Keputusanku Adalah Kebahagiaanku
Karya: Humairoh Azzahra
Bulan sudah sedari tadi menunjukkan dirinya, jam sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Tapi gadis itu belum juga sampai di rumah, masih berpacu dengan motornya di jalanan malam ibukota. Isa namanya, gadis berusia 20 tahun ini memang biasa pulang larut malam, terlebih pada hari libur. Sesampainya di rumah dia langsung merebahkan tubuhnya yang teramat letih sebab harus melayani banyak pelanggan hari ini. Di saat seperti ini biasanya dia akan larut dalam pikirannya, memikirkan apakah selama ini ia salah langkah. Bukannya ia tidak menikmati pekerjaannya sebagai pramusaji, hanya saja terkadang ia rindu untuk kembali menimba ilmu. Satu setengah tahun lebih ini bukanlah waktu yang singkat bagi Isa untuk menjalani hidup yang benar-benar di luar prediksinya. Bekerja menjadi pramusaji adalah sebuah tantangan dan lembar baru yang akan sangat Isa syukuri dalam hidupnya. Namun jauh dalam hatinya, Isa tidak bisa berbohong kalau ia berharap untuk ke luar dari zona ini dan ikut memasuki dunia perkuliahan seperti kebanyakan temannya.
Malam telah berlalu dan kini cahaya matahari mulai mengintip, menyapa hangat Isa yang tengah termangu di dalam kamarnya. Sudah bukan rahasia umum jika gadis satu ini sangat suka melamun, namun kebiasaannya itu semakin parah akhir-akhir ini. Walau sesekali ia tetap membaca buku-buku yang ada di raknya atau melakukan aktivitas kesukaannya yang lain, namun tetap saja seolah dia begitu kosong. Isa mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamar, mencoba mencari sesuatu yang bisa mengisi harinya pagi ini. Nihil. Semuanya masih sama sejak beberapa bulan lalu dan tidak ada satu hal menarik pun yang bisa menyibukkannya. Dengan hati sedikit gundah Isa memilih untuk merapikan ulang kamarnya hari ini sebelum dia berangkat bekerja. Setiap sudut tidak dilewatkannya, bahkan setiap buku akan dia singkap satu demi satu lembarannya hanya untuk mengulur waktu.
Waktu berlalu dan kini matahari mulai menempati posisi puncaknya, menyebarkan hawanya yang menyengat tubuh. Isa sudah bersiap dengan motornya untuk menuju ke tempat kerjanya yang harus menempuh waktu satu jam perjalanan itu. Isa tiba di sana dan mulai melakukan aktivitasnya seperti biasa, melayani setiap pelanggan yang datang dengan senyum paling ramah yang dia punya. Seperti biasa, di tengah banyaknya pelanggan yang datang, pasti ada sebagian dari mereka yang merupakan mahasiswa. Isa dengan hati senang akan melayani mereka sembari mendamba apakah dia masih punya kesempatan seperti mereka.
“Kamu masih ada niat kuliah kah?” Tanya salah satu seniornya yang hanya dibalas senyum oleh Isa.
“Kalau iya, kenapa kamu ga coba kuliah sambil kerja aja?” Tanyanya lagi dan Isa masih diam.
Mendengar pertanyaan itu Isa kembali berkutat dengan pikirannya selama sisa waktu kerjanya. Bukannya dia tidak pernah memikirkan hal itu, hanya saja dia khawatir tidak bisa membagi waktu dengan baik dan hanya membuat semuanya berantakan. Isa benar-benar berpikir keras, ini antara keinginan kuatnya untuk menuntut ilmu dan keharusannya membiayai hidupnya dan adiknya. Jika dia memilih kuliah, apakah dia menjadi kakak yang egois? Namun bukankah Isa juga berhak atas pendidikan yang baik? Serta jika Isa memilih keduanya, akankah itu tidak memberatkan dirinya sendiri? Pemikiran-pemikiran ini benar-benar menyiksa baginya dan terkadang membuatnya hampir frustrasi. Isa yang sudah sedari lama kehilangan ibunya ini tidak menyangka bahwa kehilangan figur seorang ayah bisa membuatnya segila ini. Karena Isa merasa pikirannya hari ini lebih kalut dari biasanya, dia memutuskan untuk mengambil libur esok harinya.
