Bunda Lika dengan Segala Takdirnya – Cerpen Lihali Maratus Solihah

puisi guru

Bunda Lika dengan Segala Takdirnya
Karya: Lihali Maratus Solihah


“Bagaimana, Bu… tahun ini aku jadi melanjutkan kuliah kan?”

“Uang dari mana Lika? Kredit sepeda ayahmu belum lunas, adikmu sudah masuk SMP banyak pengeluaran.”

Lagi-lagi, aku harus menelan kecewa dari janji yang telah orang tuaku buat setahun yang lalu. Harusnya aku tak lagi menaruh harapan, hingga akhirnya aku kembali tenggelam dalam lautan kekecewaan. Tahun ini adalah kesempatan kedua setelah aku lulus SMA. Tapi, untuk kedua kali itulah aku juga harus dipaksa memendam inginku untuk mengenyam pendidikan di bangku kuliah.

Juni, 2023 seharusnya menjadi bulan terakhir aku mengajar di TK tempatku singgah. Karena aku pikir, aku akan kuliah tahun ini. Anak-anak akan diwisuda, tanda pelepasan almamater taman kanak-kanak mereka menjadi merah putih di sekolah dasar barunya. Terhitung, hampir setahun aku mengajar disana. Menjadi seorang guru TK honorer, dan menggeluti dunia anak-anak yang perbedaannya jauh di atas rata-rata dengan masaku.

Sore itu, mendung menyelimuti seluruh cakrawala. Satu persatu gerimis turun hingga menjelma hujan. Listrik padam, hanya ada satu lilin yang berusaha mengisi kegelapan. Aku dan Ibu sama-sama duduk terdiam, mengarungi setiap jengkal pikiran yang kian mengobrak-abrik ketenangan. Mungkin ia dapat merasakan lukaku, namun tak dapat menyorot air yang jatuh di pelupuk mataku. Aku tak dapat lagi membendung kecewaku, meski aku tahu inilah jawaban yang akan aku terima dari Ibu.

“Sudahlah, Nak! Tekuni dulu mengajar TK, berapa pun honormu Ibu tidak akan pernah minta.” Kata Ibu, memecah kebisuanku. “Bukannya Ibu tak mau menyekolahkanmu lagi hingga sarjana, tapi kita terkendala biaya, Lika.” Lanjutnya dengan suara yang sedikit gemetar. “Kalau saja Ayah tidak mengkredit motor Bu, mungkin aku bisa lanjut kuliah tanpa kalian terbebani dengan cicilan. Aku berjanji, Bu… Aku akan mencari beasiswa dan bekerja paruh waktu selama kuliah, hingga aku tak merepotkanmu lagi.” Sahutku sendu. “Jangan memaksakan, Lika. Kita tidak akan mampu!”

“Ibu tak percaya padaku? Ibu tidak percaya ambisiku? Ibu meragukan kemampuan…” Belum lagi selesai bicaraku, Ibu pergi begitu saja meninggalkanku sendiri di ruang keluarga. Entah apa yang sedang ia pikirkan, tapi aku sedikit marah mendengar jawaban Ibu. Aku tidak tahu, apa yang aku katakan itu mungkin saja bisa melukai hati ibuku. Tapi itulah kenyataannya, aku sudah tak sanggup lagi menahan sakit dan kecewaku.

Hari terus berlalu, menjadi minggu bahkan bulan hingga masa-masa pendaftaran kuliah telah ditutup bagi calon mahasiswa baru. Aku harus menyiapkan acara wisuda anak-anak didikku dan mempersiapkan diri menyambut tahun ajaran baru dengan luka dalam hatiku. Bagaimanapun, pekerjaanku menuntut untuk selalu ceria dan bergembira. Menyimpan semua cerita pedih, hingga melipat kembali air mataku ke dalam rongganya.
“Bunda Lika, bentar lagi aku masuk SD ya?”

“Iya, sayang. Habis ini kamu pakai seragam merah putih, loh!”

“Aku tidak mau!”

“Kenapa?”

“Nanti aku tidak ketemu Bunda lagi. Nanti tidak bisa main sama Bunda Lika lagi.”

“Nanti di sekolah baru, kamu akan banyak bertemu teman-teman baru, Bapak Ibu guru baru yang pastinya akan sayang dan senang diajak bermain sama kamu, Nak!”

“Tidak mau, maunya sama Bunda Lika!”

Perbincangan singkat itu membuat hatiku bergetar. Gadis mungil itu lantas pergi meninggalkanku dan membiarkanku melanjutkan memasukkan rapor ke dalam map.

Anak-anak didikku sudah menjadi bagian penting dalam hidupku. Mereka seolah menjadi pelipur senduku. Obat dari segala sakit dan keluhku. Aku tidak tahu, kekuatan apa yang mereka punya. Sehingga ketulusan hatinya mampu membuatku luluh dan merasa bahagia, meskipun aku sedang lelah. Aku mungkin belum pantas menjadi seorang guru di usiaku yang masih 19 tahun saat itu. Emosi yang bisa dibilang belum stabil, tapi aku dipaksa menjadi Ibu dari 15 anak dengan segala perbedaan dan kemampuan mereka. Banyak luka, trauma dan inginku yang belum bisa aku gapai ketika aku di usia anak didikku sekarang. Tapi dengan mengajar mereka, telah mengobati dan mengisi sebagian ruang kosong rinduku. Jiwa kekanak-kanakanku banyak terobati oleh hadirnya mereka di hidupku.

Bulan Juni telah berlalu, perpisahan anak-anak didikku telah banyak menguras air mataku. Merasa kehilangan, bahagia dan bangga telah turut andil di masa kanak-kanak mereka dan mengantar mereka di pendidikan selanjutnya. Perasaanku tidak karuan, banyak maaf dan terima kasihku untuk mereka. Tapi, aku tidak boleh berlarut-larut dalam sedihku. Saatnya aku menyambut tahun ajaran baru dengan semangat yang membiru.

Hari ini adalah rapat yayasan pertama di tahun ajaran baru. Sedikit canggung, tapi aku lebih bisa menikmati hari ini dengan lebih tenang. Banyak hal yang dibahas, terutama program tahunan dan bahan ajar seperti apa yang baik digunakan dengan ragam evaluasi di tahun ajaran sebelumnya.

“Kita akan membuat struktur organisasi yang lebih runtut, terhitung mulai tahun ajaran ini. Seperti yang kita ketahui bersama-sama, bahwa sudah 3 tahun berdiri sekolah ini tapi belum ada patokan pasti dari yayasan siapa saja pengurus di dalamnya. Maka dari itu, saya mengangkat Bunda Lika sebagai wakil kepala sekolah dan menggantikan Bunda Rita apabila beliau berhalangan hadir di acara-acara tertentu.” Kata Ibu ketua yayasan yang diketahui mengambil alih sebagai bendahara sekolah. Betapa terkejutnya aku, tiba-tiba saja seorang guru muda 19 tahun diangkat menjadi wakil kepala sekolah. “Mohon maaf, Bunda…saya tidak memiliki gelar apa-apa. Sepertinya, jabatan itu kurang pantas untuk saya dan bisa dialihkan kepada Bunda-bunda senior yang lebih berkompeten serta bergelar sarjana.” Jawabku sedikit sendu. Aku merasa tidak percaya diri dan kembali mempertanyakan kemampuanku. “Saya rasa, gelar tidak begitu menjadi alasan kuat untuk seseorang menduduki jabatan ini, Bunda Lika. Kita semua tahu, bagaimana kinerja Anda selama satu tahun di sini dan saya percaya Bunda Lika bisa menjalankan tugas ini bersama Bunda Rita.” Ibu ketua yayasan kembali memberi penjelasan padaku. Mau tidak mau, bisa atau tidak aku harus menerima itu. Kepercayaan yang seseorang berikan padaku, tidak sepantasnya aku menghancurkan kepercayaan itu. Bukan prinsipku pula, jika aku mundur dalam sebuah tanggung jawab yang diemban di pundakku.

Masa-masa orientasi siswa telah berlalu. Mereka begitu menikmati kegiatan belajar di kelasku, begitu pun denganku. Ternyata tidak begitu menyedihkan, apabila aku harus melepas anak-anak didikku yang sebelumnya ke jenjang pendidikan mereka selanjutnya. Ini adalah hukum alam bagi seorang guru. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, guru akan mengalami perpisahan dan pertemuan setiap tahunnya dengan anak didik yang berbeda-beda.

“Mohon maaf, Bu. Saya harus mengatakan, bahwa Anda positif mengidap gagal ginjal.” Ucap seorang bapak-bapak yang memiliki nama dada, dr. Andre itu dihadapkanku.

Duniaku seolah berhenti berputar, banyak harap yang harus tiba-tiba runtuh di pikiranku. Banyak kata penolakan yang ingin aku ucapkan, namun aku tak mampu. Sebuah kenyataan yang harus aku terima, di bulan ketiga mengajar anak didikku yang baru yaitu bulan Oktober. Sakit yang selama ini aku keluhkan, aku pikir hanyalah kecapekan. Apa yang selama ini aku tahan dalam tubuhku adalah sebuah petaka yang mengejutkan. Jiwa yang selama ini ceria bergembira layaknya orang sehat pada umumnya, ternyata menyimpan banyak sakit yang mengundang resah.

Aku harus menjalankan banyak terapi demi kesembuhanku. Harus bolak balik keluar kamar rumah sakit, demi mengemis celah sehatku. Aku tidak tahu, apa yang telah Tuhan takar untukku. Aku seolah menentang takdir, tapi aku tak kuasa mengubahnya sesuai mauku. Di usiaku sekarang, masa dimana aku bergelut hebat dengan proses pencapaian mimpiku, aku juga harus bertarung dengan penyakitku. Aku tidak pernah tahu, apakah aku mampu melewati ini. Banyak harap yang seolah semakin mustahil aku gapai, terlebih menjadi sarjana sesuai mimpiku. Akan tetapi, aku tidak putus asa begitu saja. Aku tetap mengajar anak-anak hebatku dan menatap lekat setiap mimpiku, meskipun banyak ketidakmungkinan yang akan terjadi nanti. Selama nyawa masih melekat dalam raga, tak ada kata mustahil apabila Tuhan mengijabah.

Barangkali, inilah jawaban dari kekecewaanku atas jawaban Ibu padaku beberapa bulan lalu. Aku tidak diperkenankan jauh darinya, agar orang tuaku merawatku, agar aku tetap membersamai anak didikku di sekolah, agar aku merasakan pengangkatan jabatan. Sebuah takdir yang Tuhan takar, sudah menjadi patokan terbaik daripada yang aku inginkan. Tinggal bagaimana sekarang aku bersyukur dan tetap menjalani setiap ketetapan.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *