Di Tengah Semua Keterbatasan, Kuperjuangkan Impianku menjadi Guru
Karya: Ahmad Hasyim, S.Pd.
Pagi ini ketika aku menatap layar notebook di hadapanku. Aku sedang di dalam kelas. Memerhatikan anak-anak yang berdiskusi menyelesaikan tugas pemberianku. Kemudian aku teringat bahwa aku memiliki sebuah pesan tentang info lomba penulisan cerita khusus laki-laki ini dari salah seorang kawan “gilaku”. Aku langsung membukanya, dan mulai kembali mengingat-ingat cerita milikku.
Cerita ini mungkin tidak seberapa bagi beberapa orang atau bahkan bagi orang manapun, tapi bagiku cerita ini adalah cerita yang menjadi pengingat siapa aku dan pemacu untuk jadi apa aku. Aku anak perempuan dari sepasang suami istri yang hidupnya hanya sekadar cukup untuk makan, membayar tagihan-tagihan kontrakan rumah, air, dan listrik.
Aku lahir dan di besarkan di kota indramayu. kota yang di dalamnya teramat sangat tentram dan damai. Ya, aku ada pada bagian itu. Di sekolah dasar, masih biasa saja. Aku anak kecil yang bahagia, diantar sekolah mengendarai sepeda berwarna biru dengan wanita tercintaku. Hanya pada saat menginjak kelas 6 aku mulai membantu Mama untuk berjualan buah nangka. Aku membawanya ke sekolah dan pada teman-temanku yang tentu saja hasil untungnya ( jika ada ) menjadi milikku. Masa SMP ku biasa saja, tidak ada yang ingin ku ceritakan. Aku tak punya apa-apa di sana, hanya sekadar menjalaninya saja.
Masa-masa SMA milikku adalah masa yang jika orang lain ingin sekali mengulangnya, aku tidak ingin mengulanginya. Sama sekali tidak ingin. Bukan aku sombong, hanya saja memang rasanya terlalu sulit. tapi jelas, aku mampu melaluinya. Setelah lulus SMP kedua orang tuaku tak lagi sanggup menanggup hidup di kota yang banyak sekali tagihannya, karena memang sejak aku SMP kelas 2, bapak di PHK dari pabrik tempatnya bekerja dan tidak lama dari itu pabrik tempat mama bekerja juga bangkrut. Mau tidak mau, orang tuaku memutuskan kembali ke kampung halaman di salah satu desa Kabupaten Indramayu. Awalnya aku tak ingin pergi kesana, karena menurutku ilmu yang aku dapat disana akan sedikit berbeda dengan ilmu yang akan aku peroleh jika di perkotaan, maka aku memilih tinggal bersama saudaraku di krangkeng.
Aku sudah kesana kemari dengan usahaku sendiri mencari tempat sekolah, sampai akhirnya aku diterima di salah satu sekolah favorit dengan standar internasional di jakarta. Tepat ketika keesokan harinya adalah hari pertama masa orientasi, bapak datang ke jakarta untuk menjemputku, karena kata beliau tidak sanggup membiayai uang masuk dan segala keperluanku. Ya memang, untuk pertama saja sudah membutuhkan Rp7 juta. Uang dari mana? Dengan sangat terpaksa karena tak tega melihat Bapak, aku pergi dengan pikiran-pikiran, “Aku kehilangan mimpiku, aku harus bagaimana?” Selama seminggu pertama kepindahanku di Indramayu, aku sudah langsung masuk di salah satu MAN 1 Cirebon tempat saudara bekerja. Lokasinya, benar-benar jauh dari keramaian. Bahkan bisa di bilang sekolah itu ada di antara Pasar yang bahkan jaringan telepon saja tidak sampai ke sana. Aku tak berbicara dengan kedua orang tuaku selama seminggu itu, karena pikiran dan hatiku memang belum bisa menerima kondisinya. Tapi semakin hari aku semakin belajar memahami mungkin ini yang terbaik dan menjalani hariku semampuku tanpa punya apa-apa di kepalaku.
Bukan hanya kehilangan mimpi dan harapan, aku juga harus bekerja membuat anyaman bakul atau bahasa daerah sekitar untuk mendapatkan uang yang sedikit yang tentu saja digunakan untuk ongkos berangkat ke sekolah. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 7 km menggunakan angkutan desa dengan membayar Rp 1000 untuk sekali perjalanan. Dua kali perjalanan berarti Rp 2000. Sebesar itulah yang di berikan Mama untukku setiap harinya. Hanya cukup untuk ongkos pulang dan pergi, terkadang saudaraku memberi tumpangan jadi aku memiliki uang ongkos yang tidak digunakan, dari situlah uangnya aku pakai jika ada keperluan fotokopi dan semacamnya.
Jika tidak sedang beruntung, berarti saat pulang sekolah aku harus berjalan kaki. Ya, 7 km dengan berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Seperti itu selama 3 tahun, dan aku berhasil melaluinya dengan segala kelemahan. Aku keluar dari MAN 1 Cirebon dan mulai kembali merangkai mimpiku, cita-citaku tidak berubah. Menjadi seorang guru, guru apapun itu.