Kembali Bertemu
Muhammad Nurhuda Al-Asy’ari
“Pak guru Huda,” teriak anak kecil dari kejauhan memanggilku. Terlalu samar bagiku menengok sumber suara itu dari spion motor yang telah lama berdebu. Sudah lama memang, motor tua yang kukendarai ini belum dicuci. Bagaimana tidak? Pagi hingga petang harus mengajar demi mengemban amanah penting dari julukan pahlawan tanpa tanda jasa. Tidak hanya itu, menjelang senja harus menggelar tenda membuka angkringan sederhana. Ya walaupun tidak seberapa penghasilan yang diperoleh, setidaknya bisa menambah penghasilan dari gaji guru yang tidak seberapa.
Teringat dulu, sebelum jadi guru bisa kemana saja, menjelajah seantero tanah jawa dengan motor tua. Kini hanya bisa menerima kenyataan yang ada, sebab kehidupan bukan persoalan memilih bagaimana-bagaimana melainkan menerima dengan lapang dada. Setidaknya penghasilan yang kuterima dari hasil yang halal dan tidak membahayakan orang lain, itu sudah cukup. Nasehat ayah, “Nak, jika kelak kamu mengikuti jejak ayah sebagai guru maka berusahalah memiliki usaha sampingan agat hatimu tidak melulu mengharapkan bayaran atau pemberian dari orang lain.”
“Bang kopi susu satu bang,” sahut bejo memanggil sambil merunduk. “Oh okay siap,” jawabku perlahan. Entah apakah ini hanya perasaanku saja atau memang kejamnya pendidikan zaman sekarang. Hatiku merasa damai dan tenang ketika berada di angkringan dari pada di sekolah. Aku merasa disayangi ketika berada di angkringan dari pada di sekolah tempat kumengajar. Di angkringan yang tidak mewah, pelanggannya lebih santun dari pada murid yang kuajar di sekolah. Mungkin, semenjak kejadian itu. Peristiwa yang sebenarnya tidak ingin kuceritakan.
Bermula dari seorang murid yang mengejek dengan nada meremehkan diriku sebagai guru. Sebagai seseorang yang mengajarkannya nama-nama angka dan huruf. Dalam hatiku sebenarnya tidak apa-apa aku diejek, dihina, atau direndahkan. Toh, setiap kali mengajar tidak jarang demikian. Tapi kali ini memang sudah keterlaluan, tidak bisa dibiarkan dan harus diberi pengertian. Setidaknya membuat jera murid itu dan tidak berimbas kepada murid lain dengan merendahkan para guru. Seperti air mengalir tanganku seketika bergerak dengan sendirinya memukul punggung murid tersebut.
Keesokan harinya, kukira masalah telah tuntas. Namun, pada jam delapan lewat dua puluh lima menit terdengar bunyi sirine polisi. Berhenti tepat di depan kantor guru, polisi tersebut mendatangi ruang kepala sekolah. Menemui ibu Idah sebagai kepala sekolah, dan berbincang dengannya mengenai kejadian kemarin yang disampaikan pihak orang tua murid tersebut. Dengan separuh nafas tergesa-gesa, pak Sutris datang ke kelas lima dimana aku berada. Pak Sutris menyampaikan apa yang telah disampaikan ibu Idah. Tanpa aba-aba datang secara tiba-tiba kudatangi ruang kepala sekolah. Aku disidang habis-habisan disana, dan hampir saja aku masuk jeruji besi jika saja ibu Idah dan ibu Tika tidak bersikeras membela.
Tidak sampai disana, sesuatu yang ingin kuhindari ternyata terjadi. Para murid memandangku dengan rasa rendah, seolah-olah mereka bisa menertawakanku kapan saja. Kutarik nafas dalam-dalam, ehm, ya sudahlah, apa dikata jika nasi sudah menjadi bubur. Semua itu juga mungkin salahku, terlalu bawa perasaan atas apa yang diujarkan murid tersebut. Waktu berjalan, sontak angan liarku berucap, “mungkin aku telah gagal menjadi seorang guru. Semoga saja di tahun ini aku menangis bukan karena kegagalan melainkan menangis karena satu persatu doaku terkabulkan. Menjadi guru yang bermanfaat bagi nusa dan bangsa.”
Dalam lamunan panjang dari kejauhan terdengar suara ayam berkokok pertanda malam telah larut, dan angkringan waktunya tutup. Kubereskan meja dan kursi serta kucuci ampas kopi yang masih melekat di gelas. Tiada terasa hari telah berganti, cepat-cepat aku menyimpan agar lekas pulang dan bisa istirahat. Untung saja, ada kakak Nanang pelanggan yang berbaik hati membantuku menyimpan barang dagang. Selesai semua beres aku langkahkan kaki bergegas pulang.
Perjalanan pulang tidak sengaja aku bertemu seseorang, tidak asing lagi bagiku karena dia sahabat masa kecilku. Pertemuan yang tidak diduga sebelumnya, kebetulan juga perjalanan kita searah menuju Distrik Abepura. Bergegaslah aku tawari dia tumpangan walaupun hanya dengan motor tua, dan dia mengiyakannya. Nama seorang tersebut adalah Nur dan nama panggilan yaitu Cepa. Entah bagaimana asal muasal nama Cepa yang bermetamorfosis darinya. Tidak banyak yang berubah dari Nur, masih seperti dia yang kukenal dulu suka mengoceh sana dan sini.
Sepanjang jalan, Nur juga banyak bercerita tentang Palestina, wanita, pendidikan, karir hingga politik. Kisah darinya yang kuingat adalah tentang wanita tangguh. Tentang seseorang yang makanan kesukaannya adalah nasi dan kepala ikan sisa anaknya. Seseorang yang rela bertaruh nyawa untuk melahirkan kita. Seseorang yang mana surga berada di telapak kakinya. Tiada lagi dan tiada bukan, dialah ibu.
Secara seksama dan singkat Nur bercerita, rumah tampak sepi lagi sunyi tanpa kehadiran keluarga. Sesaat kutatap jendela kaca dunia. “klunting,” ada pesan masuk dari sang ayah. Beliau berkata, “Ibu sedang dirawat di rumah sakit Bhayangkara.” Tanpa aba-aba, akupun bergegas kesana. Sesampainya aku dirumah sakit Bhayangkara, aku melihat kakak dengan linangan air mata di pipinya, sedangkan ibu terbaring di kasur tanpa suara.
Dengan sengaja kulihat mata Nur yang telah berlinang. “Sudah Nur, sudah. Jika kau ceritakan hanya membuatmu bersedih, maka cukupkanlah,” ucapku pelan kepadanya. “Hehe maaf,” jawab Nur.
“Huda, apakah kau tahu apa yang dinasehatkan ibuku kepadaku terakhir kalinya?” Tanya Nur seolah ingin melanjutkan ceritanya lagi.
“Tidak, aku tidak tahu, apa nasehat ibumu?” Sanggahku.
“Nasehatnya yaitu lihatlah jam dinding itu seraya beliau menunjuk jam tersebut. Waktu tak dapat diputar kembali, maka lakukanlah hal yang bermanfaat.” Ucap Nur meyakinkanku. Mendengar ucapannya akupun memberi pesan kepadanya, “Nur, maka dari itu berbuatlah kebaikan pada mereka yang kamu cinta, sebab kerinduan setelah kematian itu sungguh amat tak tertahankan.”
Sesaat kami terdiam, dan akupun mulai mengulangi perkataanku padanya tadi, “berbuatlah kebaikan pada mereka yang kamu cinta, sebab kerinduan setelah kematian itu sungguh amat tak tertahankan. Nah maka dari itu apakah ada seratus.” Hahahaha tawa kami berdua pertanda cairnya suasana. Tidak terasa kami telah sampai di depan rumahnya Nur, dan kamipun berpisah. Sesampainya aku di rumah, tidak lupa langsung menuju kamar kecil untuk sikat gigi dan bersuci.
Keesokan harinya seperti biasa matahari terbit dari arah timur cahayanya merata dan sayup-sayup suara azan subuh berkumandang dimana-mana. Aku terbangun dengan fakta bahwa dia yang pernah ada dalam doa tidaklah nyata. Sekali lagi aku harus menerima kenyataan yang ada bahwa dia telah menikah dengan seorang pemuda kaya raya. Selasa, kala itu selepas waktu subuh aku menyusun buku di atas lemari kayu kayu yang terbuat dari serat-serat waktu. Buku yang kususun terdiri dari huruf-huruf rindu agar kelak kita bisa kembali bertemu.