ANTARA PERJUANGAN DAN PENGABDIAN

Tidak semua guru memandang profesinya sebagai ladang penghasilan. Dan tidak semua ibu punya pilihan untuk memilih antara profesi dan keluarga.

Fakhira Adriani

⁕⁕⁕

 

Hujan deras masih belum berhenti. Memaksa Bu Fakhira untuk tetap berada di dalam ruang guru meskipun harusnya sejak satu jam lalu dia sudah berada di rumah untuk bermain dengan putra semata wayangnya, Mahesa Wiraguna. Beberapa kali hembusan napas berat keluar dari bibirnya. Merasa sesak karena rasa bersalah pada balita berusia 4 tahun itu.

Bukan pertama kalinya Bu Fakhira harus meninggalkan bayi kecil itu di rumah bersama nenek dan ayahnya. Karena memang selain sebagai guru di sekolah menengah pertama, dia juga merangkap jabatan sebagai wakil bidang kurikulum dan staf bendahara. Beberapa kali kewajiban untuk mengikuti workshop, seminar, pelatihan dan semacamnya membuatnya harus pulang lebih dari jam normal. Bahkan pernah di hari libur pun harus sibuk jika sedang berkejaran waktu dengan deadline pelaporan.

“Bu Ira belum pulang?” tanya Bu Anita. Salah satu guru yang belum genap setahun menjadi rekan seprofesinya.

“Belum, Bu. Masih hujan. Suami mau jemput tapi saya minta tunggu agak reda. Kasihan kalau masih deras begini,” jawab Bu Fakhira, “Bu Ira juga belum pulang?”

“Lupa bawa mantel, Bu.” Perlahan Bu Anita duduk di kursi samping meja Bu Fakhira.

Bu Fakhira menyandarkan punggung pada kursi. Sesekali membuat gerakan kecil untuk meregangkan badannya yang sedikit pegal.

“Capek ya, Bu?” Bu Anita bertanya.

“Ya, sedikit. Lebih banyak pusingnya, Bu,” sebuah senyum kecil kembali disunggingkan Bu Fakhira menanggapi pertanyaan juniornya ini.

“Saya paham sih, Bu,” Bu Anita merespon, “pasti sulit sekali jadi Bu Ira. Sudah mengampul dua mata pelajaran, jadi waka kurikulum, masih bantu pelaporan keuangan juga. Ah, belum lagi kalau sesepuh-sesepuh kantor ikut ngerecokin urusan ngetik lah, bikin surat panggilan lah. Saya aja yang cuma lihat sudah pusing.”

Bu Fakhir tertawa lirih mendengar istilah sesepuh yang dikatakan temannya itu. memang beberapa guru yang berusia hampir 60 tahun di sekolahnya terkadang sangat suka meminta bantuan tanpa melihat kesibukannya. Namun dirinya sering maklum, karena tuntutan zaman sekarang mungkin mereka kesulitan untuk mengejar.

“Ya, jangan dilihat, Bu Nita. Biar gak pusing,” kelakar Bu Fakhira.

“Emang Bu Ira gak pusing?” mata bulatnya menatap bu Fakhira serius.

“Pusing dong, Bu! Kan tadi saya juga ngeluh,” senyuman manis masih tersungging tipis dari bibir Bu Fakhira saat menjawab.

“Kalau saya jadi Bu Ira mungkin sudah resign, Bu. Mendingan momong si kecil di rumah. Kalau pengen nyari tambahan tinggal buka toko online. Kerja santai, gak jauh dari anak.” Tangannya sibuk memainkan gawai saat mengungkapkan gagasan yang terlihat solutif itu.

“Bu Nita, kapan nikahnya? Apa sudah yakin resign kalau sudah punya anak nanti?” Bu Fakhira bertanya sarkas.

“Hehe, ya gak tahu, Bu. Saya cuma ngasih pendapat saja kok,” jawab Bu Anita, “jangan tersinggung dong, Bu!”

Bu Fakhira hanya tersenyum. Menghadapi orang lain yang berkomentar tentang hidupnya, padahal tidak pernah berada di posisinya tentu bukan hal yang mengejutkan. Karena ini bukan yang pertama. Jangankan orang lain, keluarganya pun juga ada yang berkomentar pedas meski dilontarkan dengan nada bercanda.

Beberapa hari yang lalu bahkan dia menangis sepulang rapat dengan wali murid PAUD tempat anaknya belajar. Karena salah satu orang yang mengatakan bahwa anaknya seperti tak terurus dan hanya manut dengan neneknya. Kadang Bu Fakhira berpikir, apa sebegitu hinanya seorang ibu pekerja? Sehingga banyak orang merasa normal untuk mencaci maki seenak mulutnya. Bahkan pernah dalam pertemuan keluarga salah satu budhenya berkata nyinyir di depan Ibunya.

“Anakmu itu lulusan pesantren, guru, wong pinter tapi kok tega Ibu kandungnya disuruh momong cucu. Mbok ya bayar orang buat momong. Atau sekalian gak usah kerja. Mosok gaji suaminya gak cukup?”

Dan pada akhirnya Bu Fakhira hanya bisa menangis ketika berada di rumah. Ketika sedang berdua dengan suaminya, atau saat sendirian setelah berhasil menidurkan anak semata wayangnya. Namun saat berhadapan dengan banyak orang, tak ada air mata yang ditunjukkan. Bukan karena takut, maupun malu. Tapi Bu Fakhira sadar penjelasan atau air matanya tidak akan menghentikan kesalahpahaman orang terhadap keluarganya.

“Bu Anita, ada baiknya jangan memandang sesuatu sebagaimana umumnya,” Bu Fakhira menanggapi setelah sekian lama terdiam. Suasana hujan yang mendukung membuat obrolan ini terasa dalam baginya.

“Maksud Bu Ira gimana?” Terlihat kedua alis Bu Anita yang terukir rapi bertaut.

“Saya memaklumi mungkin Bu Nita sudah punya banyak rentetan rencana ke depan meski belum menikah. Saya pun juga dulu sama. Rencana saya sangat rapi saat belum dijalani,” Bu Fakhira berkata sambil tersenyum, “tapi tidak semua hal dalam hidup kan sesuai rencana kita. Ada takdir Allah yang harus kita jalani. Saya tidak menyalahkan takdir ya, Bu. Hanya saja kadang capek mendengar orang seolah merasa pendapatnya paling benar padahal tahu fakta tentang hidup kita saja tidak.”

Terlihat mata Bu Anita semakin fokus. Menandakan pikirannya sedang merenungi apa yang dia dengar.

“Tidak semua guru memandang profesinya sebagai ladang penghasilan. Dan tidak semua ibu punya pilihan untuk memilih antara profesi dan keluarga. Kalau sekedar mencari penghasilan, mungkin saya akan memilih pekerjaan lain. Bagi saya menjadi guru itu perjuangan, seperti cita-cita besar almarhum ayah saya. Dan menjadi seorang ibu itu pengabdian. Bukan sekedar kewajiban apa saja yang harus dilaksanakan. Bu Anita paham, kan?” sejenak Bu Fakhira menoleh pada lawan bicaranya itu.

Bu Anita mengalihkan pandangan pada berkas di mejanya meski tidak benar-benar fokus pada isi di dalamnya. Dirinya mulai segan. Merasa bersalah atas komentarnya tadi.

“Maafkan saya, Bu. Saya bukan bermaksud nyinyir.,” kata Bu Anita lirih.

“Saya tidak marah, Bu. Mungkin suasananya saja yang bikin canggung.” Senyum lebar disunggingkan Bu Fakhira demi menghilangkan kecanggungan di antara mereka berdua.

Hujan mulai mereda. Perlahan tangan mereka sama-sama membereskan beberapa buku dan laptop masing-masing. Beberapa kemudia terdengar suara klakson dari luar.

“Saya duluan, Bu Nita. Suami saya sepertinya sudah menjemput. Assalamu’alaikum!” pamit Bu Fakhira.

“Silahkan, Bu.Wa’alaikumussalam

Bu Anita menatap Bu Fakhira. Perempuan berkacamata itu membawa tas dipunggungnya. Melangkah tegas sambil tersenyum manis.

⁕⁕⁕

Tagar:

Bagikan postingan

satu Respon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *