Jejak Bahagiaku
Karya: Nesya Azzahra
“Kalau mau mati jangan di jalan raya!!!” Ucapnya dengan nada yang kasar. Di tengah keramaian aku merasa kosong. Entah kemana lagi aku harus melangkahkan kaki ringkih ku ini. Namun, aku tetap melangkah ke antah berantah.
Angkasa membiru, dihiasi awan menggumpal yang bertumpuk-tumpuk Seperti permen kapas. Burung berlalu lalang membelai sang awan. Alunan melodi musik lawas menyapa telingaku. Para gadis menari dengan luwes sembari mengikuti alunan lagu. Disinilah aku, mengisi waktu kosong ku, di pojok pendopo kesenian yang ada di fakultasku. Namun, aku bukanlah mahasiswa jurusan seni, melainkan jurusan bahasa. Aku kesini untuk melakukan kegiatan kesukaanku. Ya! Rebahan, hahaha. Aku menemukan hobi baru ku disini. Aku suka merebahkan diriku di lantai dingin pendopo sambil mendengarkan musik tradisional yang di putar anak jurusan seni tari untuk latihan. Walaupun ini tak pantas di sebut sebagai hobi, tapi aku suka melakukannya. Terkadang aku hanyut dan tenggelam dalam lamunan ku sendiri disini.
Hai! Namaku Khadijah Ahmad. Teman-temanku memanggil ku Dijah. Aku diberi nama ini agar aku mandiri seperti Khadijah, dan Ahmad adalah nama Abahku. Aku telah hidup selama 20 tahun di bumi. Aku mahasiswa kurus yang berkacamata. Aku adalah mahasiswa semester 4, dan satu satunya hal yang dapat ku banggakan adalah aku salah satu mahasiswa yang mendapatkan beasiswa di sebuah Universitas Negeri yang cukup terkenal di Medan, Sumatera Utara. Benar!! Aku merupakan orang kampung yang merantau ke kota orang, untuk menuntut ilmu tentunya. Namun, Saat ini aku jenuh dengan hidupku yang begini-begini saja. Padahal, sebelum aku menginjak semester 4 ada begitu banyak hal yang aku lalui sendiri.
Kalau dipikir-pikir lagi, sebetulnya hidupku ini problematik. Bahkan, aku pernah sempat melakukan percobaan bunuh diri. Karena, apalah hal yang membuat ku merasa berguna dan berharga sehingga aku layak untuk hidup. Aku hanyalah seonggok sampah yang diberi nyawa oleh-Nya, pikirku waktu itu. Semua ini bermulai dari masalah kuliahku di kampus. Aku pernah mempunyai dosen problematik yang selalu alpha mengajar, sok artis alias susah ditemui. Aku sendiri pernah cekcok dengan beliau sampai dosen itu mengancam bahwa jika aku melawan, aku akan gagal dalam segala hal di lingkungan perkuliahan. Tapi persetan, aku tidak takut gagal dan tak mau berhasil jika harus “menjilat” setan berkedok dosen.
Yang buat aku memutuskan untuk mencoba bunuh diri saat itu adalah ketika suatu malam setelah Maghrib, ponselku berdering. Ternyata orang tuaku menelpon.
“Assalamualaikum, Mba”. Sapa hangat dari suara lembut yang sangat aku kenal. Ibu ku, yang umurnya hampir setengah abad. Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara, Ibuku orang Jawa, jadi aku dipanggil “Mba” di keluarga kecilku.
“Wa’alaikumussalam, Mak. Kenapa Mak, tumben nelpon?”. Jawabku sedikit keheranan, karena Ibu ku jarang sekali menelpon.
“Udah makan Mba?”. Tanya Ibuku mencoba untuk basa-basi. Padahal awalnya aku bertanya apa alasan beliau menelpon ku.
“Udah kok Mak, Mamak udah makan kan?” Ya, aku berbohong lagi. Sebetulnya aku tidak pernah makan malam semenjak aku merantau dan ngekos sendiri di kota ini. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk menekankan pengeluaran, hahaha. Tapi setiap kali Ibuku bertanya aku sudah makan apa belum, aku selalu menjawab “sudah” agar beliau tidak mengkhawatirkan anak pertamanya ini.
“Ooh, Alhamdulillah kalau sudah makan. Mamak udah makan tadi, pakai sambal terong”. Jawab ibu ku apa adanya.
“….” Kami berdua hening. Tak ada satu kata pun yang kami ucapkan, sampai terdengar suara jangkrik dari telepon. Maklumlah, namanya juga desa. Masih banyak para jangkrik yang bernyanyi di kala sang surya tenggelam.
“Mba…” panggil Ibuku dengan suara pelan.
“Iya Mak…” jawabku dengan cepat
“Mamak sama Abah belum punya uang untuk bayar uang kost mba”. Saat ibuku mengutarakan hal menyakitkan ini, seperti ada gemuruh di kepalaku. Aku ingin menangis. Mengingat uang beasiswa ku sudah terpakai untuk memperbaiki satu satunya sepeda motor Abah. Uang pegangan ku juga hanya cukup untuk beberapa minggu lagi. Ya Allah, mau cari uang kemana aku. Kost sudah harus di bayar bulan depan. Pikiranku berlarian ke antah berantah meninggalkan ibuku sendiri di telpon. Aku hening sejenak.
“Yaudahlah Mak, mau gimana lagi” jawabku pasrah sok tenang, padahal otakku pun sedang menelisik tiap ide demi mencari cara agar mendapat uang. Namun, aku lebih memilih terlihat tenang agar ibuku tidak khawatir. Aku tidak mau terlihat seperti anak yang “banyak mau”, menuntut orang tua agar keegoisan diri terpenuhi. Bukankah itu ciri-ciri anak durhaka? Lebih baik aku tutupi perasaan sedihku dari Mamak dan Abah ku tersayang.
“Tapi nanti diusahakan Abah kok untuk pinjam uang ke saudara” ucap Ibuku dengan nada yang lirih. Kalimat Ibu layaknya sembilu, yang menyayat hatiku dengan kasar. Nyeri di dada turut ku rasakan. Air mata ikut menetes membasahi pipi ku yang semakin tirus karena porsi makan yang dikurangi. Aku menangis. Tidak ada yang bisa kulakukan saat ini. Aku tidak berguna. Aku beban orang tua. Karena aku, orang tuaku harus berhutang.
“Yaudah, Mamak matikan telponnya ya Mba. Sehat-sehat disana…” kalimat terakhir yang membelai telinga, sebelum ibuku memutuskan sambungan telepon.
“Hatiku sakit Mak, hatiku hancur Mak. Kenapa kita harus jadi orang susah? Aku salah ya, karena memutuskan untuk kuliah? Mba, beban Abah ya Mak? Apa Mba, putus kuliah aja ya Mak?”. Rancau ku dalam hati. Aku memutuskan untuk keluar mencari udara segar, agar pikiran ku yang penuh ini digantikan oleh dinginnya udara malam.
Aku pun tiba di pinggir jalan raya. Ternyata waktu malam begini kota Medan pun masih ramai, sama seperti kepalaku yang penuh sesak.
“Kalau mba memang beban mamak sama abah, mati bukan pilihan yang buruk kan Mak?”. Aku mengikuti kata hatiku. Dengan sembarang aku menyeberangi jalan raya yang sedang ramai-ramainya. Aku pun melangkahkan kakiku dengan pandangan kosong, sembari berharap malaikat maut mengikuti bayanganku.
“Tiiiiinnnnn.” Suara klakson mampu menarik pikiranku yang sudah di awang-awang, kembali ke realita yang getir.
“Gimana sih kak?!! Kalau mau mati jangan di jalan raya!!! Sembarangan kali kalau menyebrang”. Ucap pengemudi yang berbicara sembarang karena kesal. Padahal, waktu itu aku memang mau mati.
Aku bergumam “Kenapa tadi nggak di tabrak aja, bukannya mati malah di maki-maki”. Suicidal Though-ku berangsur-angsur berubah menjadi malu, karena merasa melakukan hal yang konyol bin aneh.
Ahh, Tapi itu ceritaku yang dulu. Toh, sekarang aku masih hidup. Ga jadi mati!! Konyol banget, bunuh diri kok di jalan raya. Paling parah kalau ketabrak juga di amputasi, ga sampe mati. Malu doang yang ada, hahahaha.
Lamunanku yang jauh tersesat pada masa sulitku, dirusak oleh suara cempreng milik sahabat ku, Nur Khairiana. Dia perempuan berjilbab syar’i dan “bermata empat”. Aku suka memanggilnya Nuy, yang sebenarnya merupakan plesetan dari namanya, “Nur”. Walaupun biasanya ia dipanggil Ana oleh teman yang lain. Nur adalah nama Ibunya. Jadi, nama panggilan ini aku sematkan sebagai tanda sayangku sekaligus untuk menjahilinya. Aku suka melihatnya marah dan kesal.
“Apa sih Nuy, paling berisik kau disini”. Ucapku dengan logat khas orang Medan.
“Ngapain kau disini sendiri? Mancing setan, biar kesurupan?” Jawabnya sarkas. Aku tak menanggapi pertanyaan sarkasnya dan memilih untuk acuh.
“Udah makan kau?.” Tanya Ana peduli.
“Udah.” Jawabku asal.
“Alah bohong, mana pernah kau makan di kosan, Dijah.” Tebak Ana dengan yakin.
“Hahaha, sok tau.”
“Aku bawa bekal lebih ni, ayo makan bareng.” Ajak Ana dengan tulus
“Makan lah Nuy, makan yang banyak.” Tolak ku halus.
“Apa perlu disuapin, Jah?” Paksa Ana, yang berhasil membuatku memakan bekal buatannya. Ana merupakan temanku yang cerewet dan judes. Tapi Ana juga lah yang paling memaksaku untuk hidup layak seperti manusia. Aku adalah tipe manusia yang hanya makan untuk menyambung hidup saja. Seberapa keras pun aku menolak tawaran Ana untuk makan bersama, aku tetap kalah dengan 1001 kata pedas yang diluncurkannya untuk membujukku makan.
Aku selesai kuliah jam 15:45. Sekarang aku sedang berdiri di pinggir jalan. Hei!! Bukan untuk percobaan bunuh diri yang kedua kali. Aku sedang menunggu angkutan umum kesayanganku, karena hari ini aku sudah menuntaskan kewajiban ku menuntut ilmu. Namun, yang ditunggu-tunggu sedari tadi tak kunjung menunjukkan tanda-tanda kehadirannya. Aku pun tersesat lagi dalam abstraknya pemikiranku.
Kemudian, sambil membetulkan posisi kacamata yang terus merosot, aku pun bermonolog dalam hati.
“Aku cape sama hidup ku yang terus terasa sulit. Memang sih, aku ga pernah berusaha untuk menyelesaikan masalahku, tapi masalahku malah selesai dengan sendirinya. Sampai di detik inipun aku jenuh dengan masalah yang itu-itu aja walaupun ujung-ujungnya terselesaikan tanpa usaha. Aku gak pernah bahagia. Jangankan diberi buket bunga mawar, Pacar Pun aku gak punya. Dirayain waktu ulang tahun? Berharap banget!! Orang-orang juga pada gatau tanggal ulang tahunku. Kalau orang lain yang ulang tahun pasti selalu dirayakan, dibelikan kue ulang tahun dan dikasih surprise oleh temannya. Yang kalau bikin story sampai titik titik karena semua temannya pada memberi ucapan selamat. Beda banget sama aku. Di sosial media juga aku ga famous. Followers ku di Instagerah Cuma 283 orang. Aku ga pernah nonton bioskop bareng temen-temen ku di mall mewah. Apalagi untuk nongkrong-nongkrong cantik di cafe kekinian, kaya yang sering di posting anak muda jaman sekarang. Aku tak pernah dirayakan” Keluhku dalam hati.
Namun, tertangkap oleh retina ku seorang anak kecil berusia sekitar 7 tahunan yang memanggul kerupuk dan melintasi padatnya jalan, dengan kaki mungilnya yang hanya beralaskan sandal jepit alakadarnya. Di tengah terik panas, hiruk pikuk kota ini seorang anak kecil ikhlas mengorbankan waktu bermainnya untuk membantu mencari nafkah. Aku pun kembali bermonolog.
“Apa adik penjual kerupuk ini juga tidak bahagia dengan hidupnya? Sebetulnya apa sih bahagia itu? Apa yang aku cari di dunia ini? Uang? Ketenaran? Perhatian?”. Ternyata sepenggal potret peristiwa kecil ini dapat membuatku memikirkan ulang apa itu makna bahagia. Aku pun membalikkan badan dan melangkahkan kaki ku untuk duduk di kursi halte yang tak jauh dari tempat ku berdiri sebelumnya. Aku mengambil ponsel usang ku satu satunya dan berselancar di Website Mbah Serba Tau. Dengan tangan kurus ku, aku mengajak jari ini untuk mengetik “apa itu bahagia?” di bar pencarian. Berbagai artikel muncul menyambut pertanyaan ku. Dengan teliti aku membaca satu per satu artikel yang telah disuguhkan oleh Website Mbah Serba Tau ini. Namun, hasilnya nihil. Aku bahkan tidak menemukan apa itu definisi bahagia yang ingin aku cari. Dengan kecewa aku menyimpan ponsel kesayangan ku kembali kedalam tas. Aku memandang ke depan, menatap erat langit biru yang seakan menyuguhkan secercah harapan. Aku tertohok karena isi kepalaku sendiri.
“Apa yang selama ini aku cari? Tidak bahagia kataku? Jadi, bahagia menurut ku sendiri apa?” Monolog ku dalam hati dengan perasaan yang membuncah.
“Betul kata penyair. Bahagia itu sederhana.”
“Bukan ketenaran, bukan uang, dan bukan juga jabatan.”
“Wajar aku merasa tidak bahagia, karena rasanya aku salah mendefinisikan kata bahagia.”
“Padahal bahagia itu saat kepulangan ku disambut meriah oleh kehadiran Mamak ku tersayang, dengan suguhan senyuman manis yang turut dilemparkannya ke arahku. Pelukan hangat adik kecil yang sebenarnya mengincar tas yang kubawa, sambil berharap aku membawa jajanan untuknya. Dapat menatap wajah keriput Abah yang lega ketika melihatku pulang kerumah dengan selamat, pun merupakan sebuah kebahagiaan yang patut disyukuri.”
“Padahal bahagia itu saat bisa melahap semua masakan ibu yang enak banget.”
“Pun bahagia itu ketika kita menyapa seseorang dan dia merespon dengan semangat dapat memberikan energi kebahagiaan juga”.
“Seharusnya terucap kata syukur pada sang Khalik karena telah diberikan-Nya teman-teman yang mau diajak bertukar pikiran, tidak pernah mencela pembicaraan, antusias mendengar curhat tanpa kalimat “kamu itu masih mending, daripada aku lebih parah…”, teman yang mau ikut tertawa dengan humor picisan ku, teman yang dengan baik hati memperingatkan ku saat aku terjatuh dalam lubang maksiat dan memberi nasehat dengan kalimat yang tidak menggurui”
“Bahkan bisa makan dengan tenang dan tidur yang nyenyak juga kebahagiaan yang hakiki tau!!”
“Bahagia itu ketika gak kena asam lambung di era gempuran seblak setan.”
“Bahagia itu kalo beli sesuatu ga liat harga. Hahaha”
“Intinya bahagia itu berawal dari rasa syukur, makanya bersyukur lah kamu wahai Khadijah Ahmad!!” Ucapku memperingatkan diriku sendiri agar ulet dalam bersyukur. Hari ini aku hanya melamun, tapi syukurlah aku mendapatkan makna bahagia ku sendiri. Akupun segera kembali ke realita, setelah banyak menyelam kedalam abstraknya pemikiranku. Akhirnya angkutan umum yang dinanti telah menampakkan diri. Aku pun mengajak kaki mungil ini untuk berdiri dari tempat dudukku dan segera naik ke dalam angkutan umum yang telah berhenti, menungguku naik.
Hari ini aku mendapat pembelajaran hidup yang berharga, bahwa inilah cara kerja takdir. Aku lah yang memulai semua kekeliruan ini dengan menaruh benih harapan di tempat yang tidak tepat, sehingga benih harapan itu tumbuh membumbung tinggi tidak sesuai realita. Aku yang kemarin pernah melakukan percobaan bunuh diri, sekarang mampu dengan lihai melewati segala bentuk masalah yang menghantam kewarasan diri. Rasa syukur merupakan sumur dari kebahagiaan. Pupuk rasa syukur mu, maka kau akan menemukan bahagiamu sendiri. Jangan habiskan waktumu untuk memikirkan kebahagian mereka yang dibelikan bunga oleh pacarnya. Kamu bakal capek kalau dengki dengan mereka yang diberi kejutan ulang tahun oleh temannya, apalagi kalau kamu iri dengan mereka yang sering nongkrong bareng di cafe-cafe. Kalo di pikir-pikir kita juga bisa beli bunga sendiri, kita juga bisa nge-date sama diri sendiri, beli kue dan merayakan ulang tahun sendiri, toh juga kan gak merugikan siapa siapa. Kamu juga bisa jadi sumber bahagia-nya orang lain, dengan mengubah hidup dan pola pikir toxic-mu. Kalau belum mampu menjadi sumber kebahagiaan orang lain, pinomat jangan nyinyir ke orang lain. Apalagi menggunakan jemari untuk melemparkan komentar negatif, kita cukup membiarkan orang lain untuk berekspresi di sosial media-nya sendiri, jangan foto orang yang lagi makan sendiri di cafe, karena mungkin itu caranya menghibur diri. Sambut dengan semangat orang yang berani menyapa kamu duluan. Maafkan ucapan dan perilaku manusia yang berhasil menggoreskan luka di hati mu. Dengan ini pun aku berjanji akan menjadi sumur bahagianya manusia-manusia yang hadir di sisiku.
“Mengejar kebahagiaan adalah ungkapan yang paling konyol, jika kamu mengejar kebahagiaan, kamu tidak akan pernah menemukannya. Yang kamu perlukan adalah menciptakan kebahagiaan itu sendiri.”