Predikat pencandu ini mungkin tidak disukai. Tapi kita akan mengambil sisi positif, dari dunia yang kita kenal dari film dan berita sebagai dunia yang kelam dan mematikan: dunia narkotika. Karena seperti itulah seharusnya dunia literasi bekerja. Buku seharusnya seperti candu. Membaca seharusnya seperti memakai narkotika. Buku seharusnya menjadi barang adiktif. Membaca seharus menjadi kegiatan yang membuat siswa ketagihan. Tugas kita adalah mencekoki semua anak bangsa dengan buku dan memaksa mereka untuk membaca. Tugas kita adalah membuat mereka kecanduan bacaan. Setelah nikmatnya membaca mereka rasakan, para siswa akan melakukan segala cara untuk mendapatkan bacaan.
Negara memang harus berani memaksa. Bahkan, itu adalah tugasnya. Terutama bagi negara yang minat bacanya masih tergolong rendah seperti Indonesia. Negara harus berani berperan seperti bos kartel yang menaungi segala kegiatan produksi literasi dalam wilayah kekuasaan. Penerbit harus berani berperan sebagai bandar. Toko buku dan perpustakaan bermain seperti pengecer, yang terang-terangan menyalurkan candu-candu berupa buku. Kecanduan buku harus lebih semarak hingga masuk ke pelosok-pelosok desa, gang-gang sempit kota, bahkan pasar-pasar tradisional. Tugas negara adalah membuat orang lebih banyak membaca buku di kereta-kereta, angkot, dan bus umum, ketimbang penumpang yang menunduk menonton video-video media sosial pada ponsel mereka. Bahkan kita bisa membayangkan punggung-punggung para ojek online yang menjadi tatakan dari buku yang dibaca penumpangnya.
Selain penerbit, toko buku, dan perpustakaan, satu institusi yang bisa negara peralat untuk menciptakan kecanduan masal terhadap buku adalah sekolah. Lembaga Pendidikan adalah tempat yang paling bisa diharapkan untuk bisa membentuk kebiasaan, termasuk kecanduan membaca.
Perpustakaan yang kosong adalah aib. Itu yang harus ada di dalam benak para kepala sekolah. Baik kosong dari buku-buku berkualitas, terlebih lagi kosong dari siswa-siswa yang sedang membaca. Jam istirahat seharusnya menjadi rush our di perpustakaan sekolah. Tempat paling ramai berikutnya setelah kantin. Bahkan, tidak terlalu radikal sepertinya jika kantin dan perpustakaan menjadi satu kesatuan, sebut saja ‘perpustakantin’. Jangan takut kegiatan makan-minum berisiko membasahi buku-buku, karena basah buku yang ternodai bumbu batagor itu jauh lebih baik ketimbang bersihnya buku-buku karena tidak pernah disentuh siswanya.
Perpustakaan sekolah seharusnya menjadi tempat berkumpulnya para siswa yang tak tahan melanjutkan bacaan. Perpustakaan seharusnya tidak terlalu sunyi, karena kegiatan membaca juga wajar saja menimbulkan suara. Biarkan perpustakaan itu ramai namun khidmat. Riuh tapi syahdu. Khusyuk meski berisik. Di dalamnya duduk, atau berdiri, individu-individu yang menerapkan tafsir sempalan dari lagu Dewa, “Di dalam keramaian aku masih merasa sepi…”. Sendiri memikirkan buku. Di era ini pula, perpustakaan tidak harus terlalu mengusahakan keheningan, karena sudah ada headphone. Setiap orang bisa membaca tanpa terganggu dengan menggunakannya, bahkan diiringi lagu kesukaan.
Sekolah juga harus bisa mencetak manusia-manusia yang bisa membaca, tapi mahir membaca. Latih para siswa untuk bisa membaca dengan nada yang merupakan indikator kemampuan dalam memahami bacaan. Karena sungguh, kemampuan membaca siswa-siswa di Indonesia cukup memprihatinkan. Banyak kesaksian guru-guru tentang hal ini, bahwa siswa tingkat SMP, bahkan SMA, masih terbata-bata dalam membaca. Guru, dalam hal kemampuan membaca, utamanya Guru Bahasa Indonesia, memegang peran sangat penting. Guru harus tega menjadi pemecut siswa-siswanya untuk mahir membaca.
Guru, dengan salah satu maknanya sebagai sosok yang digugu dan ditiru, juga harus menunjukan tingginya tingkat literasi kepada para siswa dengan membaca. Tidak ada urusan dengan riya yang harus dihindari dengan menutup-nutupi sebuah ritual, guru harus berterus terang dan sengaja memamerkan kerajinannya dalam membaca. Tidak ada alasan untuk membuat kegiatan membaca harus ditutup-tutupi. Tunjukan dan bagikan kesan atas buku-buku yang kalian baca. Tunjukan dan rekomendasikan buku-buku yang kalian baca kepada siswa. Kalau perlu, berikan kesan bahwa guru selalu dekat dengan buku. Jadikan buku-buku umum sebagai pengantar bagi buku pelajaran yang akan kalian sampaikan. Tautkan satu buku dengan buku-buku lainnya. Buatlah satu buku fiksi berkolaborasi dengan buku non fiksi atau bahkan buku pelajaran. Buat dan libatkan diri kalian ke dalam forum yang khusus membahas sebuah buku, bahkan jika itu berupa pertanyaan, “Menurut kalian siapa pembunuhnya?” atas novel misteri yang disepakati. Jika memang jadi, gelar acara itu di perpustakantin tadi.
Pada level selanjutnya, tentu kita tahu bahwa membaca adalah juga bentuk usaha membuat bacaan. Habis membaca, terbitlah menulis. Karena itu pula usaha meregenerasi penulis-penulis berkualitas harus menjadi visi literasi di sekolah-sekolah. Visi yang mewujud dalam misi-misi yang diemban para guru, baik dengan menulis maupun mencetak para penulis usia dini. Sekolah harus punya sumber daya dalam memenuhi usaha ini. Jika tidak cukup dengan guru-guru internal, datangkan penulis-penulis, editor-editor, yang dengannya akan memicu para siswa untuk punya hobi menulis. Menulis harus jadi isi dari kolom hobi para siswa, karena dengannya mereka pun akan hobi membaca.
Latih para siswa untuk membuat cerita pendek, cerita bersambung, kemudian novel, agar mereka tidak tegang ketika harus menulis jurnal-jurnal ilmiah atau skripsi di tingkat pendidikan yang lebih tinggi nanti. Karena bagaimanapun bentuknya, kemampuan teknis menulis akan terpakai dalam berbagai bidang kehidupan. Arahkan para siswa untuk mengikuti lomba menulis, baik fiksi maupun non fiksi. Kawal perkembangan menulis mereka, karena dalam prosesnya mereka akan senantiasa membaca.
Jangan lupa, sebagai pribadi yang digugu dan ditiru, para guru pun harus berusaha menunjukan karya tulisnya. Jangan terlalu membebani diri dengan terbit secara masif melalui penerbit, karena di zaman ini kita bisa mencetak buku dengan jumlah sedikit. Satu, dua, tiga eksemplar sudah bisa membuat guru memiliki karya tulis yang akan menjadi bahan bacaan para siswanya. Tentu tanpa harus berhenti berusaha membuat naskahnya diterima oleh penerbit agar bisa dibaca oleh lebih banyak siswa.