Untukmu, yang Masih Berdiri di Tengah Debu

Gaza,

malamku terang oleh berita dari negerimu,

anginmu masih mengirim kabar yang syahdu,

tapi mataku buram,

sebab seluruh dunia mulai bungkam.

 

Di setiap lorong dan napas waktu,

langitmu tak lagi biru.

Kala dentuman maut mengguncang negeri kecilmu,

langit pun menangis tersambar jeritan peluru.

 

Di bawah bentang langit yang sama,

aku menatap bintang, sedang kau menatap api yang menembus cakrawala.

Tapi kau lebih tahu cara meneyemai asa,

meski yang datang bukan hujan, melainkan gemuruh ledakan.

 

Gaza,

kau berjalan dalam puing-puing reruntuhan,

tapi langkahmu penuh keberanian.

Mata anak-anakmu bagai berlian,

walau siang dan malam dirundung ketakutan.

 

Anginmu tak lagi membawa wangi roti,

melainkan debu, dentang maut, dan pekikan bumi.

Di bawah atap dunia yang seolah mati,

kau berbaring dalam malam yang tak sempat menjadi mimpi.

 

Tawamu yang terdengar di antara debu,

senyummu yang terlukis dalam kalbu,

seolah telah pecah menjadi keping-keping pilu,

yang akan selalu menjadi rindu paling fardu.

 

Gaza,

kutitip cinta lewat puisi ini,

bukan sebagai obat, tapi sebagai ungkap janji,

bahwa dunia belum sepenuhnya mati,

dan hatiku masih mendengarmu pilu bernyanyi.

 

Walau aku tak bisa menggenggam tanganmu,

tapi kutulis namamu dalam setiap hembusan doa,

agar Tuhan mendengarnya lebih dulu

daripada ledakan amarah yang datang dari lautan di atas kepala.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *