Keluar Zona Nyaman – Cerpen Jovina Septarini Indrawati

Keluar Zona Nyaman
Karya: Jovina Septarini Indrawati

Anak kuliahan itu harus nekat. Ya, ada yang nekat merantau, belajar mandiri, dan mencari pengalaman baru di kota orang. Sepertiku yang merupakan Mahasiswa baru di Universitas Negeri, mau tak mau harus memberanikan diri. Aku juga merupakan seorang anak pertama, pemilik sifat pantang menyerah, sedikit keras kepala, harapan orang tua, dan aku harus menjadi panutan Adik-adikku, inilah aku, Vina.

Aku menyetir motorku dengan perasaan yang campur aduk, kedua tangan gemetar berusaha menstabilkan gas motor. Aku meringis saat hampir menyerempet motor lain, ini semua karena aku terlambat pergi ke kampus. Aku rela menerjang semua ketakutan dan berusaha tidak takut menghadapi orang lain apalagi aku mengambil jurusan pendidikan. Ah, rasanya sedikit aneh mengambil jurusan ini, aku yang introvert mau tak mau harus aktif agar bisa bersaing dalam setiap matkul yang ku ambil.

Nafasku terengah-engah, aku meneguk salivaku dan berdiri kaku di depan ruangan bertuliskan nomor 301.

“Nggak masalah, Vin. Telat dikit bismillah nggak ngaruh.” Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum menarik pintu, seketika semua manik mata terarah kepadaku. Kakiku rasanya seperti jelly tapi sebisa mungkin aku kontrol raut wajahku.

Aku tersenyum lalu membungkuk. “Maaf, Pak, saya terlambat,” ucapku setenang mungkin.

Untungnya dosen kali ini sabar, tidak ada sindir-sindiran sehingga saat aku menduduki bangku, materi kembali dilanjutkan.

Teman? Rasanya itu sedikit menjurus ke hal sensitif. Apalah diriku yang hanya memiliki beberapa teman saja. Entah mereka yang menghindar, aku tak tau. Namun, aku sekarang sangat bersyukur memiliki teman yang menganggapku seperti keluarganya. Tawa, senang, kesedihan kita lewati bersama-sama. Aku juga mulai mencoba berinteraksi lebih dulu tak seperti saat duduk di bangku SMA. Aku sangat merasakan perbedaan yang cukup signifikan. Mulai dari, mindset, tutur kata, bahkan perlakuan mereka.

“Vin!”

Aku tersentak mendengar panggilan itu. Aku menoleh terpatah-patah. “Iya? kenapa, Put?” tanyaku memastikan panggilan gadis berkerudung koklat itu terjawab.

“Haus, Mbak?”

Aku menggeleng. “Kenapa? mau ke kantin?” tanyaku ke Putri, teman bangku kuliahku. Dia juga merupakan anak rantau dari Sumenep, jarang pulang dan selalu mengeluh kepadaku. Tiap kali dia curhat, aku hanya bisa tertawa menanggapi. Di situ aku bisa melihat keberuntungan orang itu beda-beda, begitupun aku dan Putri. Aku bersyukur bisa pulang dan berkumpul dengan keluargaku tiap saat.

Namun, rasa insecure ini masih sangat besar. Di umur yang hampir menginjak kepala dua, insecure bukan mengenai fisik lagi, tetapi tentang wawasan yang luas, relasi, public speaking, dan pencapaian-pencapaian yang lain. Sebenarnya, tidak harus insecure, aku sadar setiap orang pasti unggul di bidangnya masing-masing.

Seperti diriku, saat aku merasakan sesuatu yang pahit dalam hidupku, aku lebih melampiaskannya lewat tulisan. Apapun yang menyakitiku, yang membuatku berkaca-kaca aku membalutnya dalam untaian kata.

Tidak perlu menceritakan kisah hidupmu ke orang lain, karena belum tentu orang itu peduli. Maka dari itu ada salah satu cendikiawan muslim alias Al-Ghazali berkata, “apabila engkau bukan Putra Raja atau Putra Ulama besar, maka menulislah!”

“Kenapa kamu suka menulis, Vin?” tanya Putri saat kita sudah duduk di salah satu meja kantin. Aku berhenti meminum es tehku.

“Karna menulis itu sebagai cara kita untuk melampiaskan kata-kata yang tak bisa diucapkan oleh lisan,” jawabku spontan.

Putri bergidik ngeri. “Uuuhhh ngerinya, berarti kalau kamu sakit hati. Ekhem … misalnya nih, disakitin cowok,” kata Putri lalu tertawa pelan.

“Ya, aku jadiin tokoh utama, Put. Aku emang nggak ngebalas langsung ke orangnya tapi aku bisa bikin pembacaku ikut membencinya. Jahat emang, tapi ini kepuasan tersendiri bagi aku,” ungkapku.

Ini sulit, tapi saat membuat novel, cerpen, dengan menjadikan orang yang sudah menyakitiku menjadi tokoh utama aku bisa mengasah kemampuan menulisku, dan memiliki peluang untuk memenangkan suatu lomba. Dalam menulis juga, aku memang sengaja menulis semua genre, mulai dari fantasi, fiksi, non fiksi, bahkan yang awalnya aku tak tertarik pada puisi, tak tau susunan puisi itu bagaimana, saat memasuki bangku kuliah ini aku mulai berani beranjak dari zona nyamanku.

Seiring waktu, belajar hanya bermodalkan situs-situs dan video kepenulisan, secara perlahan juga tulisanku mulai rapi. Aku percaya, tak ada penulis yang langsung hebat tanpa berproses.

Keluar zona nyaman itu sungguh tidak enak. Kita harus memulainya dari nol, kita harus belajar lebih giat lagi untuk hasil yang maksimal.

Kantin semakin ramai, makanan yang dipesan sudah habis, aku dan Putri memilih pergi ke perpustakaan. Menatap berbagai jenis-jenis buku, aku mengambil satu buku yang cukup menarik perhatianku. Aku menatap buku dengan judul ‘Tips percaya diri’ tak asal mengabil buku, aku mengambil buku ini hanya ingin melihat sejauh mana aku berkembang dan seberapa banyak aku berubah sejak memasuki perguruan tinggi.

“Kau suka membaca quotes nggak, Vin?”

Aku menoleh melihat Putri yang menyembulkan kepalanya dari sela-sela rak buku. Dengan semangat aku mengangguk. “Mana?” Aku menghampiri gadis berkerudung coklat itu. Aku menerima buku kumpulan quotes dia.

“Itu apa?” tanya Putri.

Aku melirik buku yang ku peluk. “Oh, ini?” Aku memberikan bukuku, tapi Putri malah menggeleng.

Aku melangkahkan kakiku ke pojok ruangan. Di sini tempat paling nyaman untuk membaca buku. Mataku bergerak kekanan ke kiri membaca buku pertama. Tak sadar aku menganggukkan kepala. “Lumayan ada kemajuan,” gumamku.

Aku membuka lembar selanjutnya hingga halaman terakhir. Inilah skill tersembunyi yang aku punya, aku bisa membaca satu buku hanya dalam beberapa menit. Saat SMP, lagi marak-maraknya novel, aku pernah membaca tiga novel dalam waktu satu hari dan tidak ada drama-drama mengeluh mata lelah.

Bruk!

Aku terkejut melihat tumpukan buku di sampingku. Putri, gadis itu mengambil beberapa buku esai, quote, novel, bahkan antologi puisi. Mataku terpaku ke salah satunya yang sangat menarik bagiku.

“Esai? aku minjam bentar,” ucapku lalu membuka halaman pertama. Sejujurnya dari dulu aku juga tertarik ke esai sejak sering melihat lomba-lomba di suatu platform, tapi aku masih belum memiliki keberanian untuk memulai dan belajar, aku masih memilih zona aman dan menekuni bidang yang aku kuasai saja.

“Kamu nggk pernah ikut esai, Vin?”

Aku menggeleng. “Takut salah aku, Put, tapi sekarang kayaknya aku pengen nyoba deh,” jawabku setelah mempertimbangkannya.

Sejak obrolan aku dan Putri tempo lalu, aku dengan nekat ikut lomba apapun yang berhubungan dengan kepenulisan, dan kali ini aku sedang melakukan riset ketat untuk lomba esai yang aku ikuti.

“Aku berani keluar zona nyaman demi masa depanku.” Aku menghela nafas dan berusaha tetap optimis serta selalu menanamkan pada diriku sendiri bahwa kunci kesuksesan adalah doa, mau keluar zona nyaman, optimis, yakin kalau semua penulis hebat itu lahir dari penulis pemula serta tetap percaya diri.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *