Candu yang Racun
Karya: Baiq Nikia Binipuri
Ciip….ciip…ciip…
Kicauan burung terdengar jelas memenuhi pepohonan, seolah sedang menyandungkan sebuah lagu untuk alarm di tengah kebisingan kota. Sinar matahari menembus jendela kaca sebuah kamar kecil, sinarnya menerpa wajah gadis remaja yang tengah tertidur pulas. Gadis itu terbangun dengan rambut lurusnya yang berantakan diiringi bibir pink yang masih terselimut air tidurnya. Wajah yang terlihat cantik meski baru terbangun dari tidurnya merupakan anugerah Tuhan. Gadis remaja itu bernama Terra. Mata bulatnya yang setengah menutup menyusuri setiap sudut kamar kecilnya dan akhirnya terpaku menatap jam yang menghiasi salah satu dinding kamar. Tatapan lekat pada benda di dinding itu membuatnya termangu sesaat. Seolah telah terlepas dalam detakan besi itu membuat kesadarannya terkumpul. Setelah sejenak berdiam di atas kasur, ia pun segera melipat selimut dan membuka jendela kaca yang menghiasi kamar kecilnya.
“Selamat pagi dunia!!” seru Terra
Terra segera beranjak dari kasurnya. Langkah pelan yang menjajaki setiap inci itupun terhenti pada segelas air putih yang tersaji di atas meja. Terra meneguk semua tanpa meninggalkan setetes pun dalam gelas bening itu. Kakinya kembali menjajaki setiap inci rumah dan kembali terhenti pada kamar mandi yang berada tepat di tepi kamar kecilnya. Percikan air dingin mengenai tubuhnya dan membasahi seluruh bagian tanpa terkecuali, memberikan kesegaran dari lelahnya kehidupan. Tangan lentiknya menyelinap dari balik pintu besi dan meraih kain tebal yang tergantung tepat disamping pintu.
Terra berjalan keluar dari kamar mandinya. Lagi dan lagi Terra terhenti pada ruangan paling pojok sudut rumah, yang ia sebut sebagai dapur pribadi. Tangannya sibuk menyisiri dan mencari bahan-bahan makanan segar yang ia simpan dalam kulkas. Mengeluarkan semua bahan dan dengan lihai memotongnya. Bahan-bahan segar itu pun dimasukan dalam satu wadah besar. Dengan cekatan merubah bahan-bahan segar tersebut menjadi makanan yang lezat. Kepulan asap hangat di atas piring, sungguh menggiurkan. Ia segera menyantap makanan yang telah di buatnya. Ini merupakan rutinitas wajib di setiap paginya selama ia hidup di perantauan. Hal tersebut terjadi bukan tanpa alasan.
Terra yang masih terbalut kain tebal kembali berjalan ke kamarnya, kaki jenjangnya melangkah dengan cepat hingga sampailah ia pada kursi kayu sebelah tempat tidurnya. Ia duduk diatasnya. Sembari menghangatkan tubuhnya yang dingin, entah mengapa matanya tertuju pada satu bingkai foto kecil yang berada tepat di depannya. Foto itu menampilkan dirinya yang tengah tersenyum manis merangkul kedua orang tuanya.
Terperangkap dalam memori kala itu membuat air matanya berlinang di tengah hiruk pikuknya kota. Terra merindukan ayah dan ibunya. Saat ini tepat satu tahun Terra berada di perantauan untuk menempuh pendidikan tingginya. Sungguh berat rasanya menahan rindu dan menangung segalanya sendirian di tanah asing, apalagi ini merupakan pengalaman pertamanya. Setelah kalut dalam kesedihan, matanya tak sengaja terfokus kembali pada satu buku usang yang terselip di tengah buku pelajarannya.
Tangannya bergerak begitu cepat mengambil buku usang itu, dan menyibakan debu-debu yang tertempel. Sudah lama sekali rasanya Terra tidak mencurahkan segalanya dalam buku usang itu. Ya, buku itu adalah buku diary Terra, buku yang menjadi sejarah hidupnya di negeri perantauan. Terra membuka lembar pertama dalam buku tersebut, dan membaca tulisan “Candu yang Racun” yang terpampang jelas pada bagian atas. Kisah yang menjadi awal mula dari titik balik hidupnya.
***
Tanggal: 14 Juli 2023
Dear Diary,
Maaf baru menjengukmu lagi, hampir lima bulan. Aku sibuk sekali berpindah dan menyesuaikan diri dengan kehidupan perkuliahan. Aku akan mulai dengan menceritakan betapa senangnya aku saat diterima di kampus impian. Sungguh! Aku merasa senang!. Ini pertama kalinya aku akan tinggal sendiri, di tanah asing yang jauh dari tempat kelahiranku. Setelah sebelumnya mengalami hari-hari yang gelisah dan penuh harap selama menunggu pengumuman kelulusan, akhirnya! Aku di terima. Jujur pada awalnya aku tidak berharap lebih akan diterima pada perguruan tinggi ini. Namun, aku selalu meyakinkan diriku akan diterima dan selalu berdoa kepada Tuhan. Rasanya sangat melegakan dan haru setelah melihat tulisan ucapan “selamat” yang mengubah hidupku saat ini. Ini benar-benar pertama kalinya untukku. Suasana sekitar, kamar, orang-orang bahkan udara dari tempat yang asing ini benar-benar menakjubkan!.
Setiap pagi, aku selalu berangkat ke kampus dengan teman di samping kosku. Namanya Neira, dia anak baik dan perhatian sekali padaku! Padahal kami baru berkenalan 3 hari yang lalu. Selama perjalanan kami mengobrol hal-hal ringan tentang kehidupan kampus di fakultas masing-masing. Itu sangat menyenangkan!. Oh iya, aku dan Neira berbeda fakultas jadi sangat seru rasanya menanti cerita dengan suasana yang berbeda darinya.
Selama hidup di perantauan, banyak sekali hal-hal yang belum pernah aku rasakan sebelumnya di tempat kelahiranku. Salah satunya mencoba makanan-makanan yang ada di pinggir jalanan kampus. Sebelum meninggalkan tempat kelahiranku, ibu berpesan “Terra, baik-baik di sana nanti ibu akan menjenguk dan membawa makanan untukmu, jangan sesekali jajan sembarangan!” tegas ibu padaku. Ibu sangat tegas padaku terlebih menyangkut tentang makanan, padahal itu hanya makanan. Aku tidak tau kenapa ibu sangat tegas. Tapi, aku berpikir bahwa jika aku di perantauan ibu tidak akan tau, sehingga akan bebas rasanya untuk memilih makanan yang aku inginkan.
Setiap pulang kampus bersama Neira, aku selalu menyempatkan diri membeli seblak dan bakso yang biasa kukunjungi. Aku benar-benar terpikat oleh cita rasanya. Walaupun ibu yang berkunjung dua minggu sekali tetap membawa makanan untukku, tapi aku benar-benar tergila-gila dengan makanan yang dijual di pinggir jalan. Makanan ibu tetap nomor satu, lagi pula ini pengalaman pertama aku merasakan rasa yang sungguh candu dari makanan yang pedas dan gurih. Sayang rasanya jika harus dilewatkan Aku bingung mengapa ibu sangat membenci makanan-makanan seenak ini. Kali ini pun aku mampir lagi, seperti biasa.
“Mang, beli baksonya sebungkus terus exstra pedas ya mang!”
“Ok neng”
Sembari menunggu, aku memikirkan tugas-tugas apa yang harus aku kerjakan sesampainya di kos nanti. Memikirkannya saja benar-benar membuatku pusing. Beberapa saat setelahnya, aku pulang dengan hati gembira sembari memikirkan akan memakan rasa yang candu ini, dan mengesampingkan pikiran tentang tugas-tugas yang menumpuk. Dalam perjalanan pulang aku dan Neira berbagai cerita tentang apa yang telah kami hadapi sepanjang hari ini, hingga satu pertanyaan terucap dari Neira.
“Terra, kamu nggak bosen makan-makanan ini terus? Ini gak sehat ra”
Aku tau pertanyaan yang terlontar ini merupakan bentuk kekhawatiranya padaku. Tapi aku tidak pernah sekalipun menggangap makanan seenak ini akan berdampak berbahaya bagiku.
“Kamu seperti ibuku saja, makanan seenak ini nggak bakal berbahaya kok! Tenang saja!”
Melihat Neira yang akan bertanya lebih lanjut lagi, dengan segera aku menggubah topik pembicaraan.
***
Terra semakin kalut dalam bacaan-bacaan yang ia tulis dulu. Sungguh, rasanya menyenangkan membaca kisah sendiri. Namun, jika masa lalu dapat diulang kembali Terra akan mengulang tindakan yang ia lakukan dulu. Segenap rasa bercampur saat Terra membaca kisahnya. Lembar demi lembar usang itu terbaca sempurna, hingga akhirnya membuat Terra semakin terbawa dalam kisahnya sendiri. Entah mengapa rasanya Tuhan sengaja membuatnya membaca ulang kisah yang ia tulis dalam diary usang ini. Heningnya kamar kecil ini seakan memaksa Terra untuk kembali melanjutkan kisah pada lembaran-lembaran usang lainnya.
***
Tanggal: 2 Desember 2023
Dear Diary,
Lama tidak menyapamu. Tiga minggu lebih. Apa kabarmu?
Kabarku sedang tidak baik-baik saja. Setiap hari aku mengerjakan tugas tanpa kenal istirahat. Bagiku tugas lebih penting dari segalanya. Apakah benar kehidupan perkuliahan seberat ini? Padahal ini baru semester awal. Entah mengapa aku rindu ibu dan ayah. Aku merindukan semua yang ada di tempat kelahiranku.
Hampir seluruh hariku kugunakan untuk megerjakan tugas, karena terlalu fokus aku bahkan sampai lupa makan dan tidur. Beberapa minggu ini tercipta prinsip aneh dalam hidupku “Aku akan makan jika tubuhku gemetar”, aneh rasanya menyakini prinsip ini. Tapi mau bagaimana lagi, tugasku lebih penting. Terkadang makanan instant menjadi salah satu solusi untuk menganjal perut yang kelaparan ini.
Sudah hampir satu bulan ini ibu tidak datang berkunjung, uang yang diberikan ibu sudah kugunakan membayar segala keperluan kuliah dan membeli makanan di pinggir jalan. Hingga yang tersisa hanya makanan instant yang kubeli diam-diam. Aku tidak berani menghubungi ibu, aku takut ibu tau bahwa uangnya kugunakan untuk hal yang ibu larang.
“Ah, lemas sekali rasanya. Mengapa aku merasa tubuhku lemas padahal sudah makan?” batinku.
Aku benar-benar melupakan kondisi tubuhku akhir-akhir ini. Tapi rasanya, ini adalah hal biasa. Mungkin semua mahasiswa baru yang hidup di perantauan juga merasakan ini. Aku tetap melakukan aktivitas ku seperti biasanya. Setiap pagi berjalan ke kampus dengan Neira dan pulangnya menyempatkan membeli gorengan untuk menganjal perut. Setibanya di kos, aku segera merebahkan badan yang lelah dan tanpa sadar tertidur.
RING-RINGG
Aku terbagun, dan mencari dari mana suara nyaring itu berasal. Mataku yang awalnya masih setengah terpejam seketika melotot melihat nama yang menelponku sore itu.
“Hallo, nak?”
Suara yang kurindukan dari seorang wanita paruh baya yang kusebut “Ibu”.
“Hallo ibu, ibu apakabar? Kenapa ibu telpon Terra bu?” tanya ku segera dengan hati yang penuh rindu.
“Ibu baik-baik saja, kamu bagaimana? Ibu menelpon mu untuk mengabari bahwa besok sore ibu dan ayah akan datang berkunjung”
Mengetahui hal itu, aku sangat senang. Namun, Sebelum ibu dan ayah datang berkunjung aku menyembunyikan makanan instant yang kubeli agar ibu tidak curiga. Akhirnya ibu dan ayah datang, aku benar-benar rindu.
***
Tanggal: 5 Desember 2023
Dear Diary,
Aku menulis catatan ini di tengah malam sambil menguap berkali-kali, menahan kantuk. Tubuhku sakit dan lelah sekali. Sudah beberapa hari ini aku merasakan nyeri pada bagian perut, selalu muntah, dan buang air besar lebih sering dari biasanya. Sakit sekali, aku tidak tau kenapa seperti ini. Tapi aku akan baik-baik saja kan? Ini bukan masalah serius, ya kan?. Kuharap.
***
Tanggal: 12 Desember 2023
Dear Diary,
Sudah satu minggu berlalu, tapi rasa sakitnya semakin menjadi. Puncaknya tadi pagi. Aku yang bersiap ke kampus, entah mengapa merasa lemas dan keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Neira yang seperti biasa datang ke kamarku, terkejut melihat raut wajahku yang pucat serta penuh keringat. Semakinku tahan, rasanya sakit sekali. Seperti ada benda tajam menusuk perutku. Perih sekali. Terakhir yang kuingat, Neira memapahku dengan wajah yang mengisyaraktan seribu kali kecemasan. Neira berteriak dan menguncang tubuhku, apa yang membuat Neira panik padahal aku hanya memejamkan mata. Biarkan aku memejamkan mata sebentar Neira-
Aku awalnya berharap hari ini akan berjalan seperti biasanya atau mungkin jauh lebih baik. Saat membuka mata aku melihat atap asing dan terdengar tangis pilu seorang wanita paruh baya. Siapa? Ini dimana? Hanya itu pikiran yang terlintas. Badanku lemas sekali. Aku menoleh dan melihat ibu sedang menangis dalam pelukan ayah.
“Ibu? Ibu kenapa?”
Aku bertanya pelan pada ibu. Ibu yang melihatku dengan cepat memelukku, erat sekali. Aku rindu pelukan ini, tapi mengapa ibu begitu terisak?. Tanpa membutuhkan waktu lama, aku menyadari bahwa saat ini aku berada di rumah sakit. Memangnya aku kenapa hingga berada disini?. Aku bingung sekali. Aku melihat Neira sedang tertidur di kursi kayu. “Ah, ternyata aku pingsan ya.” Setengah jam berlalu, ibu melongarkan pelukanya padaku setibanya dokter datang untuk memeriksa.
“Hallo Terra, bagaimana sekarang? Apakah perutmu masih sakit?”
Aku membisu. Beribu pertanyaan mengepung kepalaku saat itu. Dari mana dokter tau jika perutku sakit. Seingatku aku tidak pernah menceritakanya pada siapapun.
“Ah, s-sudah baikan dok.” jawab ku dengan pelan
Dokter menjelaskan pada kami yang berada di ruangan kala itu, bahwa aku terkena infeksi usus. Penjelasanya sangat detail dan mudah dipahami bagi kami yang awam ini. Sesaat setelah dokter menjelaskan bahwa penyebab utamanya karena jajan sembarangan, ibu menoleh padaku. Tatapan ibu berbeda dengan tadi. Tatapannya berubah menjadi dingin dan kosong. Aku takut sekali, ini pertama kalinya ibu menatapku seperti itu. Aku menyadari bahwa ini bukan sesuatu yang bisa kuremehkan. Seketika kalimat ibu pada hari pertama aku berpisah dengannya terpampang jelas dalam benakku. Aku menyesal sekali.
***
Tanggal: 6 Desember 2023
Dear Diary,
Ini tulisan keduaku dalam ruangan asing ini. Setelah mendengar penjelasan dokter kemarin, ibu menyuruku untuk beristirahat. Ruangan yang dingin ini terasa semakin dingin. Ibu tidak mengucapkan sepatah katapun dari kemarin. Bagaimana ini?. Aku memberanikan diri membuka suara di tengah keheningan malam.
“I-ibu maaf, maafktan Terra bu. Terra salah karena tidak mengindahkan pesan ibu. Maafkan Terra bu”
Aku terisak pilu setelah melontarkan beberapa kalimat. Sungguh, durhakanya diriku pada ibu. Ayah datang menghampiriku dan mengusap kening kepalaku. Aku meminta maaf kepada ayah. Ibu tidak bergeming dibalik tira. Ini benar-benar kesalahan terbesarku pada ibu. Aku semakin terisak pilu. Namun, perlahan suara isak tangis terdengar dibalik tirai. Sejak tadi ibu menahan tangisnya. Segera aku melangkah dengan cepat sembari memapah infus yang tertancap ini, dan menghampiri ibu. Aku memeluk ibu, dengan mulut yang terus berucap maaf. Ayah yang melihat kami pun, segera masuk dalam pelukan hangat di tengah dinginya malam. Benar-benar kusadari, bahwa ibu melakukan ini semata-mata hanya demi kebaikanku. Tegasnya ibu hanya demi diriku. Sungguh naifnya diri ini.
“Ini benar-benar terakhir kalinya. Terra janji.”
***
Sampailah Terra pada halaman terakhir. Tangis yang awalnya ia tahan seketika membuncah. Sungguh, pelajaran berharga yang mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Itu adalah moment yang akan terus ia ukir dalam relung jiwanya. Terra mendekap buku usang itu lebih erat dengan wajah sendu dan berucap pelan…
“Terima kasih ibu, ayah atas segalanya. Terra akan selalu mengingatnya dan akan menjalani hidup lebih baik. Tenang saja.”
satu Respon
sukaaa ❤️