(21-1-14-7)
Oleh: Moh. Kurnia Dipraja *)
Pagi itu ruang guru masih lengang. Aku duduk sendiri setelah menyeruput teh hangat bekal dari rumah. Benakku berkelana, memikirkan beberapa peristiwa yang terjadi belakangan ini. Dua hari lalu, Nina kehilangan uang. Kemarin, orangtua Elsa melapor kalau handphone anaknya hilang. Duh … kepalaku mumet.
Masalah-masalah sensitif seperti ini memang harus cermat menanganinya. Salah langkah, bisa-bisa jadi bumerang. Jujur saja, hingga detik ini aku masih belum menemukan cara tepat untuk memecahkan kedua masalah ini.
“Pak, Elsa dan Nina berantem!” Teriakan Cindy membuyarkan lamunanku.
“Berantem?! Kenapa?” Aku bergegas menuju kelas VIII-H diikuti Cindy dengan raut wajah tegang. Seketika suasana sekolah menjadi heboh.
“Ada apa ini?” Kulihat Nina sedang dipegang oleh Santi dan Witha, begitupun Elsa yang dipegangi Anita dan Neli. Wajah mereka memerah, pertanda diliputi amarah.
“Dia yang nyuri uang aku, Pak!” teriak Nina sambil terus meronta.
“Jangan asal nuduh kamu!” balas Elsa tak kalah sengit.
“Sudah … sudah. Bawa mereka ke ruang guru!”
“Duduk! Kalian silakan keluar!” perintahku sesampainya di ruang guru.
“Baik, Pak.” Santi, Witha, Anita dan Neli pergi meninggalkan kami bertiga.
“Sebelum Bapak mulai, silakan tarik napas dalam-dalam lalu embuskan perlahan. Setelah itu ber-istighfar!” Mereka mengikuti apa yang kuperintahkan. Kubiarkan mereka menata emosinya.
“Ini minum dulu!” Aku menyodorkan dua gelas plastik air mineral. Mereka meneguknya beberapa kali.
“Baik, sudah siap menjawab pertanyaan Bapak?” tanyaku setelah melihat Elsa dan Nina mulai tenang. Mereka mengangguk.
“Ada apa ini?”
“Dia yang nyuri uang aku, Pak!” tegas Nina.
“Kamu dari tadi nuduh aku terus, kenapa sih?”
“Berbicara dengan emosi tidak akan menyelesaikan masalah, malah hanya akan menambah masalah. Tenang, ya!” Aku kembali menenangkan mereka yang mulai tersulut emosi lagi.
“Abis, dari tadi dia nuduh aku terus, Pak!”
“Kenapa kamu bisa menuduh Elsa, kamu punya bukti?” tanyaku pada Nina.
“Ini, Pak!” Nina mengacungkan selembar uang sepuluh ribu.
“Ini uang aku, Pak! Aku tadi pura-pura mau nuker uang ke dia dan dia keluarkan uang ini!” lanjut Nina.
“Dasar tukang fitnah, apa buktinya kalau itu uang kamu?!” cibir Elsa. Kuambil uang itu dan mengamatinya.
“Kamu punya bukti kalau itu uang kamu?” lanjutku heran.
“Ya!” jawab Nina mantap.
“Coba Bapak perhatikan, di pojok kanan bawah uang itu ada tulisan (21-1-14-7)!” jelas Nina.
Kuarahkan netra pada posisi sebagaimana disampaikan Nina. Benar, ada tulisan kecil angka-angka.
“Itu aku yang tulis, Pak!” sambung Nina.
“Bener-bener halu nih anak!” ucap Elsa sinis.
“Heh, aku dari kemarin sudah megang uang itu. Ibuku yang kasih!” lanjut Elsa sewot.
“Kamu yakin?” tanya Nina dengan sorot mata tajam.
“Iya, lah!”
“Aku punya bukti lain.”
Nina mengeluarkan ponsel dan memberikannya padaku. Dia memintaku untuk memutar sebuah rekaman video. Video kuputar. Layar ponsel menampilkan Nina yang sedang menulis sesuatu di selembar uang sepuluh ribu. Aku jeda videonya lalu memperbesar gambar untuk mencocokkan tulisan yang tertulis di uang itu dengan yang ada di video. Persis.
“Aku menulisnya tadi begitu sampai di kelas. Uang itu kuselipkan dalam plastik sampul buku catatan Bahasa Inggris dan kusimpan di atas meja. Aku keluar kelas. Lima menit kemudian, kulihat kamu masuk kelas. Kelas masih sepi, hanya ada kamu di sana. Aku lalu masuk dan nuker uang ke kamu, trus kamu mengeluarkan dua lembar sepuluh ribu dan salah satunya uang itu. Aku periksa buku catatanku, uangnya udah nggak ada. Jadi, mana mungkin uang itu ada di tangan kamu sejak kemarin?!” Nina berpanjang lebar. Aku periksa riwayat pengambilan video itu. Tanggal 19, pukul 06.23. Benar, itu hari ini!
Raut wajah Elsa berubah tegang. Dia tidak berkutik dengan bukti terakhir itu. Nina tersenyum menang.
“Ada yang mau disampaikan, Elsa?” sambungku. Elsa menunduk. Tubuhnya bergetar. Isak tangisnya mulai terdengar. Aku menghela napas panjang.
“Maaf, Pak,” ucap Elsa parau.
“Memang aku yang ngambil uang Nina,” sambung Elsa.
“Kamu juga yang mengambil uang seratus ribu aku dua hari yang lalu, ya?!” susul Nina. Elsa menangguk pelan. Aku tertegun. Tidak menyangka kalau Elsa pelakunya. Sebab, jika melihat latar belakang keluarganya, Elsa termasuk orang berada. Ayahnya seorang kontraktor, sementara ibunya pemilik salon kecantikan. Penghasilan mereka juga di atas dua digit per bulan. Sangat tidak mungkin jika Elsa melakukan ini hanya demi uang.
“Aku minta maaf, Nina. Aku akan ganti uang kamu,” ucap Elsa pelan.
“Tidak usah, aku ikhlas!”
“Bener?” tanyaku meyakinkan Nina.
“Bener, Pak.”
“Elsa minta maaf, mau kamu maafkan?”
“Iya, Pak.”
“Alhamdulillah.”
Elsa menyodorkan tangannya. Nina menjabatnya erat. Mereka pun saling memaafkan.
“Masalahnya sudah selesai, ya. Bapak harap kamu tidak mengulangi perbuatan ini, Elsa!” Elsa mengangguk.
“Kalau boleh tau, kenapa kamu ngambil uang Nina?” Elsa tidak segera menjawab. Dia coba mengatur napasnya. Sekilas dia melirik Nina, lalu menunduk lagi.
“Sengaja, Pak. Biar orangtuaku dipanggil ke sekolah!” jawab Elsa setelah hening beberapa saat.
“Lho, kenapa?” Aku terkejut. Nina mengernyitkan dahinya.
“Mereka selalu sibuk dengan pekerjaannya. Selalu pulang malam. Nyaris tidak ada waktu buatku. Aku anak tunggal. Aku kesepian di rumah. Makanya, aku cari perhatian dengan berbuat seperti ini.” Elsa berpanjang lebar. Aku termenung. ternyata benar, uang tidak bisa membeli kebahagiaan.
“Tapi bagaimana pun, apa yang telah kamu lakukan ini salah! Akan lebih baik jika kamu cari perhatian orangtuamu dengan torehan prestasi. Tentu, mereka akan bangga, ‘kan?”
“Iya Pak, maaf. Saya salah.”
“Baiklah, besok Bapak akan hubungi orangtua kamu untuk datang ke sekolah. Bapak akan bicara sama mereka.”
“Betul, Pak?”
“Ya.” Kulihat wajah Elsa mulai cerah.
“Terima kasih, Pak!”
“Sama-sama. Ya sudah, silakan kamu duluan ke kelas.”
“Baik, Pak.” Elsa keluar menuju kelas. Nina masih duduk di hadapanku.
“Sebentar, Nina. Bapak penasaran, kok kamu nulis angka-angka ini? Ini kode atau apa, sih?” tanyaku.
Nina tersenyum lalu menjawab, “Itu hanya urutan abjad, Pak. 21=U, 1=A, 14=N, 7=G. Kalau digabungkan, jadi kata UANG.”
Aku garuk-garuk kepala, tidak menyangka Nina punya ide jebakan seperti itu. Sama sekali tidak terpikirkan olehku.
“Kamu punya ide kayak gini, dari mana?”
“Hhmmm … maaf, Pak. Rahasia.” Nina nyengir.
“Ah, kamu. Ya sudah, silakan ke kelas.”
“Baik, Pak. Permisi.” Nina menyedekapkan tangannya lalu beranjak menuju kelas. Akhirnya, beres juga. Aku bisa bernapas lega sekarang.
Eh, sebentar, masalah uang Nina sudah selesai. Lantas, siapa yang ngambil handphone Elsa?
***
*) Penulis merupakan guru Bahasa Inggris di MTs. Darul Ihsan YUPPI Soreang, Kab. Bandung.
4 Responses
Cerpen ini sangat menarik dan penuh makna! Konflik yang diangkat sangat relevan dengan dunia remaja dan lingkungan sekolah, ditambah dengan penyelesaian yang edukatif serta menyentuh. Saya salut dengan karakter Nina yang cerdas dan tangguh, serta pesan moral yang diselipkan penulis tentang pentingnya perhatian orangtua terhadap anak. Penulisan alurnya juga rapi dan dialognya terasa hidup. Ending-nya bikin penasaran juga—jadi ingin tahu siapa pelaku kehilangan HP! Terima kasih sudah menulis karya sebaik ini, Pak!
Maa Syaa Allah, bagus sekali ceritanya, pak.
Semoga sukses dalam lombanya dan menginspirasi banyak orang.
Tulisan yang bagus untuk menambah literasi pembaca. Semangat untuk terus menulis Pak Kurnia. Semoga semesta membersamaimu.
Siapa ya, jadi penasaran,,
Ada lanjutannya kah?