Setumpuk Surat Cinta di Akhir Cerita – Cerpen Maulida Rohmatul Laili

Setumpuk Surat Cinta di Akhir Cerita
Karya: Maulida Rohmatul Laili

Senin, 13 November 2023 – pertama kali aku melangkah dengan semangat yang membara bertemu anak-anak kelas 3A di SDI Darussalam. Ini adalah hari pertamaku masuk sekolah sebagai guru Al-Qur’an. Kegiatan mengajar ini sekaligus aku niatkan untuk belajar bersama anak-anak yang lucu dan menggemaskan. Perjalanan ini adalah salah satu upayaku untuk mengamalkan hadis “khoirukum man ta’allamal qur’an wa ‘allamah” (sebaik-baiknya manusia adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya). Hari pertama masuk sekolah aku diantar Bu Dina sebagai kepala sekolah di SDI Darussalam. Beliau adalah perempuan dengan senyum manis dan sikap yang ramah kepada setiap orang yang dijumpainya.

“Assalamu’alaikum… selamat pagi semua, hari ini kelas 3A akan diajar oleh guru baru ya,” teriak Bu Dina ketika masuk kelas sambil berjalan dan berdiri tepat ditengah kelas. Suasana kelas sesak dengan anak-anak yang sibuk mengerjakan aktivitasnya masing-masing. Bermain pesawat kertas, menggambar di papan tulis, kejar-kejaran, dan bernyanyi sambil memukul-mukul meja sebagai irama musiknya.

“Waalaikumussalam Bu,”sahut anak-anak hampir bersamaan. Seketika anak-anak langsung menempati tempat duduknya masing-masing. Pandangan mata mereka tertuju padaku yang menggunakan gaun berwarna hitam dengan jilbab hijau bermotif bunga.

“Waaah, cantik sekali Bu Guru barunya,” celetuk salah satu murid yang duduk di bangku paling depan.

“Baik Bu, terimakasih sudah mengantarkan saya sampai kelas. Hari ini saya akan berkenalan dulu dengan anak-anak. Tidak apa-apa bila Bu Dina kembali melanjutkan aktivitasnya.” Kataku kepada Bu Dina sambil melempar senyum lebar.

“Baik Bu, saya tinggal dulu ya. Apabila ada hal lain yang ditanyakan dan perlu dibantu bisa langsung datang ke ruangan saya. Jangan segan.” Balas Bu Dina sembari membalas senyumanku dengan penuh ketulusan.

Aku mendapatkan sambutan luar biasa dari anak-anak kelas 3A. Hari itu kelas belum sepenuhnya efektif, aku mengajak mereka berkenalan sembari berbincang santai untuk mengenali karakter mereka satu persatu. Ternyata bukan hanya aku yang ingin berkenalan, mereka juga semangat memberikan pertanyaan sederhana penuh rasa penasaran.

“Selamat Siang anak-anak…. Hai halo…. Salam kenal, nama saya Zakia Putri. Kalian bisa memanggil saya Bu Kia. Oke?” ucapku memulai perkenalan kepada tiga puluh dua pasang mata yang sedang memperhatikanku berdiri di depan kelas.

“Selamat siang Bu Kia…” sahut mereka dengan keras dan serentak.

“Bu Kia, rumahnya dimana Bu?”

“Bu Kia masih sekolah atau sudah menikah Bu?”

“Apakah Bu Kia akan mengajar Al-Qur’an di kelas kami?”

“Bu Kia dulu pernah belajar dipondok ya?”

“Bu Kia memakai kacamata karena matanya minus ya?”

“Bu Kia… Bu Kia… Bu Kia….”

“Sssttt…. Harap tenang ya anak-anak, ayo segera duduk di kursinya masing-masing. Kita kenalan dulu satu persatu ya…” teriakku menenangkan anak-anak yang mulai berdatangan ke depan kelas ingin bersalaman sembari memberikan sederet pertanyaan.

“Oke, dengarkan baik-baik ya. Rumah saya di daerah Lembang, sekitar 8 kilometer dari sekolah ini. Kalau kalian pernah ke pasar buah dan sayur di daerah Lembang kalian boleh sekali mampir ke rumah Bu Kia. Jaraknya dekat sekali. Tadi ada yang bertanya apakah saya pernah belajar dipondok atau tidak ya…. Jadi saya dulu pernah belajar dipondok selama 13 tahun, saya disini akan menjadi teman kalian belajar Al-Qur’an. Oh iya, saya belum menikah ya anak-anak. Sekarang Bu Kia juga masih belajar di pondok Darul Qur’an Lembang.” Aku mulai menmperkenalkan diri panjang lebar dan menjawab berbagai pertanyaan dari anak-anak.

“Bu Kia minus ya?” Salah satu siswa mencoba mengulangi pertanyaan yang sudah diutarakan sebelumnya.

“Hmm iya betul sekali nak. Bu Kia matanya minus.” Terangku kepada salah satu siswa tersebut yang juga memakai kacamata.

“Kalau kamu minus berapa?” ucapku melempar pertanyaan yang sama kepada anak yang duduk di barisan tengah kelas.

Hari-hariku terasa lebih berwarna semenjak mengenal anak-anak di kelas 3A. Mereka adalah siswa-siswi yang baik dan lucu. Setiap hari aku mendapatkan banyak cinta dan perhatian dari mereka. Selalu ada pertanyaan dan pernyataan yang membuatku terenyuh, tersipu malu, hingga terbahak-bahak. Bahasa cinta dari anak-anak membuatku tidak pernah merasa kekurangan. Ada yang suka memujiku dengan berbagai kata-kata manisnya, ada yang senang membantuku membawa tas setiap menuju kelas, ada yang senang memberiku hadiah berupa stiker lucu yang menggemaskan, ada juga yang sangat suka memelukku hampir setiap hari. Anak-anak itu menjadi energi positif bagi diriku untuk berani melangkah menjalani kenyataan. Menerima berbagai omongan dari orang-orang yang katanya perempuan 24 tahun ini sudah tua tapi masih belum menikah juga. Tapi bukankah jodoh adalah rezeki yang sudah tertakar dan tidak akan tertukar? Daripada aku menyibukkan diri dengan sesuatu yang sudah diatur Tuhan, lebih baik aku berproses dan memperbanyak pengalaman. Karena kenyataannya selain belajar bersama mereka jadwalku juga super padat. Pagi hari setelah subuh aku membantu ibu-ibu Desa Lembang belajar Al-Qur’an, siangnya langsung berangkat ke sekolah, sepulang sekolah langsung kembali ke pondok untuk mengajar kembali. Terlihat sesak jika dilihat, tapi aku sangat menikmati kesibukan ini.

“selamat siang anak-anak, maafkan Bu Kia ya karena terlambat,” seruku dengan tergopoh-gopoh masuk ke kelas.

“Bu Kia tumben terlambat biasanya sejak jam istirahat sudah duduk di masjid. Tadi dicari sama anak-anak kelas 2 juga Bu.” Setiap hari aku memang selalu datang 30 menit lebih awal untuk belajar dulu di masjid sebelum meneruskan pelajaran ke anak-anak.

“Iya maaf ya, tadi masih macet di jalan. Ayo sekarang segera berdoa dan kita mulai pelajaran siang ini. Hari ini kita akan belajar tentang makhorujul (tempat keluar) huruf shod.” Aku mengeluarkan catatan materi yang sudah aku buat semalam di rumah.

“Bu kenapa kita tidak langsung belajar membaca Al-Qur’an saja?” Tanya Kayla dengan nada protes sambil menunjukkan ekspresi kesal.

“Iya Bu Kia, kenapa dari setiap hari kita harus belajar makhorijul huruf? Jika huruf hijaiyah ada 29. Jadi kita belajarnya Al-Qur’an masih lama ya Bu?” Sahut anak laki-laki berbadan kurus mungil bernama Noval.

“Nak… coba dengarkan dulu ya. Kenapa sih kita harus belajar makhorijul huruf? Coba siapa yang tau angkat tangan.” Aku mencoba memberikan kesempatan kepada anak-anak lain untuk berpendapat.

“Saya Bu…. Supaya ngajinya bisa bagus seperti Bu Kia.”

“Saya…. Mengajinya biar fasih Bu.”

“Bu…. Supaya hurufnya tidak tertukar.”

“Saya Bu Kia…. Supaya mengajinya lancar jaya,” jawab Mas Alba dengan nada mengayun diikuti gelak tawa teman-teman yang lainnya.

“MasyaAllah, Bu Kia tidak menyangka kalian semua cerdas sekali. Jawabannya semua jempol dua,” jawabku dengan memberikan dua jempol untuk mereka.

“Sekarang coba kalian pikirkan ya…. Ketika kita TK dan belajar membaca pasti sebelumnya kita belajar mengenal huruf abjad dulu kan. Sehingga kita bisa membaca buku dengan baik dan benar. Seperti itu juga ketika kita mau belajar Al-Qur’an. Kita harus kenalan dulu dong dengan huruf hijaiyahnya.” Aku mencoba memberikan pengertian kepada mereka agar lebih semangat belajar dari ilmu dasar Al-Qur’an. Mayoritas pembelajaran di Indonesia memang dimulai dengan memaksa membaca Al-Qur’an tanpa belajar dasar-dasarnya. Setelah sudah dewasa baru masyarakat belajar bagaimana ilmu dasar membaca Al-Qur’an seperti makhorijul huruf (tempat keluarnya huruf) dan tajwid (hukum bacaan Al-Qur’an). Sayangnya metode seperti itu akan menyulitkan di masa yang akan datang karena dari awal lidah manusia tidak dibiasakan membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar.
1 bulan berlalu diiringi kisah bahagia bersama anak-anak di SDI Darussalam. Sebenarnya aku tidak hanya akrab dengan anak-anak kelas 3A, entah bagaimana awalnya anak-anak di kelas lain juga mengenalku dengan baik. Hampir setiap hari aku mendapat salam dan senyum hangat ketika datang dan pulang sekolah. Sekolahku ini tidak terlalu luas, hanya satu gedung berwarna hijau di sebelah Utara dengan tiga lantai, disebelah Barat ada masjid Al-Anwar tempat anak-anak melaksanakan sholat dhuha dan sholat dhuhur berjamaah. Di sebelah timur ada beberapa penjual jajanan dari luar sekolah yang berjualan di sepanjang jalan masuk, sementara di sebelah Selatan ada parkiran khusus guru. Jam mengajarku mulai jam 13.00 – 14.30 WIB setiap hari.

“Bu Kia, bagaimana dengan anak-anak kelas 3A? Apakah ada kendala Bu?” Seorang guru perempuan berbaju putih dengan rok hitam dan jilbab merah muda menghampiriku yang sedang berdiri melihat suasana sekolah ketika istirahat. Beliau adalah Bu Anin, wali kelas 3A. Bersyukur aku bisa berkomunikasi baik dengan Bu Anin karen usia kita yang tidak terpaut jauh, justru 1 tahun lebih muda dariku. Setiap ada sesuatu hal yang penting terkait anak-anak aku selalu berdiskusi dengan beliau.

Seperti perkembangan belajar anak-anak setiap minggu, hingga masalah beberapa anak yang sulit diatur dan bersikap semaunya ketika dikelas.

“Alhamdulillah Bu Anin, semuanya baik-baik saja sampai saat ini,” jawabku dengan memegang lembut lengan atasnya.

“Semoga betah disini ya Bu Kia, karena sudah dua kali kelas 3A berganti guru mengaji. Saya menyadari jika anak-anak saya susah diatur dan terkenal sebagai kelas paling ramai disekolah,” ucap beliau dengan penuh harapan kepadaku.

“InsyaAllah Bu, doakan saya. Anak-anak tidak seburuk yang dikira orang kok Bu.” Aku mencoba memberi keyakinan kepada Bu Anin.

Setelah ujian akhir semangat belajar anak-anak mulai menurun, mereka mulai bercerita tentang rencana liburan bersama keluarganya masing-masing. Aku tidak bisa memaksa mereka untuk selalu semangat, tetapi aku tidak mungkin membiarkan mereka berhenti belajar. Sehingga satu minggu yang tersisa di semester ini sesekali aku isi dengan bermain kuis dan bernyanyi. Bukan hanya aku yang memberikan mereka kuis berupa pertanyaan-pertanyaan, tetapi sesekali mereka juga senang memberikanku pertanyaan jebakan yang diplesetkan. Kadang mereka juga memintaku untuk bernyanyi sedangkan mereka yang memukul-mukul meja mengiringi suaraku yang sumbang.

(Waktu istirahat, dikelas bersama anak-anak)

“Bu Kia, coba tebak buah apa yang durhaka?” Mas Noval mencoba memberiku pertanyaan.

“Hmm… apa ya mas Noval Bu Kia tidak tau. Menyerah,” jawabku sambil terseyum penasaran.