Dikarenakan libur, Isa memutuskan untuk menjemput adiknya di sekolah dan mengajaknya jalan-jalan sebentar. Sejujurnya semenjak kepergian ayahnya, mereka berdua jadi jarang sekali memiliki momen bersama, terlebih dengan kesibukan yang Isa miliki. Saat adiknya bertanya mengapa tiba-tiba mereka pergi berjalan-jalan, Isa berkata bahwa dia baru saja dapat bonus dan ingin mengajak adiknya kemana pun dia mau. Setelah menentukan tujuan, di perjalanan keduanya hanya diam.
“Enak makanannya?” Tanya Isa saat adiknya tengah asik menyantap ayamnya.
“Iya, lebih enak dari buatan kakak. Heheh..” Adiknya menjawab dengan perasaan senang.
“Kalau gitu, kakak gak mau masak ayam lagi buat kamu. Kamu beli aja di sini!” Jawab Isa meledek.
“Oke. Asalkan kakak yang bayar.” Jawab adiknya dengan senyum lebar.
“Dasar kamu yah.” Isa senang bisa melihat adiknya tersenyum lebar seperti itu.
“Makanya, sekolah yang pinter sampai sukses, supaya bisa makan enak setiap hari.” Sahut Isa lagi.
“Tapi kakak dulu pinter, kok sekarang belum sukses?” Sejenak Isa terdiam.
“Kalau kakak sukses, udah kakak tinggal kamu sendiri. Mau?” Balas Isa sembari mengacak rambut adiknya dengan gemas.
“Tinggal aja kalau berani.” Lalu, percakapan keduanya diakhiri dengan tawa.
Sesampainya di rumah, keduanya langsung disibukkan oleh aktivitasnya masing-masing. Isa mulai membaca bukunya, sementara adiknya sibuk mengerjakan tugas sekolahnya. Rumah itu kembali hening tanpa ada sepatah kata pun dari keduanya, seolah mereka dua orang yang tidak saling kenal yang tinggal dalam satu rumah. Namun meski demikian Isa tetap senang, setidaknya dengan begitu dia tahu bahwa adiknya sudah lebih baik daripada sebelumnya dan sudah bisa tertawa dengan lepas. Cukup dengan itu saja, Isa sudah sangat bersyukur dan merasa lebih baik. Hingga malam tiba dan Isa mulai menyiapkan makan malam untuk keduanya. Isa berharap makan malam ini akan sama berkesannya dengan makan siang mereka tadi.
“Kak, maaf yah kalau tadi siang ucapanku kurang baik.” Ucap adiknya tiba-tiba.
“Maaf juga kalau karena aku kakak jadi gagal untuk lanjut kuliah.” Isa hanya terdiam.
“Maaf kalau aku malah jadi beban untuk kakak.”
Kini Isa merasa bersalah, karena selama hampir dua tahun ini dia sudah menghabiskan waktunya untuk mempertanyakan keputusannya untuk tidak berkuliah. Hingga melupakan bahwa itu adalah keputusan yang benar-benar sudah dia pertimbangkan matang-matang dan dia sudah berjanji untuk tidak menyesalinya. Isa lupa bahwa alasan dia memutuskan untuk bekerja adalah agar adiknya bisa tetap bersekolah dengan layak dan lebih baik dari dia. Isa berusaha mengendalikan dirinya.
“Gak perlu minta maaf, emang ini pilihan kakak dan kakak akan tanggung jawab atas pilihan kakak sendiri. Kamu fokus aja sama sekolah kamu saat ini dan buktiin ke kakak kalau kamu bisa jauh lebih baik dari kakak dan dari siapa pun yang menganggap remeh kamu. Bisa?”
“Makasih ya kak. Aku gak tahu lagi harus bilang apa ke kakak.”
“Jangan dipikirin! Lanjut lagi aja makannya, habis itu langsung istirahat ya!”
Hari ini hampir usai, bulan juga nampaknya akan segera mengambil waktu rehatnya. Tapi Isa masih terjaga dari tidurnya dan tenggelam dalam pikirannya. Ke mana saja ia selama ini? Kenapa dia baru tersadar sekarang? Namun Isa berusaha untuk tidak menyesali apa pun yang sudah terjadi dan akan berusaha fokus pada apa yang akan dia hadapi.
“Satu bulan lagi dan tahun ini akan segera berakhir. Terima kasih karena sudah mengingatkanku kembali pada apa yang sedari awal aku putuskan. Aku akan berusaha menjalani tahun depan dengan lebih baik lagi dan dengan penuh kegembiraan, baik untukku maupun untuk orang-orang di sekitarku.” Ucap Isa sembari menatap langit malam itu.