Pahlawan yang Digugu dan Ditiru – Cerpen Rahmah Mega Ardiana, S.Ag.

puisi guru

Pahlawan yang Digugu dan Ditiru
Karya: Rahmah Mega Ardiana, S.Ag.


Gumpalan-gumpalan kapas putih memenuhi hamparan langit biru yang luas. Terik matahari masih bersinar diangkasa sana, menerangi bumi seisinya, serta para khalifah bumi yang masih sibuk dengan berbagai aktivitasnya.

Suara terdengar riuh dari ruangan kelas yang berada di tengah sekolah, maklum sebentar lagi Bu Ima akan mengajar kami. Maslahnya, bukan favorit lagi guru yang akan masuk setelah ini. namun, beliau adalah guru yang sensitive dengan murid-muridnya. Mungkin lebih dikenal dengan kata killer. Jangan harap, untuk bisa mengikuti pelajarannya jika belum mengerjakan segala tugas yang beliau berikan.

“Bukankah tidak ada tugas hari ini?” tanyaku kepada Rima.

Rima menggeleng, seraya membenahi kerudungya yang tampak berantakan. “Tidak ada,” jawabnya singkat.

Seketika kelas menjadi hening. Saat bel masuk berbunyi, dan tepat sebagai guru yang sangat on time, beliau sudah berdiri di depan kelas. Bulu kusuk kami hampir-hampir merinding melihat langkahnya yang tegas memasuki kelas, matanya terlihat menyorot tajam, dibalik kacamata minusnya.

Setelah mengucap salam, Bu Ima memulai pelajran dengan serius. “Anak-anak, Ibu harap kalian tidak lupa kodrat kalian sebgai pelajar. Dan sebgai pelajar yang baik, kalian juga harus memberikan teladan yang baik sekeliling kalian,” seperi biasanya menjelang akhir pelajarannya beliau sellalu memberikan sedikit pesan dan nasehat, yang membuat kami terkantuk untuk mendengarnya.

“O ya, karena, sebentar lagi sekolah kita akan mengikuti lomba karya tulis ilmiah dalam jagka yang dekat, dan pada kesempatan ini, Ibu bertanggung jawab dlam lomba ini. maka, Ibu akan memilih salah seorang dari kalian,” ujarnya, “Ada yang berminat?” tanyanya sambiul menatap seisi kelas.

Kami hanya bisa saling pandang. Berharap kelas akan segera berakhir, mana mungkin tertarik untuk mengikuti lomba yang membosankan dan dibmbing secara langsung dengannya.

“Baik, kalua tidak ada saya sendiri yang akan menunjuk. Luthfi, setelah ini saya harap kehadiranmu di kantor untuk menghadap saya,” katanya sambil menatapku.

Aku terhenyak, kaget, malu bahkan bingung, “Sa.sa.. ya Bu?” tanyaku tak percaya.

Bu ima mengangguk tanpa ragu, seketika seisi kelas menjadi riuh dengan berbagai sorakan anak-anak sekelasku.

Cieeeee Luthfi ternyata anak kesayangan ya…

Wah, jadi murid kesayangan Bu Ima.

Bu Ima berusaha menenangkan kelas yang tampak ramai. Bel berbunyi mengakhiri pelajaran di kelas.

Semenjak hari itu, hari-hariku terlihat sibuk. Mencari ide dengan segala pokok-pokok pembahasan, bolak-balik antara kelas, perpustakaan dan kantor guru, dan sebagainya. Terkadang, aku mengalami rasa yang berbeda saat dibawah bimbingannya, beliau ternyata mempunyai naluri kebaikan tersendiri yang belum dirasakan semua orang.

“Istirahat dulu, Luthfi. Jangan sampai terlalu larut,” ujar Bunda menasehatiku, terkadang, Bunda pun mengasihaniku, melihatku yang berjuang mati-matian demi menyelesaikan makalahku.

“Iya, Bun.. tenang saja,” jawabku santai.

Hari demi hari terus berlalu, mengikuti aluran waktu, waktu pengumpulan pun semakin dekat. Membuatku harus berjuang lebih extra.

“Kamu ini payah, Luthfi,” ujar Bu Ima sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, kecewa.

“A..a..da yang salah Bu?” tanyaku bingung.

“Seharusnya, kalimat ini diletakkan dalam pembukaan, bukan diletakkan dalam isi pembahasan,” ujar Bu Ima menerangkan. “Dan ada sedikit materi yang belum kamu masukkan dalam pembahasan.”

“Saya sudah mencari ke banyak sumber, Bu,” aku mengelak.

“Sebenarnya saya mempunyai buku yang terdapat materi yang penting dalam pembahasan kamu ini. hanya, saja mengingat waktu yang semakin mepet, kamu harus pergi ke rumah saya,” ujarnya.

Aku mengangguk, meski keraguan masih menyelimuti diriku.

Akhirnya, dikeesokan harinya tepat di hari Minggu, aku pergi menemui Bu Ima dengan di temani Rima dan Ifah.

“Kamu yakin untuk pergi kesana? Tempatnya jauh dan nggak bersahabat, Luthfi. Lagi pula, nanti yang ada kita malah diculik aja di rumahnya,” ujar Rima asal.

“Nggak, kita harus tetap ke rumahnya. Bu Ima nggak seburuk yang kalian baynagkan kok,” ujarku ketus.

Rima dan Ifah hanya saling pandang, lalu mengikuti langkahku dengan berat. Tidak cukup selama hampir satu jam kami menempuh dengan bis umum, kami pun masih harus menaiki angkot dan menyusuri jalanan yang berkelok.

Beberapa sorot mata memandang kami dengan pandangan yang tak bersahabat, tapi, kami tak menghiraukannya. Akhirnya, setelah bertanya sekian kali kami menemukan rumah yang kami tuju.

“Kamu yakin?” tanya Ifah ragu.

Aku mengangguk mantap, akhirnya aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu sembari memberi salam. “Assalamu’alaikum,” salamku.

Tak lama pintu dibukakan oleh seseorang, kupikir Bu Ima yang akan membukanya. Namun, bukan, seseorang nenek renta yang membukanya. Kami saling pandang bingung.

“Bu Ima nya ada nek?” tanyaku.

Nenek itu mengangguk sambil memperlihatkan gigi ompongnya, kami dipersilahkan masuk. Bukan rumah yang mewah yang salama ini aku bayakngkan, rumah ini hanya sepetak tanah kecil, dengan banyak ruangan. Juga, banyak penghuni, mulai anak kecil, remaja hingga orang tua yang renta. Bahkan, dibeberapa sisi atap pun akan runtuh.

“Saya kira kalian nyasar,” ujar Bu Ima dengan mengenakan dasternya. Tampak, seperti sedang mencuci.

Kami menggeleng, dan menyalaminya. “Tidak, Bu.”

“Jangan kaget, ya rumah Ibu memang seperti ini, sederhana. Anak-anak kecil dan beberapa orang tua itu adalah teman Ibu, yang Ibu beri tumpangan tempat tinggal karena mereka kehilangan lahan, akibat penggusuran tanah pemerintah, beberapa tahun silam. Kalau, anak Ibu, yang satu diluar kota yang satu tertidur. Uhm, tidak bisa melakukan aktivitas lagi,” Bu Ima menjelaskan.

Tes! Air mata mengalir dipelupuk mataku, aku tidak siap mendengar cerita beliau yang tak pernah kusangka sebelumnya. Kami mengikuti langkahnya menuju suatu ruangan berisi buku-buku besar dan lama.

“Ini, kamu pelajari dulu, lalu kamu masukan materi ini kedalam karya tulis ilmiah mu,” ujar Bu Ima menyodorkan sebuah buku tua. “Saya tinggal cuci dulu ya.”

“Saya ikut Bu,” ujar Rima dan Ifah serempak sambil mengikuti langkahnya keluar dari ruangan ini.

Sehari kami berada di rumah Bu Ima, kami mendapatkan banyak pelajaran beharga yang tak pernah kami sangka-sangka. Bu Ima yang dipandang galak dan buruk, ternyata menyimpan beribu kebaikan dalam lubuk hatinya yang tidak pernah kami sadari selama ini.

Hari pengumuman tiba, aku dan Bu Ima menaiki bis umum menuju kantor pemerintah yang terletak di Jakarta Pusat. Wajahnya begitu teduh, semangat juangnya pun tak pernah luntur untuk membuat muridnya sukses.
Kejadian tak disangka datang menimpa kami, bus yang kami kendarai dicegat gerombolan orang dengan senjata tajam ditangannya.

“Turun! Turun!” salah seseorang berteriak kesetanan. “Turun lu, pada! Eh sopir gue gampar lu, kalau kagak ikut perintah!”

Penumpang tampak panik, Bu Ima dengan cepat langsung mengambil keputusan yang membuatku semakin mencemaskan dirinya “Kalian anak muda, seharusnya belajar. Bukan untuk menyakiti masyarakat lain!” ujar Bu Ima ditengah kepanikan penumpang.

Salah satu anak, mendatangi Bu Ima dengan penuh kegeraman, menatap sebentar, “Lu tuh tahu apa sih nek?” ujarnya sambil memukul Bu Ima keras.

Hanya dalam hitungan detik, Bu Ima roboh, bis dihentikan dan anak muda itu kabur. Aku menjerit, Bu Ima dikerumuni banyak orang. Darah mengalir deras dari pelipisnya. aku mencoba menhubungi Ifah dan Rima serta teman-teman yang lainnya. Bu Ima dibopong menuju rumah sakit terdekat.

Ifah, Rima dan beberapa teman-teman yang lain dating tak lama kemudian. Ifah menyuruhku pergi dan ia berjanji akan mengurusi Bu Ima. Dengan diantar beberapa temanku aku berangkat menuju tempat yang kumaksud, tepat namaku disebut sebagai pemenang lomba essay tahun ini. Dengan rasa gemetar dan gugup, serta bercakan darah segar dikerudungku aku maju ke panggung kehormatan. Menerima hadiah dan piala, serta hadiah lainnya.

“Saya mempersembahkan ini untuk guru saya, bagaimana pun seorang guru itu wajib digugu dan ditiru sepanjang masa. Teruntuk Bu Ima saya mengucapkan terima kasih banyak dan semoga Bu Ima tenang di alam kubur sana,” dengan berusaha menenangkan diri aku mencoba menceritakan kejadian yang kualami dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini, hingga perjalanan menuju tempat pengumuman.

Tepuk tangan terdengar riuh, usai kuberikan sedikit sambutan. Dengan penuh khawatir dan perasaan penyesal aku kembali mengunjungi Bu Ima. Terima kasih guruku, pahlawan yang patut untuk digugu dan ditiru.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *