Di sekolah tempat saya mengajar, setiap hari saya menyapa puluhan wajah muda dengan harapan: mereka tidak hanya pandai mengerjakan soal, tetapi juga tangguh menghadapi hidup. Namun, dari balik seragam rapi dan senyum sopan, saya semakin sadar bahwa ada kegelisahan yang kerap tersembunyi: bagaimana jika anak-anak ini tumbuh cerdas, tapi kehilangan arah saat menghadapi dunia nyata?
Pendidikan karakter bukan barang baru. Ia sudah lama digaungkan dalam setiap kurikulum dan pidato kebijakan. Namun, dalam praktik sehari-hari, terlalu sering kita, para pendidik, terjebak dalam rutinitas akademik yang menomorsatukan nilai kognitif, seolah karakter itu urusan sambilan—bonus jika sempat. Padahal, di tengah krisis integritas dan empati yang makin terasa di masyarakat, pendidikan karakter seharusnya menjadi poros utama, bukan pelengkap.
Data dari Profil Pendidikan Indonesia 2023 menunjukkan bahwa indikator karakter seperti kedisiplinan dan empati masih menjadi tantangan di banyak sekolah. Bahkan, dalam survei nasional, hanya sekitar 52% murid yang merasa lingkungan sekolahnya benar-benar mendukung perkembangan karakter mereka. Angka ini menjadi pengingat bahwa pendidikan karakter masih memerlukan perhatian serius dan pendekatan yang lebih bermakna.
Sebagai guru, saya percaya bahwa karakter itu bukan diajarkan lewat ceramah panjang, melainkan dicontohkan dalam tindakan konkret dan ditumbuhkan dalam suasana yang konsisten. Ketika seorang murid berkata jujur bahwa ia belum mengerjakan tugas karena membantu orang tuanya berjualan, di situlah nilai kejujuran dan tanggung jawab sedang tumbuh. Ketika seorang murid membela temannya yang dirundung hanya karena penampilan, di situlah keberanian dan empatinya bekerja.
Namun realitanya, karakter tidak tumbuh di ruang kosong. Ia memerlukan ekosistem yang mendukung. Di sekolah, kami berupaya menciptakan ruang belajar yang aman secara psikologis. Lingkungan yang tidak mempermalukan kesalahan, tapi menggunakannya sebagai sarana belajar. Kami juga melibatkan murid dalam kegiatan sosial, seperti program Adiwiyata, agar mereka tidak hanya paham pentingnya menjaga lingkungan, tetapi juga belajar bekerja sama, berinisiatif, dan peduli terhadap lingkungan.
Pendidikan karakter juga menuntut konsistensi antarguru dan seluruh warga sekolah. Ketika seorang murid ditegur karena datang terlambat, maka guru pun seharusnya datang tepat waktu. Ketika kita mengajarkan toleransi, maka tak boleh ada diskriminasi—baik dalam bentuk perlakuan maupun ucapan. Keteladanan adalah bahasa yang paling efektif dalam membentuk karakter murid. Sayangnya, di sinilah sering terjadi kontradiksi antara apa yang diajarkan dan apa yang diperlihatkan.
Lebih jauh, membangun karakter juga berarti memberikan ruang pada anak untuk mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas keputusan tersebut. Pendidikan kita selama ini cenderung terlalu protektif. Murid jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan kelas, apalagi dalam menyusun aturan atau agenda kegiatan. Padahal, dari sanalah karakter kepemimpinan dan tanggung jawab sosial bisa tumbuh. Kedisiplinan yang dipaksakan dari luar tidak akan bertahan lama, dibandingkan dengan disiplin yang tumbuh dari kesadaran diri.
Hal lain yang perlu kita sadari adalah bahwa pendidikan karakter tidak bisa disamakan antara satu murid dengan lainnya. Latar belakang keluarga, nilai-nilai yang dianut di rumah, lingkungan tempat tinggal, semua ikut membentuk keunikan tiap anak. Maka, jika karakter adalah benih yang ditanam di sekolah, rumah adalah tanah subur tempat ia berakar dan tumbuh. Tanpa dukungan dari keluarga, usaha di sekolah akan seperti menyiram tanaman yang akarnya tidak menancap kuat.
Namun, sejauh dan sekuat apapun sekolah berupaya menanamkan nilai-nilai karakter, pendidikan karakter sejati tetap tidak bisa dilepaskan dari peran keluarga. Di sinilah program OTSAB (Orang Tua Sahabat Anak Belajar) menjadi jembatan penting. Program ini bukan hanya menghadirkan orang tua dalam rapat atau ketika anak bermasalah. OTSAB menempatkan orang tua sebagai mitra sejajar yang ikut mengawasi, membimbing, dan menguatkan karakter anak-anak di luar sekolah.
Melalui OTSAB, kami membuka ruang komunikasi yang lebih hangat dan terbuka antara guru dan orang tua. Dalam forum ini, orang tua tidak hanya menerima informasi perkembangan akademik anak, tetapi juga dilibatkan dalam pemahaman perilaku, minat, dan kesulitan emosional yang mungkin tidak selalu muncul di sekolah. Anak-anak kita hari ini hidup di dua dunia: dunia sekolah dan dunia rumah. Jika keduanya tidak selaras, maka proses pendidikan karakter akan berjalan pincang.
Ada banyak kasus di mana seorang murid menunjukkan perilaku positif di sekolah, namun menghadapi lingkungan keluarga yang keras atau tidak peduli. Dengan OTSAB, kami berupaya menjembatani kesenjangan tersebut. Ketika nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, kerja sama, dan kepedulian ditanamkan baik di rumah maupun di sekolah, maka anak akan tumbuh dengan lebih kuat dan utuh. Tidak mudah memang, tapi bukan berarti tidak bisa.
Saya percaya, keberhasilan pendidikan karakter bukan semata-mata diukur dari jumlah pelatihan atau modul yang dibagikan, tetapi dari perubahan nyata dalam perilaku anak, baik di dalam maupun di luar sekolah. Ketika anak mulai berani menyapa dengan sopan, meminta maaf tanpa disuruh, atau menunjukkan empati pada temannya yang kesusahan, di situlah keberhasilan itu sedang bertumbuh.
Ironisnya, karakter tidak selalu tercermin dalam hasil ujian. Anak yang jujur mungkin dapat nilai rendah karena tidak menyontek, sementara yang curang bisa mendapat nilai tinggi. Inilah mengapa pendidikan karakter harus berjalan beriringan dengan reformasi sistem penilaian. Jika penilaian hanya berfokus pada hasil akademik, maka kita sedang menciptakan generasi yang pandai mencari nilai, bukan makna. Generasi yang pintar menjawab soal, tapi gagap saat berhadapan dengan kehidupan nyata.
Pendidikan karakter sejatinya adalah kerja bersama. Orang tua di rumah, guru di sekolah, lingkungan sekitar, bahkan media sosial yang mereka konsumsi, semua memiliki peran penting. Tapi di sekolah lah, anak-anak menghabiskan sebagian besar waktunya. Maka, sekolah harus menjadi rumah kedua yang tidak hanya memberi ilmu, tapi juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan.
Akhirnya, pendidikan karakter bukanlah tujuan yang dicapai dalam satu semester atau tahun ajaran. Ia adalah proses seumur hidup yang ditanamkan sejak dini dan dipupuk terus menerus. Kita sebagai guru memiliki peran kunci: bukan sebagai penguasa kelas, tapi sebagai penuntun dan teladan. Mari kita bangun sekolah yang tak hanya mengajar dengan kepala, tetapi juga menyentuh hati. Karena sejatinya, pendidikan bukan soal mencetak nilai rapor, tapi membentuk manusia seutuhnya.
3 Responses
Hebat. Terus berkarya, Bu Iin.
Tugas seorang pendidik tidak hanya mentransfer ilmu tetapi ada hal yang sangat penting yaitu mendidik membimbing siswa agar berkarakter.
Artikel yang membawa nafas baru, membuka sudut pandang akan pentingnya karakter di masa depan. Ditunggu karya2 lainnya Bu Iin😍