Guru, Muara Kasih
Karya: Vicky Taniady
Ini adalah bulan kelimanya − secara ofisial sebagai pengangguran setelah dinyatakan lulus cumlaude dari salah satu perguruan tinggi terbaik di kotanya. Rasanya, saat kudengar ceritanya kepadaku beberapa bulan lalu, beban pikirannya semakin berkecamuk di kepala dan siap membuncah seketika. Terlebih, di tengah tekanan dari orang tuanya yang masih saja belum legowo menerima pilihan hidup sebagai sarjana pendidikan yang katanya tak ada masa depan dan harapan. Orang tuanya masih saja bersikukuh agar dia mau bekerja di perusahaan seperti kakak-kakaknya yang saat ini dimanjakan dengan rupiah demi rupiah yang menggunung. Ambisinya untuk menjadi seorang guru memang patut diacungi jempol meskipun dia harus menelan pil pahit bahwa informasi rekrutmen CPNS alias Calon Pegawai Negeri Sipil yang diharapkan menjadi angin segar tak kunjung menunjukkan titik terang.
Lima bulan ini memang menjadi bulan terberat dalam hidupnya. Tuntutan orang tua yang terus menghantui, ketidakjelasan informasi CPNS, dan beban titel lulusan terbaik yang melekat di pundaknya seakan menjadi ajang pembuktian keabsahan jalan hidupnya. Meskipun, menurutku, tidak ada yang salah dengan pilihannya untuk dapat menjadi guru dan lagi pula, mengapa orang-orang terlalu mempertanyakan seorang lulusan terbaik yang tak kunjung mendapatkan pekerjaan (impiannya) dengan secepat kilat? Mengapa pula pekerjaan dan mimpi ini selalu dimonetisasi dengan rupiah? Aku juga masih heran. Padahal, dua tahun terakhir ini, aku pun bahagia dengan pekerjaanku sebagai guru honorer di SD Negeri 1 Muara Kasih. Ya, aku adalah Rizal, kakak tingkat sekaligus mentor bagi Adit, sosok ambisius yang sedari tadi kuceritakan kisahnya.
“Dit, ada loker (lowongan kerja) jadi guru, nih!” pesanku terkirim pada Adit.
“Wah, asli, Kang? Di mana? Boleh kirim informasi lengkapnya?” balasnya.
“Hmm… Di sekolah akang, sih.. Tahu, kan? Tapi, memangnya kamu mau?” jawabku ragu.
“Wow, satu sekolah dengan mentorku! Mau, Kang! Apa yang harus kusiapkan?” tanya Adit dengan antusias.
“Mental, Dit,” jawabku lagi.
“Hah? Kok, mental, Kang? Seperti mau mengajar anak hantu saja! Hehe …” tanya Adit dengan penasaran.
“Memangnya, kamu siap mengajar fulltime dengan upah yang tak seberapa? Honorer ini, loh, Dit …” tegasku.
“Kang Rizal seperti yang tidak kenal saya saja. Saya kan memang ingin jadi guru. Daripada saya keburu kakek-kakek menunggu info CPNS, mending kerja dulu, kan, Kang? Lagi pula menjadi guru adalah cita-citaku. Ini bukan tentang uang tapi tentang pengabdian, bukan begitu, kan, Kang?” Adit memastikan.
“Apa orang tuamu tidak masalah kamu jadi masalah? Diomelin, gak nanti? Kalau kamu benar-benar siap dengan konsekuensinya, hari Senin pagi, pukul tujuh, kamu datang ke sekolah dan bawalah lamaran kerja, fotokopi ijazah, dan transkrip nilaimu yang fantastis itu. Tapi, pikirkan dulu masak-masak, ya, supaya tidak salah langkah,” balasku sembari meyakinkannya kembali.
“Siap, Kang! Nuhun,” jawabnya singkat, padat, dan jelas.
—
Adit memang masih seperti yang kukenal sejak zaman kaderisasi di kampus dulu. Ambisinya besar, jiwa pendidiknya begitu berkobar, apalagi jika berbicara tentang dedikasi, tidak diragukan lagi. Kami memang satu almamater di program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dan sebagai mahasiswa laki-laki, keberadaan kami memang sangatlah langka. Maklum, program studi ini memang lebih banyak diminati oleh para perempuan. Hal inilah yang akhirnya membuat kami lebih akrab karena selain jumlah laki-laki yang tidak lebih dari sepuluh persen tiap angkatannya, Aku dan Adit juga sama-sama ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) di program studi PGSD ini, hanya saja selang dua periode, aku di tahun 2019 dan Adit di tahun 2021. Akademiknya sangat baik, kepemimpinannya juga tidak diragukan, dan prestasinya membuat curriculum vitae yang dimilikinya pun berlembar-lembar sehingga pantas saja jika orang tua dan rekan-rekan satu angkatannya menaruh ekspektasi yang (terlalu) tinggi.
Pagi itu, pukul 06.28 WIB, ketika aku sedang memarkirkan motorku, aku melihat Adit sudah bertengger di depan ruang kepala sekolah, lengkap dengan pakaian batik rapi, celana bahan, sepatu pantofel, dan lengkap dengan map biru di genggaman tangannya. Ternyata, Adit ini benar-benar nekat mendobrak keraguanku. Kusapa dia karena dua bulan terakhir ini kami hanya bertegur sapa hanya via Whatsapp sehingga rasanya seperti sudah lama tidak berjumpa. Kulihat tiga siswa, Teguh, Amir, dan Yudi berlari ke arahku, entah apa tujuannya. Maklum, aku adalah wali kelas 4 dan hari ini, mereka debut menjadi petugas upacara menjadi pengibar bendera dan sepertinya ingin meminta tolong padaku. Mata Adit tampak berbinar melihatku disambut hangat oleh ketiga siswa ini, bak anak kembar yang berlari menyambut ayahnya yang baru pulang dinas.
“Wih, beda ya kalau guru favorit mah. Sehat, Kang?” sapa Adit sambil menjulurkan tangannya.
“Sehat, Dit. Kamu bagaimana? Ini mah biasa, anak kelas demam panggung sepertinya. Mereka bertugas jadi pengibar bendera, Dit,” jawabku.
“Sehat juga, Kang. Wih, keren! Anaknya Pak Rizal mah pasti keren!” sambung Adit mencoba memberikan semangat kepada para siswa.
“Bapakkkkk… Ini gimana dasi aku, nyengsol (miring)…” sambar Amir kepadaku.
“Pak, aku lupa gerakannya pas mau belok ke tiang bendera. Gimana, ya?” lanjut Yudi.
“Aku mah sudah siap, Pak!” Teguh melapor.
“Iya, tunggu sebentar, ya! Bapak simpan tas dulu, napas dulu,” jawabku sembari menarik napas panjang.
“Oh, sini-sini, Bapak bantu pasang dasinya,” kata Adit kepada Amir sembari mencoba merapikan dasinya yang miring tadi.
“Eh, bilang apa sama Pak Adit?” tanyaku kepada Amir.
“Makasih, Pak…” jawab Amir dengan tatapan bingung karena melihat Adit yang cekatan membantunya memasangkan dasi.
“Teguh, kamu bantu Yudi hafalkan gerakannya dulu di lapang! Nanti bapak menyusul ke sana dan ajak sekalian Amir kalau sudah rapi,” suruhku kepada Teguh.
Seusai membantu Amir merapikan dasinya, aku lantas mengajak Adit masuk ke ruang guru. Para guru yang didominasi oleh ibu-ibu ini tampak tersenyum dan menyambut hangat kedatangan Adit. Sesekali Adit tampak salah tingkah karena diajak bercanda oleh guru-guru tersebut yang memang humoris dan sangat ramah. Aku meminta Adit untuk menunggu sebentar di ruang guru selagi aku menyiapkan para siswa yang mulai panik karena sesaat lagi upacara akan segera dimulai. Kubiarkan dia bercengkrama dengan para senior-seniornya yang akan segera menjadi rekan kerjanya beberapa waktu ke depan. Sebenarnya, dari raut wajahnya, Adit ingin ikut aku saja ke lapangan karena sepertinya ia merasa grogi bertemu dengan para guru. Maklum saja, meskipun dia sangat ambisius dan dapat diandalkan, sisi pemalunya tetap saja ada. Tak lama, Adit mengikuti guru-guru lainnya yang tengah sibuk mengarahkan siswa-siswinya bergegas menuju lapangan untuk mengikuti upacara.