“Melon kundang Bu,” Mbak Tasya menjawab pertanyaan yang tidak bisa kujawab.

“Bu Kia tau tidak lemari apa yang bisa dimasukkan saku?” Mas Noval yang sedari tadi menyimak juga memberiku tebak-tebakan.

“Jawabannya lemaribu,” kali ini aku bisa menjawab pertanyaan dari Mas Noval diikuti riuh tawa anak-anak lain yang berkumpul mengelilingi mejaku.

Tiba-tiba sebagian siswa yang ada di pojok belakang kelas berteriak histeris.
“Bu Kia… Bu Kia… tolong Dinda Bu…”

“Bu, Dinda kakinya berdarah Bu…”

“Bu ini bagaimana kakinya Dinda terkena pecahan keramik lantai yang pecah…”

“Tolong kalian ambilkan obat merah dan kapas ya di kantor. Segera!” Perintahku kepada anak-anak yang berdiri disamping Mbak Dinda. Aku turut panik melihat darah segar mengucur dari kakinya.

“Bagaimana Bu? Ayo sini nak ikut saya ke Puskesmas terdekat,” ucap Pak Riko yang tiba-tiba sudah ada di kelas dan langsung menggendong Dinda menuju Puskesmas di dekat sekolahan.

Sepanjang jalan dari kelas lantai dua sampai lantai satu penuh dengan tetesan darah. Teman-teman Dinda di kelas ikut khawatir hingga menangis. Aku juga merasakan hal yang sama, tetapi aku berusaha lebih kuat agar anak-anak juga lebih tenang. Karena kejadian tersebut kelas menjadi sangat tidak kondusif, beberapa siswa membantuku membersihkan darah yang bercecer di lantai. 15 menit lagi jam pelajaran akan berakhir, Dinda dengan wajah yang biasa saja jalan dengan santai dari lantai satu sampai kelas di lantai dua. Memang dia adalah anak dengan karakter yang tangguh dan pemberani. Kejadian tersebut tidak samasekali membuatnya panik dan menangis, meskipun dari raut wajahnya terlihat menahan sakit. Senyum di bibirnya masih terus merekah.

“Assalamu’alaikum…” ucap Dinda ketika masuk kelas dengan langkah yang sedikit pincang.

“Waalaikumussalam…” sahutku tidak percaya melihat Dinda sudah kembali ke kelas sendiri dengan keadaan jempol kaki kanan yang diperban. Aku langsung menghampiri dan melihat keadaanya.

“Saya tidak apa-apa Bu, tadi sudah diobati sama Bu Dokter.” Dinda mencoba menenangkanku dengan suaranya khasnya yang cetar.

Aku pulang dengan perasaan bersalah karena merasa tidak bisa menjaga anak-anak dengan baik hingga ada yang terluka. Tapi kabar baik dari orang tuaku lebih membuatku bimbang dan dilema. Tiba-tiba orang tuaku menginginkanku untuk melanjutkan pendidikan S2 di Yogyakarta sembari menunggu jodoh tiba. Aku memang memiliki rencana melanjutkan S2, tetapi tidak dalam waktu sedekat ini. Dua bulan yang lalu aku baru saja mendapatkan gelar S1, aku masih ingin berhenti sejenak dan mencari pengalaman. Perintah kedua orang tuaku seakan-akan mengisyaratkan bahwa aku harus keluar dari Desa Lembang untuk mengurangi omongan orang-orang. Aku memahaminya, tetapi aku berangkat bukan karena omongan dari masyarakat melainkan niatku untuk menjadi perempuan berwawasan luas dengan pendidikan. Tiga hari sebelum liburan semester aku memberikan surat pengunduran diri kepada Bu Dina.

(di kantor SDI Darussalam)

“Bu Kia kenapa mengundurkan diri? Apakah ada yang kurang berkenan di hati dengan tingkah laku anak-anak di kelas?” Kata Bu Dina dengan nada kaget dan mengiba.

“Tidak Bu… Saya tidak memiliki masalah dengan anak-anak. Saya bersyukur bisa belajar bersama anak-anak dan mendapatkan perhatian dari mereka.”

Kataku dengan kepala tertunduk dan nada suara yang semakin merendah.

“Lalu?” sahut Bu Mega yang duduk tepat di depan saya.

“Saya diminta orang tua untuk melanjutkan pendidikan S2 di Yogyakarta,” ucapku meyakinkan.

(Bu Dina dan Bu Mega menghela nafas panjang dengan ekspresi pasrah)

“Baiklah Bu Kia, jika itu keputusannya. Saya hanya bisa mendoakan yang terbaik agar Bu Kia diberikan kemudahan dan kebaikan disetiap langkah.” Bu Dina yang duduk di sebelah kananku mencoba meyakinkan dengan keputusan mendadak ini.

“Saya sangat berterimakasih kepada Bu Kia karena telah membagikan ilmunya kepada anak-anak didik saya Bu… Semoga menjadi pahala baik untuk Bu Kia,” sahut Bu Mega dengan senyum yang tulus dan meneduhkan.

“Aamiin… aamiin…” kataku dengan perasaan tenang.

Jumat, 22 Desember 2023 – Hari terakhir aku bertemu dengan anak-anak kelas 3A. Genap empat puluh hari mereka menjadi bagian dari cerita bahagiaku. Meskipun sangat berat berpisah dengan mereka, tetapi perintah kedua orang tuaku untuk melanjutkan studi S2 juga sama baiknya. Aku datang ke sekolah dengan membawa dua kotak permen lolipop yang aku hias dengan kertas origami menyerupai bunga. Anak-anak menyambutku dengan penuh semangat dan antusias dari tangga menuju kelas. Mereka penasaran dengan apa yang aku bawa dalam dua kotak sedang berwarna putih. Seperti biasa aku mengawali kelas dengan berdoa bersama, namun dengan perasaan yang tidak bahagia seperti biasanya. Nelangsa. Dilema. Aku pandangi satu persatu mata anak-anak, perhatian mereka selama ini sudah menarik hatiku sedalam-dalamnya. Berat mulut ini untuk mengucapkan kata selamat tinggal.

“Halo, anak-anak…. Karena ini adalah hari terakhir kita bertemu Bu Kia ingin kalian menulis dalam selembar kertas apapun tentang Bu Kia. Boleh saran, boleh kritikan, boleh puisi boleh juga surat singkat ya….” Aku tidak sadar mengatakan bahwa ini adalah hari terakhir bersama anak-anak.

“Loh… Bu Kia mau kemana? Kenapa ini hari terakhir?”

“Setelah liburan kita tidak bertemu lagi Bu?”

“Kenapa Bu Kia meninggalkan kami.”

(Seketika seluruh anak-anak maju kedepan dan memelukku dengan erat)

Aku belajar banyak dari mereka,

Melalui perhatian kecil tetapi tulus dari hati

Aku belajar banyak dari mereka,

Melaui sorot mata yang selalu meneduhkan hati

Aku belajar banyak dari mereka,

Melalui setiap tingkah dan perkataannya yang apa adanya

Aku belajar banyak dari mereka,

Melalui setiap tawa yang melabur setiap rasa lelah di pelupuk mata

Doa terbaik dari Bu Kia,

Semoga kalian menjadi anak-anak hebat suatu saat nanti.

Lembang, 22 Desember 2023

Zakia Putri

Aku membaca surat anak-anak satu persatu dengan hati yang masih pilu dan air mata yang tertahan di ujung mata. Sembari melihat suasana kelas yang sudah kosong dengan kursi dan meja yang sudah tidak rapi lagi. Aku menangis sesenggukan membaca setumpuk surat cinta di akhir cerita ini. Kebanyakan isinya adalah ucapan terimakasih dan harapan terbesar agar aku tetap menjadi guru mereka. Kepergian ini terlalu mendadak untukku dan anak-anak. Sedangkan kenangan selama empat puluh hari yang sudah ditulis menjadi kenangan indah. Pada tumpukan paling bawah aku menemukan surat terakhir yang berisi semangat yang kembali menguatkan langkahku lagi.

Bu Kia, Terimakasih ya sudah menjadi guru terbaiku.

Maafkan aku pernah membuat khawatir Bu Kia.

Aku sedih karena akan kehilangan Guru yang baik dan sabar.

Tapi aku juga bahagia jika Bu Kia akan sekolah lagi.

Kata ayahku semua orang harus semangat sekolah supaya jadi orang yang baik.

Semoga Bu Kia ingat aku selamanya ya.

Dari Dinda.

13 November 2023 – 22 Desember 2023.

Singkat namun sangat melekat.

Cerita 40 hari telah purna, meninggalkan cerita yang begitu dalam.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *