Guru Honorer – Cerpen Malihatun Nikmah, S.Pd.

puisi guru

Guru Honorer
Karya: Malihatun Nikmah, S.Pd.


Meski honornya hanya tiga ratus ribu, tak menyusutkan niatnya untuk datang pagi-pagi ke sekolah. Melawan cuaca, berpura-pura menutupi kedinginan dengan tubuh gemetar, dan menempuh jalan beraspal rusak parah yang siap kapan saja terjatuh menimbulkan luka dan lebam ditubuhnya.

Setelah tiba di sekolah, banyak siswa berseragam sekolah merah putih menyambut kedatangannya dengan gembira berebut tangannya untuk dicium. Ia senang melihat anak didiknya. Mulutnya tak henti merapal do’a, setidaknya menjadi obat batin baginya.

Sedang di pemandangan lain ada beberapa siswa yang ogah mencium tangannya. Ada yang main kejar-kejaran sembari teriak-teriak, dan melempar bola kasti seakan tidak peduli Nikmah melintas walaupun mata mereka melihat.

Sebelum bel berbunyi Nikmah duduk di Ruang Guru dengan keringat yang masih bercucuran sembari mengipas-ngipas wajahnya yang mengkilap. Ia bersyukur masih bisa mengabdikan ilmunya di samping kebijakan pemerintah yang berubah-ubah, yakni tidak akan menerima tenaga guru honorer.

Disamping banyak teman seangkatannya di fakultas penddikan yang lebih memilih bekerja lain, karna lebih menguntungkan. Nikmah memilih menjadi guru. Ia juga banyak menerima tawaran pekerjaan dari beberapa teman, yang gajinya jauh lebih banyak dan setimpal. Disamping ada dari mereka yang lulusan pendidikan namun tak memilih menjadi guru.

Sesuai perintah agama, baginya ilmu yang dimiliki harus di salurkan, sebagai pertanggung jawaban kelak di akhirat. Karna selama ini dirinya menempuh sarjana di fakultas pedidikan tidaklah mudah. Dengan kondisi keluarganya yang menengah kebawah, ia berhasil mendapat beasiswa Sarjana dengan susah payah.

“Nikmah, dengar baik-baik. Menjadi guru itu bukan cita-cita. Di masa sekarang tidak ada yang ingin menjadi guru. Semua guru menjadi guru itu terpaksa, karena mereka itu gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak menganggur saja. Ngampain jadi guru, mau mati berdiri ? kamu orang hebat, kamu bukan orang gagal. Berhentilah jadi guru” ujar temannya.

“Tapi saya senang dan menikmati jadi guru”

Temannya menarik nafas dalam-dalam karna kecewa, lalu pergi begutu saja.

Bel berbunyi, para siswa berhamburan masuk kelas masing-masing. Siswa masuk kelas dengan langkah lontang-lanting, tergesa-gesa mengunyah makanan di mulut untuk segera dihabiskan. Tidak terasa sudah tiga tahunan mengajar di sekolah ini. Tidak peduli adanya ketidakseimbangan seperti jalan buruk, gaji seadanya, dan banyaknya siswa yang nakal. Namun dirinya selalu memandang haru semua anak didiknya yang masih polos itu. Niatnya hanya ingin mencerdaskan siswa dan merubah prilaku mereka yang berahklak mulia.

Pagi ini Nikmah mengajar di kelas lima pelajaran Bahasa Indonesia. Di kelas ia mendapati siswa yang beragam, mulai yang duduk tenang meperhatikan penjelasannya, saling berbicara sendiri, berbisik-bisik, mengantuk, menggerakkan bangku hingga mengeluarkan bunyi yang bising, dan bahkan ada yang mencibir penjelasan Nikmah dengan mengikuti perkataannya.

Nikmah menegurnya dengan halus. Mereka pun tenang sejenak. Tidak sampai sepuluh menit, mereka gaduh kembali. Suasana kelas seperti pasar. Ia kembali menenangkan. Ramai lagi, begitu seterusnya berulang-ulang.

“Coba perhatikan ibu dulu senbentar, biar kalian mengerti dan nanti setelah ujian tidak kebingungan. Kalian ingin naik kelas dan mendapat nilai yang bagus, bukan ?” Nikmah kembali mengkondusifkan suasana, dengan suara lebih nyaring dan melangkah di tengah-tengah siswa.

“Saya tidak mau niai bagus, Bu!” pekik salah saru siswa. Yang membuat para siswa saling bersahutan.

“Saya juga, Bu.”

“Biar nilai saya buruk, tidak apa-apa.”

“Ia, naktik juga pasti naik kelas”

‘Tidak naik kelas pun tidak apa-apa”

“Hahaha” suasana kelas mendadak ramai.

Nikmah mulai tersulut emosi, memandangi siswanya satu-persatu. Ia berusaha meredam emosi di dadanya sembari menggelengkan kepala dan beristigfar.

Nikmah mengelus dadanya. Meredam emosi agar ketulusan menjadi guru tetap muncul dihatinya. Ia merasa prihatin pada siswa yang tunduk dan juga selalu berdo’a agar siswa yang nakal segera insaf.

Pelajaran terus berlansung. Kegaduhan juga terus berlanjut, kadang ada yang diam-diam melemparinya dengan gumpalan kertas. Namun, Nikmah tetap tulus dan berusaha menenangkan serta memberi kesadaran terhadap siswanya yang nakal tersebut, meski tak jarang ketika usai mengajar kembali ke Ruang Guru dalam keadaan pusing.

Ketika bercengkrama dengan para rekan guru, dan saling bertukar cerita prihal kejadian-kejadian di kelas. Hal itu menjadi hal biasa yang di alami oleh para guru. Ada banyak masukan yang ia terima, mulai lebih keras, tegas, dan jangan segan memberi hukuman untuk siswa yang nakalnya keterluan.

Namun, ada salah satu masukan yang meneguhkan hatinya. Pak Zainuddin, ia guru paling senior yang sebentar lagi hampir pensiun. Secara langsung ia mendatangi meja Nikmah. Yang membuat Nikmah tak enak hati terhadapnya.

“Dik, tetaplah menjadi guru yang seperti itu, guru yang seperti engkau ini yang akan kelak terus di ingat oleh para siswa” ujar Pak Zai, bicaranya tenang, meyakinkan dengan suara yang agak serak di usianya yang menginjak 60 tahun.

“Maksudnya Pak ?”

“Ia dik, guru galak dengan penuh hukuman itu tak menyenangkan siswa”

Pak Zai menambahkan “Rasakan pengalaman-pengalaman manisnya siswa di luar sekolah dan kelak ketika mereka sudah lulus, yang nakal itu yang paling mengesankan dan paaaaling manis” dengan sepotong senyum ia pergi begitu saja dan membuat Nikmah bingung. Perkataan itu berlalu begitu saja, yang ia tahu sebagai guru ia banyak bersabar dan belajar.

Usai mengajar, Nikmah berjualan. Ia menjajakan kue-kue yang telah dibuat oleh keluarganya. Ia berjualan ke rumah-rumah dan pasar. Nikmah berjalan gontai, menyunggi nampan berisi kue-kue basah dan memikul keranjang yang bertumpu di pinggangnya, sembari berteriak “kue..kue..kue..kuenya buk”. Ia sering menguap, matanya suram dan berair. Nikmah tampak lelah dan lesu usai mengajar, belum lagi tadi malam ia tidur sampai larut malam karna harus menyelesaikan perangkat mengajar dan menyelesaikan penilaian ulangan semester genap.

Masih banyak kue yang harus ia jual. Karna capai ia beristirahat di gardu. Datanglah tiga pembeli yang masih teman Nikmah semasa sekolah.

