Mantra Ajaib Dini Hari
Karya: Naila Syakira
Perpaduan yang sempurna antara aroma tanah dengan sisa air hujan semalam menyelimuti cerahnya pagi di kota lima matahari ini. Linda dan Salma yang tengah beberes di kos-an mereka sedikit gembira. Udara segar lumayan mengurangi kadar keringat yang keluar dari tubuh mereka. Pasalnya kipas angin kedua gadis muda itu tengah rusak. Gembiranya sedikit karena beberes di pagi hari adalah mimpi buruk bagi mereka berdua. Selepas ujian akhir Lin dan Ma memang ingin cepat-cepat pulang ke kampung halaman. Ingin cepat-cepat potong rambut, buat buang sial katanya. Namun, tidak apa-apa, tidak terlalu buruk juga beberes di pagi hari. Asalkan dua bulan ke depan mereka bebas berlibur dan bangun kesiangan.
Lin dan Ma lantas pergi menuju warung tegal yang berada di sebelah kos mereka. Tahu kuah kuning dan mendoan merupakan perpaduan lauk yang ringan, lezat, dan cocok untuk disantap di pagi hari. Mereka berdua memang cocok. Klop sekali sebagai sepasang sahabat. Bukan hanya sekolah dan kuliah saja yang sama, perut mereka yang tidak terbiasa makan pagi pun merupakan perekat alami dari semesta.
“Ma, kau habis berapa?”
“10.000, Lin”
“Loh, Ma. Kamu ambil lauk apa saja? Perasaan dari lauk dan minuman kita sama saja. Kok aku 14.000 si? Abangnya bisa ngitung ga si?”
“Lin, lauk boleh sama, minum boleh sama. Lihat lah porsi makanmu yang besar itu! Jujur saja Lin, abang itu pun sudah lebih pandai dari pada kau. Aku yakin di balik tumpukan nasi mu itu pasti ada dua mendoan yang lagi ngumpet. Abang ikal itu pasti sudah hafal betul dengan trik licik mu itu, Lin” Lin yang dibilang licik hanya bisa nyengir kuda. Alibinya kali ini tidak berhasil mengelabui abang warteg dan sahabatnya itu.
“Ah si Abang mah. Harusnya pura-pura ga tahu aja. Sekali-kali kek sedekah sama mahasiswa. Liburan begini bukan tambah duit, yang ada ga dapet duit jajan ini selama dua bulan. Seret abis dah.”
“Yaelah Lin, jangan banyak ngeluh lah. Alhamdulilah gitu libur. Lagian juga ini udah murah kok. Ditambah entar baliknya kita naik motor. Udah nge-press budget banget itu neng.”
“Kalau bisa lebih hemat lagi kenapa tidak, Ma?” Salma sudah kehabisan kata-kata. Ia hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya itu.
“Eh Ma, ntar kamu dulu ya yang nyetir. Aku nge-maps deh. Entar nyampe Sampang gantian.”
“Yeu, ga bisa gitu Lin. Dari Suramadu-Bangkalan aja udah lumayan encok aku. Minimal dah ntar bebek sinjay ganti kamu.”
“Itu mah kedeketan belegug.”
“Galis deh? Gimana?”
“Ah udah lah, Lin. Lihat ntar aku mampunya sampe mana.”
***
Meskipun semalam sudah diguyur hujan habis-habisan, Surabaya tetap lah Surabaya. Lampu merah perenggut usia ini sungguh mematikan. Bukan hanya masalah sumuk saja, kulit lengan Lin yang tengah memgangi kardus di belakang motor saja sudah kepanasan. Lin yakin pasti sesampainya di rumah kulitnya akan belang dan terbakar.
“Ma, ini ga bisa apa terobos aja? Aku udah gerah dan kepanasan banget ga kuat”
“Lin, kamu mau cari mati kah? Ini Surabaya lampu merahnya ada empat, Lin.”
Yah, Salma mah memang begitu. Padahal dari tadi banyak tukang ojek dengan seragam kebanggaanya itu menerobos lampu merah. Ini mah Salma saja yang kurang handal dalam terebos-menerobos. Dalam hidup semua ada taktiknya, Ma. Begitu lah kira-kira isi kepala Linda setelah mendapat penolakan dari Salma.
Lin hanya bisa mendengus. Pasrah dengan keadaan. Berharap lampu merah bisa cepat berlalu. Seperti semester yang berat ini berlalu begitu cepat. Membawanya kepada minggu ke-16. Tidak apa-apa, Lin. Hari terakhir, dua bulan ke depan tidak akan ada lagi hawa panas dan tugas-tugas tak mengenal deadline.
Akhirnya setelah satu semester tidak melewati Suramadu, Salma dan Linda kembali merasakan angin sepoy-sepoy yang mengantukkan itu. Pemandangan ini mungkin tidak akan ditemukan di jembatan tol kota-kota lain. Seorang pria paruh baya menggunakan sarung kotak-kotak hijauh, baju partai, dan tidak lupa kopiah hitam kebanggaannya tengah menganggkut sekarung rumput dengan sepeda motor bututnya melewati jembatan Suramadu menuju arah Bangkalan. Benar-benar jalan tol penghubung dua dimensi berbeda.
Dengan kecepatan dan keandalan Salma membawa motor tidak terasa mereka berdua tengah melewati warung bebek sinjay yang tersehor se-antero negeri itu. Membayangkannya saja Lin sudah ngiler. Perpaduan daging bebek yang empuk, bumbu hitam yang gurih-nikmat, dengan sambel pencit yang asam pedas sudah pasti sangat lezat. Lin, ingin mampir tapi sayang ia harus berhemat. Demi dua bulan yang tidak flat-flat amat katanya. Bangkalan memang tidak kalah panas dengan Surabaya. Bedanya di sini masih banyak pohon-pohon yang rindang dan hijau sepanjang jalan. Jadi, udaranya ngga sesumuk di Surabaya. Masi bisa lah buat napas dengan tenang.
Salma sudah seperti pembalap di arena F1 yang benar saja belum ada satu jam mereka berdua sudah berada di melewati tulisan, “Selamat Datang di Kota Sampang”. Benar-benar Salma Racing ya. Baru saja Lin gembira karena Salma belum minta tukar posisi dengannya. Eh bak gayung bersambut, yang dipuja-puja malah minta tukar posisi. Mana Salma berhenti di dekat jalan yang sedang ada perbaikan itu. Pasti entar macet banget.
“Lin, gantian deh aku udah pegel banget. Pantatku rasanya udah kaya dibekam sama jatum jahit mamakmu alias kesemutan parah. Encok pula pinggangku.”
“Ah, Salma mah. Tanggung banget entar di depan macet, Ma. Tambah encok ntar.”
“Yeu, Lin kamu mah kalau mau mudik minimal update lah. Itu proyek perbaikan mah udah beres. Kamu aja yang ga pernah pulang mangkanah ta’ ngeding kabher .”
“emang kamu ada balik gitu?”
“ngga si hehe denger dari eppa’ ”
Tanpa banyak bicara Linda langsung mengambil alih kemudi dari Salma. Biarkan setengah perjalanan ini ia lalui dengan bismillah. Melihat sekitar – melamun – sampai. Begitu memang jika Linda yang mengemudi. Kalau dibonceng dia bisa mengamati sekitar dan berangan-angan dengan pikirannya. Jika disuruh mengemudi anaknya memang suka pasrah dan melamun eh tiba-tiba sampai depan rumah. Memang rute Pamekasan – Surabaya tidak terlalu rumit. Berangkat dan pulang bisa lewat jalur yang sama. Paling nanti jika sudah di tol dan sampai Surabaya, jalanannya akan menjadi searah. Selama masih dalam kawasan madura kebanyakan adalah jalan dua arah. Jadi tidak terlalu banyak berbelok dan berputar arah. Hanya cukup mengikuti jalan maka dijamin pasti sampai tujuan. Makanya dua gadis ini lebih suka naik sepeda motor. Sebab selain rutenya yang gampang diingat juga bisa menghemat anggaran. Biar bisa foya-foya selama liburan katanya.
***
Benar saja dengan waktu tempuh total kurang dari dua jam, dua serangkai itu sudah sampai di depan rumah Linda. Salma yang masih encok memutuskan untuk singgah sebentar di rumah Linda. Ternyata sudah ada seorang lelaki tua yang tengah menunggu cucu kesayangannya tiba.
“Assalamualaikum, Mbah”
“Waalaikumsalam cucuku sayang, apa kabar?”
Linda dan Salma bersalaman dengan Mbah Kip yang tengah selonjoran di depan teras rumah Linda.
“Alhamdulilah mbah, èparèngih sèhat, empiyan kadhiponapah? ”
“alhamdulilah pojhur mon la padeh beres, èngkok beres Lin kèng to’ot jen segghut sakè’ ”
Salma yang dari tadi sudah Lelah akhirnya lega bisa menyandarkan punggungnya. Gadis itu dari tadi diam saja sambil mendengarkan percakapan sahabatnya dengan sang kakek.
“Gimana kuliahnya? Sudah berhasil jadi pribadi yang absolute?” kerutan Mbah Kip ikut tertarik ke samping ketika ia menanyakan hal itu pada Linda. Giginya yang sudah banyak tanggal bak gawang bola itu ikut terlihat. Sarung kotak-kotak, kaos iklan semen, dan karet gelang tidak pernah lepas dari Mbah Kip sejak dahulu. Linda yang diberi pertanyaan hanya tersenyum kecil. Linda sudah hafal dengan pertanyaan itu.
Mbah Kip kerap kali menceritakan adik sepupunya yang dulu dibiayainya selama kuliah hingga menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi negeri di bandung. Dia selalu bilang, “Si Sape’ (Syafiq) itu orang kuliah S2 di Amerika dua tahun dia cuma enam bulan. Orang kuliah kan normalnya belajar, kalau dia mengajar,” ucapnya kembali sambil memperlihatkan deretan gigi serinya yang tiap tahun makin berkurang. Linda pun teringat akan harapan-harapan dan ekspektasi Mbah Kip kepadanya. Linda tahu mengapa Mbah Kip begitu berharap padanya sebagaimana dia melihat adik sepupunya, Syafiq. Tidak jauh-jauh dari perihal ‘dua tahun’ tadi. Kalau Mbah Syafiq kuliah S2-nya dari dua tahun jadi enam bulan maka Linda sekolah SMA-nya dari tiga tahun jadi hanya dua tahun. Dari situ lah muncul julukan yang diberikan Mbah Kip kepada dua orang itu, “generasi absolute”. Sebuah persamaan dan harapan bagi Mbah Kip. Bak reinkarnasi dari tiap generasi. Sehat-sehat Linda, tulang punggung keluarga. Jelas sudah dari mana sifat hemat Linda yang tidak tertolong itu. Bukan hanya karena template mahasiswa, sebagai anak pertama dan tulang punggung keluarga dia memang suka begitu. Haha.
“InsyaAllah mbah, lagi proses.”
“Kuliahnya bagaimana, Lin? Aman kah? Sudah ada kemajuan yang membanggakan belum?”
Mendengar pertanyaan tersebut Linda hanya bisa tersenyum ragu. Pertanyaan Mbah Kip ini mengingatkan Lin dengan beban kuliahnya saja. Mau membuat gebrakan bagaimana, wong Lin sudah salah jurusan. Selama ini Lin mencoba bertahan karena tidak mau mengecewakan keluarga. Teringat lagi, Lin dengan tugas-tugas dan laporan-laporan yang tiada habisnya itu. Dengan alarm 23.59 yang sangat horror. Bayangkan mengerjakan sesuatu yang bahkan ketika mengerjakannya saja diri kita tidak hadir di dalamnya. Setiap hari adalah mimpi buruk bagi Lin. Tetapi ketika ingin menyerah Linda selalu ingat wajah teduh, kerutan yang tertarik, dan gigi seri yang semakin berkurang itu.
“Begini, Lin. Kalau kamu mengalami kesulitan, bantu membantu lah terhadap agama Allah. Niscaya Allah akan membantumu. Jangan lupa solat tahajud. Jangan pernah putus tahajud Lin. Aku ini sampai setua ini tidak pernah putus sholat malam, Lin. Jadi, kalau hari ini aku meninggal sudah aman insyaAllah. Sudah ada amalan yang bisa dibawa. Toh apa lagi yang mau diharapkan dalam hidup yang fana ini.” Lin yang mendengarnya tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Mbah Kip yang sudah sangat Ikhlas dan pasrah. Sementara dirinya belum bisa membanggakan kakeknya. Kali ini Lin benar-benar sadar, ia tidak lagi berlomba dengan orang lain melainkan dengan waktu.
Mata Lin mulai berembun. Pikirannya berangan jauh ke depan, memutar segala kemungkinan yang dapat terjadi. Lin yang menunduk mencoba mencuri pandang ke sebelahnya. Malu jika dilihat Salma. Gengsi dong, seorang Linda yang petakilan ini menangis. Namun, ketika Lin tidak menangkap Salma dengan ekor matanya gadis itu mulai bingung. Ia mencari sahabatnya itu. Linda menoleh ke sekelilingnya. Mbah Kip yang ada di depannya tadi juga ikut menghilang. Salma juga tidak ada. Linda mulai kebingungan. Matanya semakin kehilangan fokus. Semuanya jadi kabur. Padahal Linda sudah berhenti menangis dan tidak sedang berkaca-kaca. Sontak semuanya gelap. Dan tiba-tiba Lida merasa tubuhnya ditarik paksa masuk ke dalam dimensi yang berbeda.
***
Lin menggeliat sementara satu tangannya berusaha menutup mulutnya yang tengah menguap lebar. Telepon pintar di sebelahnya membunyikan suara dalam keadaan volume penuh. Lampu tidur yang temaram memberikan sedikit penglihatan pada laptop yang masih menyala dan kertas hvs beserta alat tulis lainnya yang berserakan di Lantai. Salma, sahabat yang dicari-carinya ternyata tengah tertidur pulas di ranjang sebelah. Linda melihat jam pada telepon pintarnya. Masih pukul 2.50 WIB. Belum masuk waktu subuh. Masih ada waktu sekitar 45 menit sebelum adzan subuh. Linda memutuskan untuk ke kamar mandi dan mengambil wudhu. Selesainya dari kamar mandi, Linda membersihkan kertas-kertas dan alat tulis serta laptopnya yang berada di lantai. Ia memindahkannya ke meja belajar yang berada di sebelah tempat tidurnya.
Linda mulai melaksanakan salat tahajud. Lima kali salam, empat kali dua rakaat dan satu kali witir. Selepasnya Linda mulai membaca al-Qur’an. Detik berikutnya lembaran suci itu sudah basah dengan beberapa tetes air yang mengalir bak air terjun dari mata – pipi – bibir – dagu lalu jatuh bebas di atas setiap halamannya. Entah apa yang ada di pikirannya, setelah melakukan kegiatannya tadi, Linda merasa tenang. Bak mantra-mantra ajaib yang mampu menghilangkan sakit seorang manusia biasa. Tidak ada lagi Linda yang menarik rambutnya frustasi dan menangis sekuat tenaga karena laprak (laporan praktikum) yang awur-awuran. Tidak ada lagi Linda yang mengutuki dirinya sendiri karena tidak bisa mengatur waktu. Setidaknya apapun yang terjadi besok semoga Linda bisa menerimanya dan semoga hal tersebut tidak mengecewakan keluarga, terutama mbahnya.
***
Mentari pun mulai bersinar. Merangkak perlahan naik dari ufuk timur. Salma dan Linda yang sudah siap sejak subuh tadi mulai menyantap sarapannya masing-masing dengan menu seadanya. Sudah pasti, telur ceplok dan susu kotak. Setidaknya perut isi dan masih ada supan nutrisi.
“Lin, laprak mu udah kah?” yang ditanya hanya menganggkat bahu dan menggelengkan kepala
“Lah santai banget kamu, Lin”
“Emang kamu udah, Ma?”
“Ya ngga si, Cuma aku kan udah ga berharap lebih sama matkul ini. Ga ngulang aja udah alhamdulilah aku mah.”
“jangan gitu lah, Ma. Jangan berkecil hati. Siapa tahu ada keajaiban.”
“aamiin aamiin aja aku mah. Kan yang kekeuh pengen dapet A di matkul ini kamu, Lin. Are you okay?”
“santai, Ma. Aku udah pasrah. Jika Allah izinkan semoga ada keajaiban. Biar jadi pembelajaran juga buat kita di semester depan. Biar ga kebanyakan main-mainnya. Harus bisa ngatur aktu dan prioritas”
Laporan praktikum kali ini bukan laporan biasa. Pasalnya ini merupakan laporan tugas akhir yang bobotnya bisa sampai 35% dari total nilai. Jadi, kalua nilainya hancur, siap-siap saja mengulang semester depan. Bisa-bisa terlambat lulus. Belum lagi matkul-matkul lainnya yang tidak ada jaminan ngga bakal ngulang.
Ting! Bunyi notif dari handphone Salma. Lumayan keras bunyinya. Jika Linda nada dering alarm-nya yang full volume, kalau Salma malah notifikasi chat-nya. Memang aneh tapi ada, Salma contohnya.
“AAAAAA LINDAAA ALLAHUAKBAR”
“UHUK-UHUK”
“Apaan Ma? Minum dulu makanya baru ngomong, kamu mah”
“Lin, hari ini ga ada kelas. Pak Arman abis keseleo.” Bukan niat hati Salma bahagia atas penderitaan dosennya. Hanya saja ini adalah kabar baik karena kelas hari ini ditunda. Lapraknya belum selesai. Ditambah Mas Dika yang merupakan asisten dosen Pak Arman juga berhalangan hadir dan laprak harus dikumpulkan secara langsung ke asisten. Entah angin datang dari mana, tiba-tiba Pak Arman yang killer dan Mas Dika yang tidak bisa dinegosiasi maslaah deadline itu tiba-tiba hati nuraninya tergerak untuk memperpanjang tenggat waktu pengumpulan. Dua hal yang berhasil membuat Salma mencak-mencak kegirangan.
“Ga ada kelas bukan berarti ga ngumpul laprak, Ma.”
“Eits, jangan dipotong dulu. Mas Dika hari ini juga ga bisa ke kampus. Katanya ada kepentingan keluarga jadi deadline laprak kita diperpanjang sampe senin depan. AAA LINDAAAAAA MARI MENGGARAP LAPRAKK!”
Linda yang masih tidak yakin langsung mengambil handphone Salma. Ternyata benar yang dikatakan sahabatnya itu. Linda menutup mulutnya sembari membaca satu persatu bubble chat di grup kelas mata kuliahnya. Tuhan terimakasih. Keajaiban macam apa ini. Tidak ada kata yang bisa diucapkan Linda selain alhamdulilah untuk mengungkapkan rasa syukurnya. Linda memeluk Salma. Keduanya berjanji untuk tidak lagi menunda mengerjakan laprak. Hari ini, sebelum kelas kedua. Salma dan Linda memutuskan untuk berangkat lebih awal dan mengerjakan lapraknya di peprustakaan kampus. Terkadang bantuan Tuhan datang ketika kita sudi untuk sekedar ingat dan menyapa-Nya.
satu Respon
Mantuls♥️