Tanpa instruksi dan aba-aba, Adit tampak mencoba untuk memosisikan diri menjadi calon guru yang baik. Satu demi satu siswa, dia bariskan simetris bak pasukan paskibra. Aku sengaja mengajaknya untuk mengikuti upacara terlebih dahulu sebelum bertemu kepala sekolah agar aku tahu seberapa yakin dia dengan pilihannya. Apakah daya adaptasinya sebergelora ambisinya untuk menjadi seorang guru atau tidak. Upacara pun dimulai. Para siswa mengikuti tiap-tiap tahapan upacara dengan antusias dan khidmat mulai dari pengibaran bendera Sang Merah Putih, mengheningkan cipta, pembacaan Undang Undang Dasar 1945, hingga akhirnya kepala sekolah menyampaikan amanat. Bu Indri, kepala sekolah kami, dengan hangat menyambut kehadiran Adit yang saat itu baris di bagian belakang barisan kelas 3 bersama Bu Nuri, guru seni budaya yang sedari di ruang guru tadi membersamai Adit.
“Dewan guru yang ibu hormati dan anak-anakku yang ibu cintai, dalam kesempatan kali ini, ibu akan mengenalkan satu guru baru yang akan bergabung dengan kita dan menjadi wali kelas pengganti untuk kelas empat,” tutur Bu Indri dengan nada menahan haru.
Seluruh siswa, terutama siswa kelas empat pun langsung saling menatap dan terheran. Beberapa dari mereka refleks langsung menahan air mata karena sadar bahwa guru yang Bu Indri maksud adalah Pak Rizal, wali kelas mereka. Adit tampak terkejut dan penuh tanda tanya dalam benaknya serta langsung menatap Rizal yang ada di seberang barisannya, di samping belakang dari Bu Indri.
“Ibu berharap kalian bisa menyambut baik Pak Adit, sama halnya kalian akrab dengan Pak Rizal, ya?” lanjut Bu Indri dalam amanatnya.
“Pak Rizal mau kemana, Bu?” celetuk salah satu anak dalam barisan sambal mengusap air matanya.
“Pak Rizal akan melanjutkan studi ke Jakarta untuk kita semua. Jangan kuatir, cepat atau lambat, Pak Rizal akan kembali bergabung dengan kita lagi, seusai berjuang dengan pendidikannya sama seperti kalian. Bukan begitu, Pak Rizal?” pungkas Bu Indri.
Rizal hanya bisa mengangguk lalu menundukkan kepalanya agar tidak terlihat menahan tangis yang segera pecah di pelupuk mata. Melihat Rizal yang demikian, satu per satu anak-anak mulai terdengar menangis. Beberapa anak tampak saling menatap dan beberapa tampak menoleh ke arah Adit yang ada di belakang mereka. Seusai upacara, para siswa terutama kelas empat segera berlari kepada Rizal sedangkan Adit diajak oleh Bu Indri menuju ruangannya dengan perasaan yang campur aduk. Satu sisi dia masih kebingungan namun sisi lain hatinya mulai ragu karena seolah-oleh keberadaannya tidak lebih diharapkan daripada Rizal dengan melihat bagaimana para siswa tampak begitu mencintai Rizal, salah satu guru yang memang favorit di sekolah itu.
Sesampainya di ruangan kepala sekolah, Bu Indri menyilakan Adit untuk duduk dan meminta Bu Nonik membuatkan segelas teh hangat untuk dinikmati di tengah langit yang mulai meneteskan hujan menyusul air mata para siswa yang begitu deras. Sambil mencoba menenangkan Adit yang tampak gugup, Bu Indri mencoba mengalihkan perhatian Adit dengan menanyakan satu per satu prestasi yang tertera dalam curriculum vitae yang bahkan masih ada di map yang digenggam Adit.
“Mohon izin, Bu. Bagaimana Ibu bisa tahu prestasi saya, Bu?” tanya Adit yang terheran.
“Pak Rizal sudah menceritakan semuanya tentang Anda, Pak. Prestasi Anda, rekam jejak Anda, bahkan semangat untuk menjadi seorang tenaga pendidik yang begitu berkobar dalam diri Anda pun sudah diceritakan oleh Pak Rizal, loh,” jawab Bu Indri. Adit mengernyitkan dahinya.
“Kami, saya dan Pak Rizal menilai bahwa Pak Adit akan sangat cocok untuk menggantikan Pak Rizal yang akan mulai melanjutkan kuliah di awal semester genap ini,” lanjut Bu Indri.
“Jadi, lowongan kerja yang Pak Rizal tawarkan rupanya untuk menjadi pengganti beliau, Bu?” tanya Adit. Bu Indri tersenyum dan mengangguk.
“Tenang, Dit. Eh, Pak Adit… Saya bisa menjamin Pak Adit akan betah di sini dan lagi pula para siswa di sekolah ini memerlukan tangan dingin Bapak untuk mencetak prestasi yang gemilang, sama seperti Bapak,” sahut Rizal yang muncul dari pintu, tepat di belakang Adit. Adit hanya menatap Rizal. Tak terucap satu kata pun keluar dari mulut Adit karena dia kebingungan, apakah harus senang, sedih, atau marah karena pikirnya, dia akan menjadi rekan kerja mentornya itu.
Singkat cerita, Adit memutuskan untuk melanjutkan mimpinya menjadi guru di sekolah itu dan otomatis menjadi guru pengganti dari Rizal, yang ternyata melakukan tugas belajar untuk melanjutkan pendidikan di program studi S-2 Manajemen Pendidikan di salah satu universitas pendidikan di Jakarta. Pilihan yang mantap meski dengan sedikit harap-harap cemas ini Adit ambil setelah mendengarkan segala alasan Rizal melanjutkan studi, yang salah satunya untuk dapat berkontribusi dalam pengembangan dan peningkatan kualitas sekolah ini. Adit merasa bahwa tidak ada ruang untuk membatasi visi besar seniornya itu untuk mengembangkan kualitas pendidikan di sekolah ini. Lagi pula, tiga tahun adalah waktu yang tepat untuk Adit belajar di sekolah ini dan merealisasikan mimpinya sebagai guru sekaligus mempersiapkan diri untuk CPNS yang masih dinantinya. Hari itu, menjadi hari terakhir Rizal bertemu dengan Bu Indri, seluruh guru, para siswa, dan tentunya Adit. Babak baru karier Adit pun dimulai.
—
Tahun pertama, menjadi tahun yang begitu berat bagi Adit, yang kini disapa Pak Adit oleh sesama guru dan seluruh siswa. Bagaimana tidak, bayang-bayang Rizal masih terus saja menghantuinya ketika dia masuk ke dalam kelas 4, kelas di mana tiga puluh lima anak spesial belajar bersama. Sesekali, beberapa siswa menyatakan rasa rindunya pada Rizal, beberapa lagi kadang tak sengaja memanggil Adit dengan panggilan Pak Rizal, sebagian lainnya tampak berusaha untuk tetap menghargai Adit sebagai wali kelas barunya, meskipun tidak sedikit siswa yang mulai tertarik dengan cara Adit mengajar. Hingga di suatu waktu, Adit tampak kurang enak badan namun dia tetap memaksakan hadir di ruang kelas untuk mengajar dengan menggunakan mantel tebal.
“Bapak… Bapak lagi sakit, ya?” tanya Teguh, ketua kelas 4.
“Ah, tidak. Bapak sedang cosplay jadi orang eskimo,” jawab Adit.
“Eskimo itu apa, Pak?” tanya Yudi.
“Eskimo atau esquimaux itu adalah sebutan untuk orang-orang yang tinggal di daerah kutub. Apakah kalian pernah melihatnya?” tanya Adit sembari sedikit menahan diri untuk tidak menggigil.
“Oh, jadi, Pak Adit lagi pura-pura jadi orang kutub, gitu?” sambung Amir.
“Betul, Teguh! Jadi, hari ini kita akan pura-pura menjadi orang eskimo, ya! Kebetulan bapak akan menjelaskan mengenai jenis-jenis bioma atau keanekaragaman ekosistem yang ada di bumi kita!” sahut Adit yang mulai tampak menggigil dan berharap para siswa menganggapnya akting.
Pembelajaran hari itu berlangsung seru sekali karena Adit tampak menjiwai ketika dia menggambarkan tiap-tiap bioma yang ada di dunia dengan tetap antusias sembari mampu melawan rasa sakitnya untuk tetap dapat diterima. Dia semakin menyadari bahwa menjadi seorang guru rupanya tak hanya sebatas melakukan transfer ilmu, akan tetapi juga memerankan seni dalam menguasai kelas di tengah keterbatasan apapun itu. Dia membayangkan bagaimana kecewanya para siswa saat dia tidak hadir dalam kelas meskipun dia berpikir kehadirannya tak sekali-kali menggantikan sosok Pak Rizal.
Hari demi hari dilewati Adit dengan penuh antusias. Pagi, siang, bahkan malam, dia terus memacu diri untuk menghadirkan pembelajaran kreatif dan bisa menarik perhatian para siswa kelas 4. Terkadang, dia mengajak para siswa untuk belajar melalui permainan, video kreatif yang dia buat sendiri, bahkan tak jarang Adit memerankan materi melalui sosiodrama agar siswa memahami materi yang dia jelaskan. Para siswa semakin menyadari bahwa Adit begitu menjiwai perannya, tanpa kenal lelah dan pantang menyerah untuk terus menghidupkan kelas. Adit juga sering mengajak siswa untuk mengikuti lomba-lomba dan dengan telaten membimbing mereka hingga meraih juara demi juara. Adit juga sangat perhatian dan mengenali setiap siswa satu per satu. Dia tidak ragu untuk mengunjungi siswa yang sakit, meluangkan waktu sepulang sekolah jika ada siswa yang hendak bercerita, dan bahkan meluangkan waktu untuk berdialog dengan para orang tua. Para siswa pun perlahan mulai menyayanginya sama seperti mereka yang menyayangi Rizal.
—
Satu ketika, Adit menerima sepucuk amplop yang berisi upahnya setelah tiga bulan pertama dia mengajar. Tak dapat dibohongi, dia memang hanya bisa memaksakan diri untuk bersyukur ketika melihat bahwa di dalam amplop tersebut hanya berisi sembilan lembar uang seratus ribu rupiah, upah mengajar yang dia peroleh selama tiga bulan ini. Dia hanya mulai kuatir dengan caranya menjelaskan kepada orang tuanya ihwal pekerjaannya yang memang secara rasional tidak menjanjikan, terlebih sudah delapan bulan sejak wisudanya, dia tidak dapat memenuhi harapan dari kedua orang tuanya. Sampai akhirnya, Adit merenung dan berpikir di tengah pilihan-pilihan yang dilematis. Satu sisi, apa yang dia jalankan adalah mimpinya namun sisi lain, ada keluarga yang juga memang memikirkan yang terbaik untuk hidupnya secara rasional.
Tiga bulan terakhir di tahun pertama Adit mengajar, dia memang sering mendokumentasikan setiap momen kebersamaannya dengan para siswa berharap bisa menjadi dilihat dan menjadi pengobat rindu bagi Rizal yang semakin sibuk dengan studinya. Memang, Rizal seringkali bertanya kepada Adit tentang proses demi proses yang dijalani selama menjadi guru pengganti namun tak jarang Adit juga membatasi untuk menghubungi Rizal karena tak ingin terlalu mengganggunya dan berharap bahwa dia dapat memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya. Setiap dokumentasi mulai dari keseruan saat dia mengajar, kelucuan para siswa dengan ulahnya masing-masing yang tanpa sadar terekam kamera, hingga kepiawaian Adit dalam berbagi cerita bahkan tips di media sosialnya melahirkan sebuah keajaiban. Konten-kontennya tanpa disangka menjadi terkenal atau disebut dengan For Your Page (FYP), istilah anak-anak muda untuk menyebut konten yang viral.
Media sosialnya terus berkembang pesat bahkan membuatnya semakin dikenal di kalangan guru-guru muda dan membuat mereka salut dengan kegigihan dan teladan dari Adit. Tanpa sadar, hal tersebut membuat nama sekolah SDN 1 Muara Kasih semakin dikenal, pun dengan Adit yang semakin menebar manfaat melalui kecanggihan internet di era modern ini. Kepala sekolah, guru-guru, dan Rizal yang juga mengetahui hal ini semakin yakin bahwa Adit adalah guru teladan yang Tuhan kirimkan untuk mewarnai indahnya bangku pendidikan di SDN 1 Muara Kasih. Tak jarang, Adit diundang sebagai pembicara, mendapatkan pundi-pundi tambahan dari kerja sama, bahkan menjadi perantara para perusahaan yang ingin berkontribusi dalam menghidupi semangat pendidikan ini. Ihwal rupiah, kini tak lagi jadi masalahnya karena Adit sudah mulai menemukan titik terang untuk menjawab setiap keraguan orang tuanya tentang masa depan kehidupannya tanpa harus menggugurkan mimpinya untuk menjadi seorang guru.
Satu hari di penghujung akhir tahun pelajaran, pentas seni pun digelar. Penampilan demi penampilan yang sudah disiapkan selama dua bulan terakhir oleh Adit dan dewan guru lainnya siap ditunjukkan. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pentas seni kali ini sangat luar biasa karena didukung oleh berbagai perusahaan yang menjadi sponsor pendukung berkat dedikasi Adit. Saatnya penampilan yang ditunggu olehnya yakni gerak dan lagu dari kelas 4, kelas yang dipegang oleh Adit. Mereka menyanyikan lagu himne guru dengan penuh ketulusan hati dan begitu indah. Para guru pun mulai menahan haru dan rasa bangga yang melebur jadi satu. Para penonton pun dibuat takjub dengan penampilan mereka dan refleks memberikan tepuk tangan yang meriah.
“Sepenggal bait puisi ini kami persembahkan untuk salah satu guru spesial di hati kami, ayah kami di sekolah, sahabat kami, yang tercinta wali kelas kami, Pak Adit,” sebuah kalimat dengan ayunan pelafalan puitis terlontar dari mulut Amir.
Amir yang dikenal pemalu namun terkadang humoris dengan tingkahnya yang polos mulai merakit bait demi bait yang mengalir ke hati setiap orang yang hadir hari itu. Amir pun memulai membaca sebuah puisi yang ditulisnya.
—
Satu warna berhenti terlukis
Saat satu warna lain hadir
Mewarnai kertas putih
Yang kini menjadi penuh warna
Rupanya guruku seorang pembohong!
Katanya ia menjadi orang eskimo
Padahal kutahu tubuhnya hampir rubuh
Bagaimana hati kami tidak meleleh?
Kuingat jelas dua tangan itu
Yang cekatan merapikan dasiku
Saat aku menjadi petugas upacara
Bagaimana mungkin ku tak terenyuh?
Terima kasih telah hadir bagi kami
Menjadi tempat kasih kami bermuara
Yang kami nantikan setiap pagi
Membuat kelas ini penuh energi
Untukmu, Pak Adit.
—
Kala itu, tangis Adit pecah, menyadari bahwa para siswa ini sungguh-sungguh memperhatikannya dan tak sekali-kali menganggapnya tiada. Ia semakin haru ketika di sudut belakang kursi orang tua siswa kelas 6, tampak hadir dua sosok yang selama ini terus dia yakinkan, ayah dan ibunya. Mereka tampak tersenyum bangga dengan kegigihan putra bungsunya kini sudah menjadi api yang menyalakan lilin-lilin kecil. Adit tak dapat berkata-kata selain hanya bisa memeluk seluruh siswa yang membuatnya belajar bahwa menjadi guru adalah salah satu pilihan terbaik dalam hidupnya. Meskipun dia sadar bahwa hanya sementara dia mengajar di SDN 1 Muara Kasih namun dia tetap sepenuh hati menjalankan perannya, pekerjaannya, mimpinya, sebagai seorang guru, yang mau terus belajar sampai akhirnya Adit harus melanjutkan lembar baru dalam perjalanannya dalam dunia pendidikan ini.
“Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” – Ki Hadjar Dewantara