“Nikmah kamu jadi guru pasti karna kamu terpengaruh oleh puji-pujian”

“Mentang-mentang banyak yang bilang, guru pahlawan tanpa tanda jasa. Ahh itu bohong semua! Apa kamu tidak baca berita, banyak guru-guru yang berprilaku tidak sepantasnya”

“Banyak meraka memuji guru setinggi langit karna yakin banyak guru seperti kamu sudah puas akan pujian, dipuji sedikit saja sudah banting tulang jadi guru. Penguasa saja tak pernah memberi gaji setimpal, akhirnya kamu begini kan jadi penjual gorengan sebagai sampingan”.

Nikmah tetap diam tak menjawab. Nikmah melayani pembelian mereka. Setelahnya mereka pergi. Nikmah hanya bisa mengelus dadanya, dan banyak berdo’a. Ia baru sadar betapa banyaknya tantangan yang harus dihadapi guru-guru di masa dirinya bersekolah dahulu, hingga harus menyiapkan dada yang lebih kuat melebihi beton. Tak terasa air matanya menetes.

Siang ini begitu terik, matahari nyaris bersinar begitu panasnya. Ia berjalan kembali, berpindah ke gubuk di tepi kebun, sembari menikmati sejuknya angin. Melintaslah lima anak didiknya. Yang kebetulan sedang menempuh perjalanan dari kolam pemancingan. Wajah Nikmah sumringah melihat mereka. Ketiganya menghampiri Nikmah dengan langkah penuh takzim. Nikmah tahu mereka termasuk siswa paling nakal di kelas.

“Ibu ada disini?” tanya seorang dari mereka.

“Ia, Ibu disini. Sedang istrahat sejenak, sebelum melanjutkan untuk kembali berjualan” Jawab Nikmah.

“Jadi sepulang mengajar Ibu jualan”

“Ia”

Kelima siswanya saling pandang, seolah tidak percaya melihat gurunya harus berjualan seperti itu.

“Ibu kan guru”

“Ia betul, ibu ini seorang guru. Memangnya kenapa kalau guru jualan?”

Kelimanya tidak menjawab, mereka terus saling pandang kembali sembari mencium tangan Nikmah. Nikmah merasa aneh saja, mengapa mereka di luar kelas begitu takzim kepadanya dan sangat berbeda jika berada di dalam kelas. Sebenarnya mereka tidak benar-benar tuli di kelas, ia berkali-kali menjelaskan tentang tatakrama kepada guru walau tidak pernah diperhatikan, namun mereka bisa melakukan perintahnya. Ia tersenyum, baginya anak SD polos dan menggemaskan. Mungkin ini yang di maksud Pak Zainuddin kepadanya beberapa hari lalu.

Sembari meninggalkan Nikmah, kelima siswanya bercakap-cakap yang masih di dengar Nikmah dari kejauhan. Walau suaranya kecil, namun Nikmah masih mendengar jelas.

“Kasihan Bu Nikmah, padahal ibu sangat sabar dan telaten pada kita”

“Makanya kalau kasihan, hargai dia saat menjelaskan pelajaran, jangan asyik bicara”

“Eh, siapa yang bicara, bukan aku kok”

“Kamu yang lempar-lempar gumpalan kertas kenak tuh, ke Bu Nikmah”

“Hey itu tidak sengaja ya, aku mau lempar ke kamu, tapi kenak Bu Nikmah, kan kamu yang duluan lempar ke aku”

“Ya tetap aja kamu yang melempar”

“Dari pada kamu dulu yang hujan-hujan, Bu Nikmah kepeleset malah tertawa. Bukan ditolongin”

“Itu sudah banyak yang nolongin”

Mendengar percakapan anak didiknya, Nikmah tersenyum matanya berkaca-kaca. Dari percakapan siswanya ia menyimpulkan bahwa siswa adalah miliknya dan sangat berharga.

Terbesit juga di pikirannya benar yang dikatakan para dosen sewaktu ia kuliah dulu. Kenakalan siswanya itu adalah kenakalan dirinya di masa lalu. Sembari tertawa kecil Nikmah mengingat masa kecilnya dulu.

Pagi yang lembut. Matahari bersinar cerah. Hari ini bertepatan Hari Guru Nasional pada Sabtu, 25 November 2023, pelaksanaan upacara hari guru pun dilangsungkan pagi ini. Usai upacara, banyak dari siswa yang memberikan sesuatu berupa bunga, hadiah-hadiah, kue tar, dan ucapan-ucapan kepada masing-masing guru kelas mereka. Nikmah juga menerima beberapa bunga.

Di lain waktu, sebelum masuk kelas, sejenak ia berdiri di depan cermin. Merapikan baju batiknya yang lusuh dan kerudungnya yang penyok akibat deru angin di sepanjang perjalanan menuju sekolah. Lalu meraih buku dan sepidol, menuju kelas dengan mengucap basmalah.

Berbeda dengan guru yang statusnya sudah menjadi ASN; aparatur sipil negara. Hidup mereka sudah terjamin, dari mulai sepatu, tas, dan baju batiknya mengkilat jika dilihat terkesan mahal. Wajah-wajah mereka diliputi senyum sentosa.

Nikmah melangkahkan kakinya melewati beberapa kelas. Dari kelas-kelas yang ia lewati ada yang sudah menerima pelajaran dari guru sesuai jadwal, sebagian lagi siswa yang masih di luar kelas karna guru belum masuk kelas.
Di kelas lima yang ia tuju, ia merasa berbeda, tepat di luar kelas lima tidak ada siswa sama sekali. Apakah sudah masuk kelas dibenaknya ?, walau bel sudah berbunyi, namun ia tahu sekali kalau siswanya belum disiplin, biasanya mereka akan masuk bila dirinya sudah masuk dan tetap akan di luar kelas bila guru belum datang.

Nikmah melangkahkan kakinya cepat-cepat. Ia melihat ada kepala yang nongol dibalik jendela seperti sedang mengintip. Merasa dilihat olehnya, kepala yang nongol tadi segera masuk kembali. Nikmah tersenyum melihat tingkah siswanya.

Ketika membuka pintu ia kaget karna tidak ada siswa sama sekali. Ia terdiam sejenak. Tiba-tiba dibalik pintu muncul dua siswa yang melemparinya bunga-bunga kecil berbarengan munculnya siswa dan siswi dari kolong bangku dan menaburinya kertas yang di potong kecil-kecil.

“Kejutaaaaan!!!!! Selamat hari guru bu Nikmaaaaaah”

Tak henti-hentinya mereka menghujami Nikmah dengan taburan bunga-bunga dan sepihan ketas sembari berteriak, bersorak-sorai, dan tepuk tangan. Siswa jingkrak-jingkrak, lompat-lompat kegirangan. Kelas mendadak ramai gembira bercampur haru. Padahal hari guru telah lewat dua minggu yang lalu.

Nikmah tergopoh-gopoh sembari menyibak wajahnya dari bunga-bunga dan serpihan kertas menuju meja guru. Tak terasa air matanya menetes, karna tak ingin anak didiknya melihat air matanya ia menundukkan kepala secepat mungkin menghapus air matanya. Ia begitu terharu apa yang dilakukan anak didiknya.

Nikmah berdiri mendatangi anak didiknya satu persatu mencium dahi dan mencubit kedua pipi mereka dengan gemas penuh kasih sayang.

“Makasih banyak nak ya” ucap Nikmah kepada satu persatu siswanya. dengan mata yang masih sembab. “Kalian habat, kalian sukses, kalian luar biasa” imbuhnya.

Tak henti dari itu, satu-persatu siswa memberi kado yang dikeluarkan dari tas mereka masing-masing dan memberikan pada Nikmah.

“Ibu jangan capek ya, ngajarin kita”

“Aku mau dengerin ibu kalau lagi menejelaskan”

“Saya gak akan nakal lagi Bu”

“Saya janji akan ngerjakan PR”

Pelajaran tetap berlangsung, kali ini dalam suasana yang sangat berbeda. Anak-anak mendadak tenang, semua mata siswa tertuju pada Nikmah. Ada senyum yang masih menempel di wajah mereka. Nikmah menjadi salah tingkah karna di perhatikan sebegitunya oleh semua siswa-siswinya di kelas.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *