Langkah Bersama Sungai, Gunung, dan Awan – Cerpen Rahmah Nimas Widyantika

Merpati, Senja, dan Lelakiku

Langkah Bersama Sungai, Gunung, dan Awan
Karya: Rahmah Nimas Widyantika

Aku melayangkan satu pertanyaan. Entah pertanyaan ini dilayangkan untuk siapa. Entah siapa yang akan menjawab pertanyaan ini. Pertanyaannya, bagaimana aku bisa seperti itu?

Kemarin, aku adalah seorang ambisius yang baru saja berhasil memasuki jurusan bahasa dan sastra Indonesia. Jurusan yang aku pilih tanpa keraguan. Jurusan yang aku pilih karena rasa keinginan yang tiba-tiba. Jurusan yang aku pilih, seakan-akan itu adalah yang terbaik untuk ku. Padahal, sebelumnya aku bukan seseorang yang bisa disebut dengan anak bahasa. Di waktu-waktu sebelumnya, aku jauh dari sebutan itu. Di masa-masa sebelumnya, aku jauh dari dunia sebutan itu. Di saat-saat sebelumnya, aku jauh dari kesempatan untuk mengambil sebutan itu.

Teori dan angka adalah makanan sehari-hari ku. Hidup ini terfokus pada dua corak itu. Ku geluti dengan alot hingga kedua diantaranya mandarah daging pada diri ini. Ku terima semua senangnya, ku hadapi semua susahnya. Telah dikerahkan segala cara untuk menggandrungi segala teori yang dimaksud. Telah dikerahkan segala kiat dan solusi untuk memecahkan runtutan angka yang dimaksud. Aku bisa. Aku bisa melakukannya. Akan tetapi, ketika barisan kata itu hadir. Ketika barisan diksi itu hadir. Ketika tumpukan kalimat itu hadir. Ketika barisan seni huruf itu hadir. Ketika indahnya sastra itu hadir. Sampai ketika, bahasa dan sastra itu hadir. Aku jatuh cinta.

Rasa penasaran ini terhadapnya tanpa disengaja sudah mandarah daging. Ketiba-tibaan perasaan ini ku terima kedatangannya. Kehadirannya ku sambut dengan senang hati. Dalam waktu yang singkat aku merasa dirinya tak akan menghianatiku. Tak ada rasa sakit hati ketika aku mendekatinya. Tak ada penyesalan ketika aku meninggalkan mereka yang sebelumnya. Dengan keikhalasan diri, aku meninggalkan mereka. Ku ucapkan selamat tinggal pada mereka, teori dan angka. Ku ucapkan terima kasih dengan tulus karena telah membukakan langkah baru. Ku ingat selalu dalam hati yang paling dalam, atas kehadiran mereka sebelumnya. Lantas. logika yang menyertakan bibit-bebet-bobot sebagai pertimbangan kemudian menjadi simpulan bahwa aku menyukai bahasa dan sastra Indonesia. Aku ingin kerap akrab mengabdi bahasa, mematri sastra, dan mencuatkan bahagia dengan karya.

Namun, memang benar. Semasa awal aku menggelutinya, aku merasa sangat senang. Banyak sekali corak kegiatannya yang menyenangkan. Aku rasa, itu menyenangkan. Bukan paksaan, tetapi memang benar adanya aku serius menyukai ini. Di sana, aku melihat mereka yang mencoba berbagai ekspresi dengan berdrama. Aku melihat mereka yang lemah lembut dengan berpuisi. Aku melihat mereka yang berjuta imajinasi dengan menulis cerpen. Aku melihat mereka yang bahagia dengan segala cara. Lalu, malam ini, di depan cermin, aku melihat diri ku sendiri. Bagaimana bisa aku seperti itu?

Aku jatuhkan tubuh ini ke kasur dengan berharap agar cepat terlelap. Ku pejamkan mata sembari mengusir pikiran tentang pertanyaan tadi. Semua terasa tenang. Sampai ketika tiba-tiba tubuh ini terasa basah. Ku buka kedua kelopak mata ini dan langsung membelalakannya. Terlihat tubuh ku terbaring pada suatu sungai di bawah tebing yang sangat tinggi. Sungai ini begitu tenang tak mengalir. Aku kebingungan harus berbuat apa. Ku pikirkan segala cara agar bisa keluar dari sungai ini. Satu-satunya cara adalah dengan memanjat tebing tinggi itu. Aku tidak pandai memanjat. Aku takut terpeleset. Aku takut tangan ku tergores. Akan tetapi, aku lebih takut berada di sungai ini terlalu lama. Aku ingin keluar dari sini. Aku ingin memanjat tebing ini. Lalu, ku beranikan diri untuk menggenggam tebing disana dan mulai memanjatnya. Belum lama aku memanjat, tebing ini tiba-tiba bergoyang. Aku terjatuh kembali ke dalam sungai. Menakutkan, sungai ini mulai mengalir sangat kencang dan aku terbawa arusnya. Ku pejamkan mata ini dengan berusaha tenang dan membiarkan tubuh ku terbawa alirannya.

Sampai ketika, kepala ku terbentur pada sebuah pohon. Kini aku berada di atas gunung. Pikir ku sudah aman berada di atas sini. Saat ku lihat ke bawah, di sana ada lautan lava mendidih yang seakan-akan ingin membanjiri gunung ini. Sungguh menakutkan. Aku tidak tahu harus berbuat apa kali ini. Lagi-lagi yang ada dipikiran ku hanya untuk memanjat ke atas gunung yang lebih tinggi. Akan tetapi, bagaimana jika aku terjatuh lagi. Di bawah sana bukan sebuah sungai, melainkan sebuah lava.

Melihat lava itu semakin ingin mendekati pijakan ini, ku percayakan diri untuk memanjat ke atas gunung. Tekad ini menguatkan pijakan kaki dan genggaman tangan ku. Tak terasa setelah aku memanjat, aku melihat sebuah awan di atas sana. Ku bertanya-tanya apakah itu surga atau hanya sebuah awan yang jika ku pijak, akan menjatuhkan diri ini lagi. Ku biarkan pikiran itu berkeliaran. Ku teruskan langkah ini ke depan. Ku amatkan pandangan ini ke atas. Ku percayakan diri untuk bisa terus menaiki gunung ini. Sampai ketika, aku benar-benar menggenggam dan memijakkan kaki ku pada sebuah awan. Terasa empuk dan nyaman. Ku baringkan tubuh ini tanpa beban. Helaan napas keluar tanpa hambatan, lega rasanya. Ku pejamkan mata lagi dan ku tarik kedua ujung bibir ini. Aku merasakan empuknya awan, sejuknya udara, dan kenikmatan atas keberhasilan setelah melewati segala kejadian aneh tadi.

Tak lama setelah itu, aku mendengar alunan musik yang sangat mengganggu. Entah kejadian apa lagi ini. Lalu, dibukanya mata ini dan terlihat di atas sana ada jam raksasa yang secara kencang siap menghantam tubuh ku.

“Aaaa!”

Aku menjerit heboh dan melihat seisi kamar ku. Ternyata musik itu adalah suara alarm. Yang berarti aku baru saja terbangun dari tidur ku. Yang berarti juga, aku baru terbangun dari mimpi. Semua kejadian aneh tadi hanya mimpi. Aneh.

Kini saatnya aku kembali menjalankan aktivitas menjadi mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia. Dihadapi beragam gejolak tugas indah yang sudah lama ku nantikan kecanduannya. Bermacam ekspresi ku coba dalam drama. Bermacam diksi tulus ku coba dalam puisi. Bermacam imajinasi ku tuangkan dalam cerpen.

Melihat diri ini pada akhirnya bisa seperti itu, bangga rasanya. Satu bagian waktu ditempuhnya pendidikan tinggi ini, lega rasanya. Simbolik huruf yang menilai energi langkah awal ini, bersyukur rasanya. Aku merasa sangat bahagia bisa seperti ini. Aku merasa sangat bahagia bisa membuat diriku seperti ini.

Teringat dari sebuah mimpi yang ku sebut kejadian aneh. Seperti dipanjatnya tebing rapuh itu yang membuat air sungai mengalir, membuat diri ini telah berani melakukan sesuatu seiring berjalannya waktu. Seperti tekad dipanjatnya gunung sampai ke atas awan, membuat diri ini bisa menancapkan rasa percaya diri. Sampai seperti dinikmatinya pencapaian ke sebuah awan, membuat diri ini terus bersyukur atas semua proses yang menuntun langkah awal untuk terus melangkah ke langkah ke depannya.

Tagar:

Bagikan postingan

7 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *