Kota Sampit menjadi Latar Baru Kisahku
Andika Cahya Imama, S.Pd.
Tiga tahun lampau sejak serangan Covid melanada, aku memutuskan untuk mencari penghidupan yang layak. Meskipun sejatinya aku masih bisa untuk bertahan hidup dengan gaji guru swasta di sekolah pinggiran desa. Mencari tambahan penghasilan dengan ikut menjadi pengajar di bimbingan belajar yang aku dirikan bersama teman sejawatku. Sesekali ke kebun cengkeh milik bapakku untuk memungut daun kering yang bisa aku jual kepada pengepul kecil di kampungku. Ikut menjajakan dagangan ibukku sebagai pengrajin keripik pisang juga aku lakukan.
Masalahnya dua anakku yang semakin tumbuh dan biaya rumah tangga yang tak sebanding dengan sebualan uang yang aku dapatkan. Tak jarang harus berhutang ke tetangga atau bahkan koperasi pertanian yang aku ikuti. Mungkin aku mampu bertahan dengan segala keadaan yang menimpaku. Tetapi bagamana dengan istri dan anak-anakku? Aku tak ingin mereka menanggung atas ketidakmampuanku memberikan kehidupan yang layak. Dalam hati yang sedang gundah dan pikiran yang masih jauh dari ide menghasilkan uang lebih, terbesit gagasan untuk mencoba keberuntungan di lain daerah.
Kuputuskan untuk mendaftar sebagai guru di lingkungan perkebunan sawit swasta. Setelah dua kali percobaan sebagai guru PNS yang berujung gagal. Kucari lowongan kerja yang sesuai dengan gelar sarjana yang aku dapatkan mulai dari internet maupun media masa. Tidak cukup sehari dua hari bahkan berbulan-bulan aku mencari. Dari sekian banyak kiriman lamaran dua diantaranya meresponku. Best Foundation merupakan yayasan yang ada di bawah naungan Best Agro Internasional. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan pengolahan kelapa sawit akhirnya sudi menerimaku dengan keterbatasan yang aku miliki. Proses demi proses terlewati dan Sampit menjadi latar perjuanganku.
Perjuangan yang aku dedikasian untuk kedua anakku dan anak-anak karyawan perusahaan. Kami senasib seperjuangan, aku mencari penghipuan yang layak demikian juga mereka. Sedari kecil sudah meninggalkan kampung halaman yang begitu buram mereka mengingat namaya. Entah bisa kembali atau hanya menyimak cerita ayah dan ibundanya. Tentang gunung, sungai, sawah, dan pekarangan yang ditinggalkannya.
Kujalani hari-hariku dengan penuh semangat. Berbekal sepikul harapan yang selalu memacuku. Walaupun ribuan kilometer jarak membentang antara aku dengan teman sepermainan yang kadang masih bergurau bersama di teras rumah. Kenangan tentang indahnya pantai dan sawah tempatku dibesarkan, tidak pernah lekang dari pikiran. Teriakan anak-anak desa membekas selalu di telinga. Suara panggilan ibu dan bapakku sampai menggema di mimpiku. Namun, asa yang aku citakan tidak lebih kecil dari semua lamunanku.
Aku beranjak berdamai dengan segala lamunan tentang kampung halaman. Terbenam oleh asyiknya mancing haruan dan nikmatnya sayur kelakai. Bahkan daging burung kruwok yang rasanya melebihi enaknya ayam kampung. Nampaknya aku terpikat pada Kalimantan. Pulau yang kaya akan hasil alam dengan sungai mengitari di setiap kotanya. Sepertinya aku mulai nyaman dengan latar cerita kelanjutan kisah kehidupan sederhana. Sampit kota yang pernah kelam pada beberapa waktu lalu. Namun indah bagiku, dimana asa yang aku angankan berangsur-angsur nampak adanya.
Aku adalah seorang pendidik sekolah dasar. Cita-cita kedua yang aku dambakan sejak duduk di bangku sekolah. Profesi yang ada di benakku setelah menyaksikan sosok guru SD yang namanya tak pernah lupa dari ingantanku. Pak Kadeni, guru kelas IV SD yang mengantarkan kami hingga lulus. Tiga tahun bersama kami 12 anak desa sebagai wali kelas. Cara mengajar yang tidak membosankan dan mahir di segala mata pelajaran. Beliau jago matematika sampai bermusik gamelanpun dikuasainya. Motor yamaha jadul yang dikendarainya dengan suara khas sedikit mengelitik. Beliau menjajakan jajanan buatan istrinya. Setiap pagi kami nantikan kedatangannya. Selepas mengajar masih sempat ke ladang untuk mengurus tanamanya. Sosok yang ideal untuk seorang pekerja bagiku.
Di tengah perkebunan kelapa sawit kami tinggal. Berteduhkan rumah tipe G10 yang hanya perlu kami merawatnya. Menyapu di sore hari serta singkirkan sarang laba-laba di sudut langit-langit dan jendela. Jauh dari hiruk pikuk kebisingan suara knalpot kota. Dekat dengan suara alam, kicauan burung dan bunyi-bunyian serangga. Keadaan yang sangat tenang untuk memunajat segala bentuk asa.
Tapi tidak bagi istriku. Gelisahnya bahkan baru dimulai sejak tinggal di sana. Dia menyusulku setahun setalah kami menjalani asmara rumah tangga terhalang lautan. Berat badannya tidak seperti ibu beranak dua. Entah banyak pikiran atau menahan kerinduan sejak kutinggalkan. Memang kami hanya dapat bersua lewat suara dan sesekali videocall untuk melepas kerinduan. Itupun jika sinyal internet dapat kami jangkau. Karena di lokasi kami saat itu masih susah signal. Beruntung saai ini ada tiang pemancar sebuah operator seluler yang didirikan di tengah perkebunan. Namun, itu setelah kami sudah bersama kembali.
Hidup di dalam kebun sawit yang luas dengan meninggalkan rutinitas kerja sebagai tenaga bantu administrasi sebuah lembaga pemerintah membuatnya sedikit kagok. Sejauh mata memandang didominasi ribuan pohon sawit yang menjenuhkan. Pemandangan yang baru saja ia saksikan jauh berbeda dari lingkungan yang ia tinggali sebelumnya. Menghadapi lingkungan baru yang hiterogen multi budaya, etnis dan bahasa menjadikanya harus mampu menyesuaikan diri. Lebih-lebih ia hanya tinggal di perumahan yang sepi saat jam kerja dan sunyi saat malam tiba. Kehidupan yang tidak pernah ia bayangkan.
Inilah takdir hal yang terjadi untuk dijalani. “Kita jangan sampai terlena dengan urusan perasaan, sehingga mengesampingkan kenyataan!”, kataku. Senyum kepasrahan yang dia tunjukkan saat menanggapi seruanku. Seakan dia memahami apa yang aku katakana. Meskipun masih saja membanding-bandingkan kehudupan yang dulu kita jalani bersama. Dari isi bicaranya yang lebih menyukai saat kami masih dekat dengan keluarga. Tuturnya ini adalah hal terberat bagi perantau dimana keluarga yang setiap waktu ada untuk kita, kini hanya mampu kita bayangkan keberadaannya.
Senyum istriku sedikit tambah lebar melihat Naqia dan Fawwaz anak kami, mulai berteman dan bermain dengan anak-anak tetangga. Di awal kedatangannya, kedua anakku nampak canggung dengan teman-temannya. Mulai dari belum mengenal satu sama lain sampai perbedaan bahasa yang digunakannya. Beruntung kami tinggal di lingkungan perumahan tetangga yang ramah meskipun kita berbeda agama, suku, dan bahasa. Kita disatukan oleh semangat perantauan. Menjadikan keluarga baru bagi kami menggantikan keluarga sedarah yang kami tinggalkan. Susah senang bersama menjalani hari-hari mewujudkan impian masa depan.
Setelah beberapa bulan istri dan anak-anak tinggal bersama, kami mendapatkan anugrah yang luar biasa. Lamaran kerja yang istriku ajukan akhirnya diterima. Kesepian saat aku tinggal kerja kini sudah tiada. Berganti dengan kesibukan bekerja yang mulai menggeser isi pikirannya. Hari-harinya mulai dipadati oleh kegiatan, sehingga topik pembicaraan selagi kami berkumpul di rumah saat sore dan malam hari mulai berganti dengan perbincangan tentang pekerjaan.
Pekerjaan kami sama yakni di bidang pendidikan untuk anak-anak karyawan perkebunan. Kami terlibat secara langsung dalam memberikan pelayanan pendidikan. Pendidikan bagi anak-anak karyawan yang bekerja pada perusahaan. Karyawan yang datang dari segala penjuru Indonesia membawa beserta keluarganya. Anak-anak yang turut bersama orang tuanya tersebut supaya terpenuhi hak mendapatkan pendikannya. Maka hadirlah kami melayani pendidikan dan belajar bersama. Para karyawan diharapkan fokus dengan pekerjaannya sedangkan anak-anaknya belajar di sekolah yang telah disediakan.
Tantangan cukup besar bagi seorang guru seperti saya mendapatkan murid dengan latar belakang budaya, etnis, agama dan bahasa yang beraneka ragam. Memahami karakternya dan menerapkan layanan yang sesuai kebutuhannyua. Di sisi lain kita mudah mengajarkan arti kebhinekaan kepada mereka. Modal lingkungan yang beranaka ragam, diharapkan mereka dapat belajar toleransi, saling menghargai dan menghormati antar sesama manusia.
Kami bersama berjuang untuk masa depan yang lebih gemilang. Masa depan keluarga juga masa depan anak yang sedari kecil sudah menjadi perantau dengan ikut orang tuanya. Tiada perjuangan tanpa pengorbanan. Misalnya, demi perjuangan meningkatkan taraf hidup keluarga kami meninggalkan kenyamanan yang telah menyelimuti sebelunnya. Supaya mendapatkan kehidupan yang cenderung layak. Sehingga dapat melanjukan kehidupan yang bahagia.