RAMBUT PAK ANWAR
Ada satu fenomena aneh yang kami alami setelah beberapa minggu yang lalu kami melihat pak Anwar berjualan martabak di alon-alon. Rambut pak Anwar yang tiba-tiba rontok dan itu tidak cuma sehelai atau dua helai namun beberapa gumpalan. Kadang tiba-tiba rontok saat dia mengajar kami di kelas. Kadang juga rontok saat berpapasan dengan kami. Rambut pak Anwar yang lebat, hitam dan berkilau perlahan semakin menipis. Yang lebih aneh hanya kami bertiga, aku, Tono dan Reza yang bisa melihatnya. Teman-teman dan para guru menganggap kami hanya mencari perhatian bahkan pak Anwar sendiri menganggap kami hanya bercanda. Sebenarnya apa yang terjadi dan apakah itu sebuah pertanda akan terjadinya sesuatu?
Pak Anwar adalah wali kelas kami. Kami bertiga masih duduk di bangku sekolah dasar kelas empat. Pak Anwar guru yang sangat kami sayangi. Dia mengajar dengan tulus dan totalitas. Caranya mengajar menurut kami sangat unik dibandingkan guru yang lainnya. Pelajaran yang membosankan bisa terasa sangat mengasikkan. Dia baik, humoris dan tidak pernah marah Terkadang kami bertiga sering gregeten karena ada beberapa anak yang justru menyepelekan kebaikan pak Anwar.
Pak Anwar guru yang sabar. Namun kesabarannya harus berkali-kali di uji. Setelah pulang sekolah pak Anwar tidak langsung pulang. Dia ganti profesi menjadi tukang ojek online. Karena kakak sepupuku yang dulu juga diajar pak Anwar pernah memesan ojek online saat pulang kerja. Dia merasa rikuh walaupun pak Anwar tetap bersikap biasa saja. Sesampai di rumah saat kakak sepupuku hendak membayar, pak Anwar langsung pergi begitu saja. Ayahku yang duduk di teras rumah tertawa melihat ekspresi sepupuku yang bingung.
“Lihatlah, Nak. Sampai kapanpun kamu tidak akan pernah bisa membayar jasa gurumu.” Kata ayahku.
Kadang aku berfikir apakah gaji pak Anwar tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya hingga ia harus banting tulang dari pagi hingga malam? Kata Reza yang rumahnya dekat dengan pak Anwar, dia memang sedang butuh uang dengan jumlah banyak.
“Apa jadi guru harus seberat itu?’ tanya Reza.
“Kalau begitu aku tidak mau jadi guru.” Kata Tono
“Mengapa?”
“Kamu lihat saja pak Anwar. Berat sekali hidupnya. Di sekolah dia harus bersabar mengajar kita, pulang harus cari kerjaan lain. Sampai rambutnya banyak yang rontok. Apa memang gaji guru itu sedikit ?”
“Entahlah. Bapak ibuku juga guru tapi aku tidak pernah melihat mereka harus melakukan hal seberat itu. Pulang sekolah bisa langsung istirahat. Aku dan saudaraku tidak pernah merasa kekurangan. ” Kataku.
“Mungkin bapak ibumu guru yang jenisnya beda dengan Pak Anwar. Aku pernah dengar perkataan guru-guru di kantor walaupun aku tidak tahu istilahnya apa tapi aku faham maksudnya kalau di Indonesia ini guru banyak jenisnya.” Kata Reza.
“Berarti Pak Anwar termasuk jenis guru yang paling menderita dong. Tugasnya sama mengajar murid tapi kok gajinya beda?”
“Nggak tahu. Tanya saja kepada presiden,” Celutuk Reza
Sampai sekarang rambut pak Anwar masih saja rontok. Bahkan semakin parah. Rambut di bagian sebelah kiri sudah habis. Sebelah kanan menipis. Tinggal bagian belakang yang masih tampak lebat. Seiring dengan rontoknya rambut pak Anwar sepertinya kondisi fisiknya juga menurun. Wajahnya pucat, matanya tampak lelah. Hari terus berlalu hingga satu semester di kelas empat ini hampir usai dan rambut pak Anwar masih rontok hampir habis. Kondisi pak Anwar juga sepertinya tidak baik-baik saja. Satu bulan ini dia sering izin karena sakit. Kalaupun masuk dia terlihat begitu lemas. Kata Reza pak Anwar masih saja bekerja jadi ojek online dan berjualan di alon-alon saat malam dengan kondisinya yang seperti itu.
“Apakah Bapak baik-baik saja? Bapak sering tidak masuk karena sakit.” Tanyaku.
“bapak hanya sakit flu. Sekarang memang musim pancaroba. Banyak orang sakit. Bukan orang dewasa saja. Anak-anak juga banyak yang sakit. Kalian juga harus menjaga kesehatan.”
Kami yang khawatir dengan kondisinya justru dia menasehati untuk menjaga kesehatan. Namun dugakan kami itu ternyata benar. Pak Anwar masih sakit. Saat kami berjama’ah sholat dhuhur siang ini setelah salam tiba-tiba pak Anwar ambruk. Semua anak-anak heboh. Pak Anwar pun langsung di larikan ke rumah sakit.
Kondisi pak Anwar semakin memburuk. Kata reza rambutnya kini sudah rontok semua hanya meninggalkan satu helai tepat di dekat ubun-ubun. Diobatkan kemana pun atau diberi obat apapun kondisinya tidak ada perkembagan sama sekali. Aku menyimpulkan sepertinya umur pak Anwar semakin berkurang seiring dengan rambutnya yang rontok sehelai demi sehelai. Mungkin bukan obat-obatan yang seperti itu yang di butuhkan pak Anwar saat ini.
Hari ini kami bertiga sepakat untuk menjenguk pak Anwar dan memberikan obat yang menurut kami obat itulah yang dibutuhkannya. Obat penumbuh rambut. Jika memang umur pak Anwar tinggal sehela rambutnya maka sehelai rambut itu harus dipertahankan jangan sampai rontok. Barangkali kesehatannya semakin membaik seiring dengan tumbuhnya kembali rambut pak Anwar. Saat kami memberikan obat itu pak Anwar justru tertawa meski dengan wajah yang sangat pucat.
“Kalian masih menghawatirkan rambutku yang setiap hari rontok? Lihatlah masih utuh. Tapi terima kasih berkat kalian bapak lumayan terhibur.”
Kami hanya diam saling memandang tak mengerti. Padahal kami melihat kepala pak Anwar sudah botak hanya menyisakan satu helai rambut.
Ternyata prediksiku itu benar dan harapan kami hanyalah khayalan. Pagi ini, saat gerimis hujan turun tak henti-hentinya namun juga memaksa kami untuk berangkat sekolah, kabar yang tidak kami inginkan itu pun datang. Di depan semua murid dan para guru kepala sekolah menyampaikan berita duka, pak Anwar telah meninggal dunia bersamaan dengan rontoknya rambut pak Anwar yang tinggal sehelai. Kami semua menunduk, menghela nafas panjang dan terisak. Guru kelas kami yang sabar dan ikhlas menjalani hidupnya yang berat telah tiada. Entah dengan apa keikhlasannya itu dibayar bahkan sampai di akhir hayatnya dia masih berjuang menerima semua beban hidupnya. Kami bertiga siswa yang paling dekat dengannya benar-benar merasa kehilangan pak anwar. Ternyata kematian tidak pernah ada obatnya apalagi sampai di obati dengan obat penumbuh rambut.
Kami membayangkan kini pak Anwar berdiri di hadapan kami. senyum tulus menampakan giginya yang tidak lengkap lagi dengan seluruh rambutnya yang kembali utuh. Kini aku tahu di dunia ini ada banyak guru termasuk pak anwar yang memilih teguh dengan prinsipnya untuk tetap menjadi guru, mencerdaskan anak bangsa meski dengan imbalan yang tak sepadan. karena semua itu tentang prinsip, jati diri dan harga diri.
“Guru, meski hidupmu sementara, namun di benak murid-muridmu kau abadi.”
2 Responses
Guru adalah pelita yang menerangi Bangsa Indonesia.
Guru adalah pelita yang memberikan cahaya dan menerangi langkah-langkah peserta didik nya menuju masa depan yang gemilang.