Pelita di Tengah Gelombang

Pagi itu, langit mendung menggantung di atas atap SMA Muhammadiyah Kudus. Hujan semalam menyisakan genangan di halaman, namun semangat para siswa tetap terlihat menyala. Hari ini adalah 2 Mei, Hari Pendidikan Nasional. Di tengah persiapan upacara, ada satu sosok yang menjadi pusat perhatian,Pak Tamtam, guru honorer senior yang sudah dua puluh tahun mengabdikan diri di dunia pendidikan.

Pak Tamtam dikenal sebagai sosok pendidik yang luwes, tetapi adil. Ia tidak hanya mengajar, tapi juga menjadi tempat pulang bagi para siswa yang ragu akan masa depan mereka. Namun, tahun ini, wajahnya tampak lebih serius dari biasanya. Di ruang guru, ia menatap tumpukan dokumen kurikulum terbaru yang baru saja ia terima tiga minggu lalu.

“Pak Tamtam, kurikulum berubah lagi ya?” tanya Bu Laras, guru matematika muda yang baru satu tahun mengajar.

Pak Tamtam mengangguk pelan. “Ya, ini yang kelima dalam sepuluh tahun terakhir. Tapi mau tidak mau, kita harus siap.”

Bu Laras menghela napas. “Saya belum hafal struktur kurikulum yang kemarin, Pak. Sekarang harus belajar yang baru lagi.”

Pak Tamtam tersenyum. “Begitulah menjadi pendidik. Kita dituntut untuk adaptif, bukan mengeluh. Kalau kita gelisah, bagaimana siswa akan merasa aman belajar?”

Percakapan mereka terhenti ketika lonceng berbunyi, tanda upacara dimulai. Di tengah lapangan, Pak Tamtam berdiri memberi pidato sebagai perwakilan guru.

“Hari Pendidikan Nasional bukan hanya peringatan. Ini pengingat bahwa pendidikan adalah perjuangan yang terus hidup. Ya, kurikulum berubah-ubah, teknologi berkembang pesat, dan banyak hal menantang kita. Tapi satu hal yang tak boleh berubah adalah semangat kita mendidik dengan hati,” ujar Pak Tamtam.

Setelah upacara, ia diminta menjadi narasumber dalam diskusi bertema “Pendidik Profesional di Era Digital”. Dalam diskusi itu, muncul berbagai pertanyaan kritis dari para guru dan siswa.

“Pak, bagaimana pendapat Bapak tentang pemanfaatan AI dalam pembelajaran? Banyak yang bilang AI bisa menggantikan guru,” tanya seorang siswa.

Pak Tamtam tersenyum. “AI itu alat, bukan lawan. Kalau kita bijak, AI bisa jadi sahabat. Ia membantu mempercepat pekerjaan, memperkaya bahan ajar. Tapi nilai-nilai, empati, dan akhlak? Itu hanya bisa ditanamkan oleh manusia. AI bisa memberi jawaban, tapi guru mengajarkan cara bertanya.”

Tepuk tangan pun terdengar. Lalu pertanyaan lain datang dari seorang guru.

“Bagaimana sikap Bapak terhadap siswa yang terlalu bergantung pada laptop dan smartphone, sementara budaya menulis manual makin dilupakan?”

Pak Tamtam mengangguk. “Kita tidak bisa melawan zaman, tapi kita bisa menyeimbangkan. Saya ajarkan siswa menulis esai tangan setiap dua minggu. Menulis manual itu seperti latihan meditasi membentuk ketekunan dan kedalaman berpikir. Tapi saya juga mendorong mereka membuat blog dan konten edukatif digital. Keduanya penting. Digital untuk masa depan, manual untuk jiwa.”

Diskusi semakin seru. Beberapa pro dan kontra muncul, tapi Pak Tamtam tidak terpancing emosi. Ia mendengar, menanggapi dengan tenang, dan menunjukkan bahwa profesionalisme bukan tentang selalu benar, tapi selalu siap belajar.

Di akhir sesi, ia berkata, “Pendidik itu seperti pelita. Kita tak bisa menghentikan gelombang, tapi kita bisa jadi cahaya di tengah badai. Kurikulum bisa berubah, teknologi bisa berkembang, tapi jika kita tetap mendidik dengan hati, maka semangat pendidikan tidak akan padam.”

Hari itu, banyak guru dan siswa pulang dengan pikiran terbuka. Mereka sadar, menjadi pendidik profesional bukan berarti mahir segalanya, tapi mampu terus bertumbuh. Di ruang guru, Pak Tamtam duduk sambil menulis refleksi harian di buku catatannya bukan di laptop, tapi dengan pulpen dan tangan.

Sebuah tulisan kecil terbaca di ujung halaman:

“Dalam dunia yang berubah cepat, guru yang tetap belajar adalah pahlawan yang sesungguhnya.”

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *