangan pernah tidur dalam waktu bersamaan. Selalu jadwalkan satu orang untuk berjaga.
Gunakan waktu sebanyak mungkin untuk membaca. Kami arahkan masing-masing kalian menjadi ahli dalam bidang-bidang mendasar untuk keberlangsungan peradaban.
- Mengajar
Ajarkan semua yang telah kamu pelajari pada yang lain.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi kalian.
Siran berhenti membaca halaman itu. Ia mengintip judul-judul bab lain dalam daftar isi. Jika Kalian Sakit, Perkakas, Mengajar, Keluar, Menikah. Siran menahan diri untuk melompat bacaannya pada bab terakhir, meski itu sangat membuatnya penasaran.
***
Kalian mungkin mendapati Bumi tak lagi sama seperti sebelumnya. Kalian mungkin mendapati Bumi begitu sepi, tanpa alat komunikasi yang berfungsi. Tetaplah bersama kemanapun kalian pergi. Jika kalian bertemu penyintas lainnya, tetap waspada. Jika kalian yakin mereka orang baik, berkelompoklah dengannya.
Dan jika kalian mendapati Bumi masih layak huni, terapkanlah apa-apa yang sudah kalian pelajari. Jika kalian tidak menemukan siapapun sampai kalian dewasa, maka bab berikutnya adalah hal yang sangat penting untuk kalian penuhi. Setelah semua itu, jadilah guru bagi yang lain dan generasi selanjutnya.
Siran menghela napas setelah membaca kalimat terakhir dalam bab berjudul Keluar itu. Dorongan membaca bab selanjutnya begitu kuat, tapi ia menahan diri. Ia menatap papan tulis putih yang sudah penuh goresan. Di kolom BULAN sudah terdapat 23 garis.
Tidak ada satu pun yang mengambil jatah tidurnya sehari terakhir ini. Bahkan Ersi dan Jimi hanya tidur sebentar-sebentar lalu bertanya tentang keluar.
***
Saatnya pun tiba. Ikar memutar tuas pintu kedua. Mendorongnya perlahan agar cukup waktu bagi matanya beradaptasi. Ia yang pertama keluar sepenuhnya. Ibad dan Mila menyusul. Ersi dan Jimi setengah berlari menuju terpaan sinar matahari. Siran tak kuasa menahan air mata.
Setelah semua dalam sorot cahaya surya, keenamnya pun tertegun tanpa suara. Hanya memutar tubuh ke segala arah untuk melihat sebanyak mungkin pemandangan di sekeliling mereka.
Selembar spanduk membentang di depan mereka. Lelehan di semua sisinya masih menyisakan tulisan yang terbaca. ‘SELAMAT MENGAJAR KEHIDUPAN UNTUK KALIAN’