Sebuah Percakapan Setelah Kematian
Karya: Muhammad Raihan
Di depan gereja, Pak Reynald duduk sendirian. Senja kian redup. Jalan raya protokol padat kendaraan. Sejumlah pejalan kaki lewat di hadapannya. Sepi, sunyi, bahkan pedagang kaki lima tidak unjuk muka hari itu. Di tangannya, sepucuk revolver telah berasap. Di langit, debu mesiu terbang usai Pak Reynald melubangi kepalanya sendiri. Beberapa waktu kemudian, polisi datang dan keramaian tercipta hingga malam. Pak Reynald telah pergi, menghilang ke dalam gelap yang mulai disinari cahaya lampu-lampu yang redup.
*
Kota itu ramai dalam artian yang mungkin sedikit sederhana. Di jalan layang, mobil-mobil besar lalu lalang. Lampu yang terang benderang berdiri di kanan-kiri. Jembatan penyeberangan diisi orang-orang yang datang dan pergi. Kadang mereka berhenti, lalu lompat dan jatuh ke bawah. Hanya sebagian kecil yang terluka—mengerang kesakitan. Sisanya kita tahu dengan pasti bagaimana nasibnya.
Pak Reynald bukanlah nama asli. Ia, barangkali, merupakan sebuah kata kunci dari kehidupannya di masa lalu. Hidupnya sendiri dipenuhi gembok-gembok besar dan berat. Sebab semasa hidup, ia bekerja sebagai penyidik di kepolisian. Maka dari itu revolver bisa ada di genggaman tangannya. Di negara yang hukum mengendalikan perdagangan, pendidikan, dan keamanan, depresi dan patah hati menjadi persoalan unik yang entah bagaimana luput dari perhatian.
Setelah menembak dirinya sendiri, kepala Pak Reynald seakan-akan dipenuhi segala sesuatu yang ada di dalam hidupnya. Cukup berkebalikan dengan harapan yang ia tanamkan sesaat sebelum menarik pelatuk—pikiran yang kosong, hasrat untuk mengosongkan kepalanya dari apa pun. Kini ia serasa terbang. Berjalan sendirian menuju kegelapan yang tidak biasa.
Sampai di ujung jalan yang gelap, Miska menyambut kehadirannya.
*
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Miska dari atas pohon. Ia tengah duduk santai di atas salah satu dahan paling besar.
Pak Reynald tidak langsung menjawab. Ia linglung—nyaris seperti tak tahu arah. Pandangan dan langkah kakinya gusar meniti arah yang tidak pasti.
“Ah, aku bisa melihatnya,” ucap Miska, lalu tubuhnya perlahan jatuh melayang ke bawah. “Kau baru ya?”
“Baru?” tanya Pak Reynald, tatapannya menembus kedua mata Miska.
“Ah, bingungmu itu paling-paling akan hilang seminggu setelahnya. Tiga hari paling cepat. Kau hanya perlu membiasakan dirimu. Lihatlah sekeliling.”
Keduanya memandangi sekeliling. Para penghuni kegelapan yang sesekali bermain di sepinggiran cahaya. Ada yang bingung seperti Pak Reynald, ada yang tertawa-tawa, ada juga yang hilang arah dan tidak punya tujuan. Satu hal yang sama dari mereka semua—mereka mengakhiri hidupnya sendiri. Membuat keputusan terbesar yang tidak bisa diambil dua kali. Menyesal adalah pilihan, menjalaninya adalah sebuah kewajiban.
“Jadi, apa yang membuatmu sampai ke sini?” tanya Miska sekali lagi.
Pak Reynald termenung sesaat. “Aku membunuh seseorang,” jawabnya.
*
Sepasang kekasih tengah mesra-mesraan di salah satu sudut tergelap taman. Di seberang mereka, aliran sungai deras. Tidak berisik. Air mengalir secara dinamis. Ketika keduanya hendak bercumbu, salah satu dari keduanya mendadak melotot ke arah sungai. Bagaimana tidak, seonggok jasad perempuan mengambang dengan darah berbuih mengelilinginya. Pasangannya mengambil ponsel cepat-cepat, hendak menelepon polisi. Namun jasad itu sudah menjauh meninggalkan jejak darahnya yang merah menjijikkan.
“Malang sekali, korban pembunuhan,” ucap Pak Reynald dengan santai.
“Bagaimana kau bisa tahu?” Miska bertanya penasaran.
“Hampir tidak kelihatan, tapi ada seutas potongan tali di dekat pergelangan tangannya. Mungkin ketika dipotong terjadi kecerobohan sehingga seutas tali bekas itu tak sempat diambil. Kedua kakinya juga tidak beres. Postur kaki perempuan memang kadang kala nyaris saling bersentuhan seperti huruf X. Tapi tidak dengan perempuan itu. Kedua tungkainya bengkok ke dalam secara tidak wajar. Ia pasti sudah diikat selama berhari-hari. Bahkan mungkin lebih lama. Kasihan.”
Miska memandang dengan ragu-ragu. Namun tatapannya cepat mencair kemudian ketika Pak Reynald mengelus-elus bekas lukanya yang sudah tidak ada.
“Aku tidak menyangka bahwa akhirat tidak secepat yang kukira. Beberapa waktu yang lalu, pikirku, bunuh diri adalah jalan pintas terbaik. Tidak perlu campur tangan siapa-siapa. Cukup diriku dan diriku. Tapi setelah menyaksikan semuanya, entah kenapa aku jadi ingin mengubah pikiranku,” suara serak Pak Reynald bersembunyi di balik suara aliran sungai.
“Sudah terlambat. Kau telah membuat keputusanmu hari ini,” Miska menyambar kalimatnya. “Kini kau berada dalam keterasingan. Semua cita-cita dan harapanmu semasa hidup menguap bagaikan genangan air di bawah teriknya matahari. Hal baik terakhir yang bisa kau pikirkan yakni kau telah membuat keputusan sekali seumur hidup. Tidak ada jalan pulang. Kau harus tetap berjalan.”
“Berjalan di mana dan menuju apa lebih tepatnya?” tanya Pak Reynald.
“Kehampaan.”
*
Keduanya kini bersanding di atas sebuah batu besar. Sungai kian tak nampak, berganti menjadi pemandangan hutan kecil perkotaan yang teduh namun gelap. Bangku-bangku dari semen itu berlumut. Beberapa bekas dudukan yang masih hangat terlihat jelas. Seorang remaja berseragam SMA melintas dengan gelisah. Pandangannya melirik ke mana-mana. Seolah sedang dibuntuti seseorang.
“Hari-hari orang yang mengakhiri hidupnya sendiri tidak akan berjalan cukup baik, Bung,” Miska menggoyang-goyangkan salah satu sulur pohon beringin.
“Mereka tidak punya cukup tenaga untuk melanjutkan perjalanan, dan di satu sisi hidup mereka sudah resmi berakhir. Kau dengan peluru bedilmu dan aku dengan…”
Pak Reynald menunggu. “Dengan apa?”
“Ah, sudahlah. Aku tidak tertarik membahasanya.”
Remaja itu berjalan kian cepat. Kian terburu-buru. Lalu di salah satu sudut taman, di dekat rimbunan pohon yang paling lebat, ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Mula-mula ia memanaskannya di atas sebuah sendok, lalu berikutnya ia masukkan ke dalam sebuah spuit yang agak lusuh. Ia suntikkan ke pergelangan lengannya. Beberapa menit kemudian, pandangan anak itu seperti mengejang. Awalnya ia terlihat tenang, tidak lagi gelisah seperti saat ia datang. Namun selang beberapa menit kemudian tubuhnya kaku. Pandangan matanya memerah. Seolah pembuluh darah di dalam bola matanya pecah seketika. Tak lama kemudian, ia ambruk ke tanah dengan liur mengalir deras dari dalam rongga mulut.
“Aku membuat banyak waktuku terbuang di sini, dan itu salahku,” ucap Miska dengan muram.
“Aku tidak mengerti. Apa yang sebenarnya kau pikirkan sebelum mengakhiri nyawamu?” tanya Pak Reynald.
Miska hanya menggeleng. Tidak ingin menceritakannya. Keduanya hanya memandangi langit, menyaksikan semesta berputar dengan begitu cepat sehingga terasa lambat bagi mereka. Remaja itu mati di tempat, hilang dari dunia tempatnya hidup. Kulit jari-jari tangannya mengelupas seiring dengan bola matanya mengendur. Tubuhnya bagai kulit menutup bangkai. Tiada isi yang berarti kecuali kehancuran komplikatif.
Roh anak itu diangkut secara kasar. Diselubungi rasa sakit serta penderitaan yang takkan bisa dibayangkan mahluk hidup mana pun. Sepasang rantai merah menyala menariknya ke atas. Peristiwa itu menggaung begitu nyaring. Seluruh mahluk mati memandangi dengan rasa takut pada selubung keberadaan mereka yang tipis. Ketika malam kian pekat, anak itu benar-benar mati, sirna. Keesokan harinya jasad anak itu telah dikerumuni semut dan belatung. Namun malam tetap berlangsung buat Pak Reynald dan teman barunya.
*
“Aku bekerja di bawah tekanan yang sangat serius semasa hidup,” Pak Reynald menceritakan masa-masanya sewaktu menjadi seorang penyidik dan mata-mata. Di suatu waktu, ia pernah ditugaskan menyelidiki sebuah kasus prostitusi anak dan penggelapan uang. Kasus itu menyangkut sebuah perusahaan penjualan kaset DVD dan sebuah organisasi kriminal asing. Pak Reynald dan timnya melakukan penyelidikan selama berhari-hari dan menyusun rencana untuk menangkap para pelaku kasus itu. Namun dalam alurnya, sebuah kecerobohan terjadi sehingga pengintaian itu terungkap. Pak Reynald berkata, ia ingat dalam sebuah momen penggerebekan, salah seorang pelaku menjadikan salah satu anak sebagai tameng hidup. Dalam sekian waktu yang begitu singkat, terjadi baku tembak, dan anak itu tewas di tempat karena sebuah tembakan peluru nyasar.
“Aku turut menyesal untuknya. Tapi, apa hubungannya denganmu?
Bukankah kau sudah menjalankan tugasmu sebagai penyidik dengan baik?” Miska bertanya.
Pak Reynald mengangguk pelan. Ia memandangi kedua tangannya. “Ya, kau benar. Aku telah menjalankan tugasku dengan baik. Tapi akulah, orang yang menembakkan peluru itu. Aku yang membunuh anak itu. Akulah yang mencabut nyawanya dari kehidupan ini.”
*
Di kejauhan, suara mesin-mesin pabrik menderu. Getarannya memecah ke semua arah. Pepohonan bergoyang, gemetar takut. Air di selokan mengering dan merembes ke dalam sela-sela beton. Dari jauh, lampu-lampu berukuran besar menyala di atas cerobong baja. Api menyalak dalam gelap. Jalan-jalan aspal khusus dilintasi truk dan kendaraan-kendaraan berat.
“Kalian tahu,” sebuah suara secara tiba-tiba menyapa keduanya. Dari samping. Seorang lelaki misterius beratribut lengkap seragam pabrik yang sedang mereka amati. “Dua tahun yang lalu aku berharap dengan diterima kerja di tempat itu pada akhirnya aku bisa menghidupi keluargaku. Setelah sekian tahun berada di bawah tekanan dan tuntutan akan sebuah pekerjaan tetap pada akhirnya aku bisa bernapas lega. Tapi tidak untuk waktu yang lama. Sebab pabrik itu tidak memelihara pekerjanya selayaknya manusia. Aku..” ia memberi jeda, “aku adalah sekian orang yang mati sebab dieksploitasi habis-habisan.”
Pak Reynald dan Miska memandangi laki-laki itu.
“Mereka bahkan tidak datang pada hari pemakamanku. Semua asuransi dan pesangon pada akhirnya diberikan pada istriku yang malang, dan anak-anakku yang belum mampu mencerna kematian sebagai sebuah berita duka.”
“Aku turut prihatin,” kata Pak Reynald.
“Aku, hmm…” Miska sedikit menimbang-nimbang. “Aku sepertinya akan sedikit berbeda pendapat.”
Ia pun lompat kemudian melayang-layang di hadapan keduanya. “Aku punya ide gila mengenai arti hidup sebenarnya. Dan aku sendiri punya satu buah pertanyaan menarik untukmu,” ia menunjuk ke arah si laki-laki.
“Pertama,” ia memulai, “aku rasa kita dituntut untuk menjadi mesin dalam segala bentuk. Dalam hal bekerja, menikmati hidup, bahkan dalam hal menjadi diri kita sendiri. Kita seolah-olah sudah dirancang sedemikian baku agar segalanya berjalan secara serempak. Kau sedih, kau tahu bahwa kau sedang bersedih. Aku sedih, aku pun tahu bahwa aku sedang bersedih. Kita berdua memaknai kematian dengan cara yang serupa pula. Seakan semua hal yang ada merupakan hasil ternak. Apa kalian paham omonganku barusan?”
Keduanya hanya diam memandanginya.
“Dan satu lagi. Aku penasaran kenapa kau malah memilih mengakhiri hidup dan meninggalkan keluargamu untuk menjalani hidup mereka tanpa seorang ayah maupun suami?”
Pak Reynald tebelalak, sedang si lelaki hanya membisu. Tidak nampak akan menjawab pertanyaan itu. Siulan angin bertiup halus, beriringan dengan bunyi peluit tanda operasional pabrik untuk hari itu telah usai.
“Kebahagiaan itu datang dan pergi,” ucap laki-laki itu dengan lembut, “Ketika datang kita menikmatinya. Ketika pergi kita menunggunya datang kembali. Namun, tidak semua orang didesain untuk bisa menunggu kebahagiaan mereka.” Ia melangkah agak ke depan. Berusaha memandangi pabrik dan lampu-lampunya yang padam satu per satu. “Ada yang berharap menemukan suatu hal yang lain, termasuk ketika seorang buruh pabrik biasa mencemplungkan tubuhnya ke dalam kilang berisi bahan kimia berbahaya.”
“Itu artinya kau tidak sedang membuat keputusan apa-apa,” Pak Reynald menimpali. “Aku tidak ingin menyebutnya kebodohan, tapi lebih baik kita sama-sama memaknainya demikian.”
Pak Reynald berpaling ke Miska, “Apa kau masih belum mau menceritakan alasan dan bagaimana pada akhirnya kau mengakhiri hidup?”
Miska lagi-lagi menggeleng. Ia kembali menapak pada permukaan tanah. Ketiga orang itu memutuskan untuk menyingkir.
*
Kota bagian pinggiran berisi para penjahat dan kriminal. Pencuri dan perampok menyembunyikan barang curian mereka sementara para pejabat korup menyewa rumah gubuk agar bisa melakukan transaksi pencucian uang, kudeta politis, maupun kejahatan hukum lainnya. Dari salah satu rumah, sebuah pertengkaran terdengar. Cacian dan makian saling dilemparkan. Anak-anak muda itu baru saja membunuh seorang tua yang tidak lagi punya apa-apa kecuali alat kelamin.
Ketiga orang itu melintas di sepanjang perkampungan paling kotor, paling terbelakang, dan tidak mendapat cukup banyak perhatian dari para pemegang kendali negara, termasuk hukum dan keadilan. Ketika tempat-tempat yang (terasa) menguntungkan dan nyaman dilihat selalu mendapat perawatan terbaik, maka tempat-tempat seperti perkampungan itu hanya mampu menggeliat dan berkubang di dalam kebusukannya. Pembunuhan terjadi setiap waktu, ketika seseorang dihilangkan nyawanya ataupun ketika seorang anak kecil yang tengah bermain di jalanan sempit kampung itu membuka mata dan menyadari tempat seperti apa sebenarnya yang ia tinggali selama ini.
Sebagian rumah terdiri atas beberapa lembar dinding triplek, tembok bata yang mengelupas, dan kain-kain kasar lungsuran proyek konstruksi di kejauhan. Atap-atap seng, genting, maupun bambu dipadupadankan hingga nyaris tidak berbentuk lagi. Sekitaran jamban ada kondom bekas maupun bon hasil judi. Namun orang-orang ini terdengar cukup senang. Tidak banyak keluhan maupun doa-doa penuh kutukan atas penderitaan mereka yang memang ‘seharusnya’ dilantunkan nyaring-nyaring.
“Pikirku, banyak yang sudah menyerah untuk bergerak. Mereka lebih memilih berpihak pada diri mereka di masa kini daripada harus berat-berat meraih masa depan yang antah-berantah,” ujar lelaki buruh pabrik itu. “Aku memahaminya dengan sangat. Dipikir-pikir aku sendiri mengakhiri hidupku karena alasan yang tidak jauh berbeda.”
Ia kemudian berjalan ke sebuah belokan yang agak gelap, lalu melambaikan tangannya dan menghilang begitu saja. Kini tinggal Pak Reynald dan Miska, berdua. Gadis itu dilihat-lihat seperti bukan berdarah lokal.
“Dari mana kau sebenarnya?” tanya Pak Reynald. Ia dan Miska berhenti dan duduk-duduk di salah satu atap rumah. Di kejauhan suara perkelahian kucing terdengar jelas.
“Aku tidak ingat lagi. Seingatku, ini seingatku saja, aku pernah hidup sebagai seorang manusia. Sama sepertimu, hidupku terbilang sulit. Ada trauma yang cukup membekas. Ah, bukan ‘cukup’ lagi, tapi memang sangat-sangat membekas di hidupku,” jelas Miska. Tatapan matanya begitu dalam. Sebuah kedalaman yang entah mengapa cukup tidak asing untuk Pak Reynald pahami. “Aku datang kemari dalam rangka mencari kebahagiaan yang sederhana. Bertemu beberapa orang yang menyenangkan dan menjalin hubungan seperti orang pada umumnya. Aku pun bertemu dengan seorang pria lokal. Namanya, ah lebih baik tidak kusebutkan. Kami bersenang-senang, lalu bercinta semalaman beberapa kali, dan terakhir aku mengikuti ajakannya berkunjung ke sebuah pasar lokal. Di sanalah, aku menemui fakta yang menjijikkan. Sehingga hal itu memancingku untuk bunuh diri.”
“Nampaknya aku mengerti alasan yang melatarbelakangi hal itu,” ujar Pak Reynald. Keduanya bertatap-tatapan sesaat. “Dari caramu bercerita aku jadi ingat akan sebuah kasus kriminal yang pernah ditangani orang-orangku. Di sebuah pasar hewan yang ada di dekat kota ini—”
Miska memotong buru-buru, “Sudahlah! Aku tidak mau mengingatnya lagi!”
“Kasus kejahatan perdagangan manusia. Aku ingat sekali. Kami menangkap seorang mucikari dan broker yang akan mengirim beberapa orang wanita dan gadis remaja ke luar negeri untuk dijual atau disewakan sebagai pekerja seks. Aku ingat melihat dan menyaksikan para petugas mengamankan beberapa wanita yang kupikir turis asing. Mereka nampak malang, kasihan sekali. Aku bahkan ingat melihatmu dengan wajahmu yang masih bisa kekenali sampai sekarang,” tutur Pak Reynald.
Miska beranjak dan berlari tak tentu arah. Namun ia terjatuh dan menangis sesenggukan. Pak Reynald berjalan menghampirinya.
“Aku tidak tertarik untuk bilang apa-apa lagi. Aku sudah lancang mengusik kenangan burukmu. Kalau begitu, aku minta maaf. Aku tidak ingin melakukan apa-apa yang lebih jauh lagi,” Pak Reynald berusaha menenangkannya.
Wanita itu perlahan bangkit dan berdiri mematung untuk beberapa saat. Saat hendak dihampiri, ia menolak. Ia menampik keras-keras. “Aku sudah memutuskan bagaimana kelanjutan dari ini semua. Aku yakin, sebab aku tahu! Aku tahu banyak hal mengenai perjalanan hidupku, bagaimana aku bisa berakhir di sini, apa yang membuatku berjalan sejauh ini. Aku tahu!” Ia pun melangkah maju. Kian menjauh dan hilang, tetapi suaranya masih bisa terdengar cukup jelas.
“Kau sendiri buatlah jalanmu menjadi lebih terang dari sebelumnya. Aku yakin kau akan jadi lebih baik ketimbang diriku. Aku benar-benar meyakininya. Kau, bisa kubilang, memiliki kejelasan yang lebih baik daripada aku.”
Berikutnya ia benar-benar menghilang dalam gelapnya perkampungan itu.
Pak Reynald tidak punya alasan lagi untuk berada di tempatnya. Ia berjalan menyusuri perkampungan itu. Melihat-lihat dan memahami apa yang bisa ia saksikan. Serangkaian hidup yang menjadi kisah berantai dan keburaman atas semua alasan bagi orang-orang. Dalam keremangan kehidupan selepas kematiannya yang menggantung, ia tetap menjalani kewajibannya sebagai sebuah entitas pelengkap dunia ini.
Pada saat menyusuri trotoar yang ramai, orang tertawa-tawa memandangi seorang badut yang tengah bertengkar dengan seorang sopir taksi. Keduanya berkelahi, namun dengan cara yang paling lucu dan heboh. Orang-orang bersorak menyaksikan kekacauan itu, beberapa bahkan mengabadikannya lewat ponsel mereka.
Pak Reynald berhenti untuk duduk di salah satu badan beton. Di belakangnya pagar besi berkarat dililit tanaman merambat berbau apak. Napasnya menderu tenang. Di hadapannya, lokasi kematiannya terpampang jelas. Dengan garis polisi dan ornamen-ornamen olah TKP lainnya. Suasana sekitar begitu masa bodoh. Gereja di belakangnya pun tidak begitu peduli. Ia tetap berdiri dengan seluruh kekuatan dogma kepercayaannya yang kokoh.
“Aku tidak paham dengan maksudmu,” ucap Pak Reynlad, dan ia menarik pelatuk revolvernya lagi.
satu Respon
Ceritanya sangat menakjubkan. Detail keadaan sekitar dari tokoh utama dijabarkan dengan terperinci. Seolah dunia berputar mengitari tokoh utama. Tema yang diambil pun sangat kompleks. Misteri tentang apa yang bisa terjadi setelah kematian tiba. Berbagai rasa yang dialami oleh tokoh atas pilihan hidupnya disajikan dengan cermat dan rumit. Karya yang sangat bagus. Terus semangat berkarya.