Meja-Meja Tak Bertuan
Karya: Lia Laeli Muniroh
Kedua kakimu terhenti. Menepi pada tiang pembatas jalan. Tangan kananmu memegang pembatas jalan itu. Kau selalu menyempatkan waktu untuk berhenti sejenak. Ya, di jembatan itu. Jembatan pemisah dua desa. Tadinya kau memutuska tidak akan mengajar hari ini karena ketiadan payung. Tapi kau urungkan niatmu demi anak didikmu. Kau sudah pasrah jika saja di tengah perjalanaa kau akan diguyur hujan.
Kau tahu, jembatan itu, dulunya hanya terbuat dari kayu-kayu yang disusun dari swadaya masyarakat setempat. Tak ada tujuan lain hanya untuk menunjang kegiatan mereka sehari-hari. Masyarakat setempat terbiasa pergi bertani. Setiap pagi mereka pergi ke sawah, ladang, kebun, dan sebagainya.
Kau sempat khawatir ketika kau pertama kali harus mengajar melalui medan yang tak kau inginkan. Kau sadar, saat itu jembatan yang terbuat dari kayu dapat mengancam nyawa kapan saja. Siapa saja yang tidak hati-hati melewatinya akan meluncur ke dasar sungai. Kau bersyukur, jembatan itu kini sudah berganti menggunakan beton.
Dari atas beton itulah kau selalu melihat ke dasar sungai yang jaraknya sekitar lima meter. Kau menarik napas dalam lalu perlahan kau mengembuskannya. Kau menatap air sungai yang seolah bergerak-gerak dengan suara nyaring. Kau sejenak menurunkan lelahmu. Setengah perjalanan telah kau lalui menyusuri jalan setapak. Naik turun medan yang kau susuri membuat kau terkadang ingin menyerah. Tidak mudah kau lalui semua itu saban hari. Peluh yang membintik di wajahmu sesekali kau seka dengan ujung hijabmu yang lebar. Hampir satu dekade kau melakoni itu semua. Satu setengah jam waktu yang kau tempuh untuk sampai di tempat kerjamu sekali jalan. Bukan waktu yang sebentar. Tapi keinginan untuk mengabdi pada negerimu mengalahkan semuanya.
Dua tanjakan lagi yang harus kau lalui menuju tempatmu menyebar butir-butir ilmu. Kau dengan sukarela menebarkannya pada anak didikmu. Tangan kananmu kembali mengangkat tas jinjing dan kau mulai mengayuh langkah meneruskan setengah perjalanan yang tersisa.
Langit menyepuh kesuraman, awan pekat seakan berat hendak meluapkan isi perutnya. Gemuruh mulai terdengar menyambar saling bergema. Entah alam sedang bercanda. Pagi itu tak ada geliat petani yang biasa pergi nyaris bersamaan dengan keberangkatanmu. Mereka sama-sama mencari penghidupan. Bedanya tempat yang dituju. Mereka menuju sawah, ladang, dan kebun. Sementara kau menuju sebuah bangunan yang disebut sekolah. Letak bangunan itu persis menjulang di tengah sawah.
Hampir sebulan hujan nyaris tak berhenti mengguyur daerahmu. Pagi itu mentari tak menetas sempurna. Hanya menyemburkan cahaya kelabu dengan benang-benang halus yang meraba hamparan alam. Tak bertahan lama, lalu meredup berganti dengan buliran lembut yang seakan sengaja diturunkan dari langit. Kau mempercepat langkah. Tak ada satu pun para petani yang biasa bertemu denganmu. Padahal, kau terbiasa menyapa para petani itu. Tak kau temukan para pekerja yang menjamah sawah mereka. Tak ada kuli panggul kebun yang biasa hilir mudik mengangkut sayur mayur dan menyapamu. Bahkan kau sudah seperti keluarga dengan mereka. Begitulah adat ketimuran yang biasa dipelihara di desamu. Jika musim panen di kebun-kebun petani. Tak sedikit hasil bumi yang sengaja dibagi denganmu. Kau dapat membawa semaumu untuk dibawa ke rumah. Kau menjadi panutan bagi mereka. Merekalah orang tua dari anak-anak didikmu. Dalam batinmu penuh tanya. Kenapa mereka sengaja tidak mendatangi sawah dan kebun mereka hari ini?
Bulir lembut yang turun dari langit lama kelamaan menjadi deras hingga beberapa anak didikmu tampak berlarian menuju sekolah. Kau pun terpaksa mengangkat setengah betis rok yang kau kenakan. Kau sampai di bangunan tempatmu menebar ilmu dengan napas yang terengah-engah. Dengan sekuat tenaga kau menaiki jalanan berbatu dan terjal menuju tempat mengajar yang lebih tinggi dari daratan yang lain. Kedua matamu melirik pada jarum berdetak yang melingkar di pergelangan tanganmu.
“Bu Mun. Tidak mengenakan jaket? Padahal hari sedang dingin.”
“Ya, lupa Pak. Sepertinya akan turun hujan lagi. Belum ada pengajar yang datang, Pak?”
“Belum, Bu.”
Kepalamu melirik ke arah kanan dan ke kiri. Hanya ada meja-meja tak bertuan. Satu pun rekan sejawatmu belum ada yang datang. Padahal tanggal muda masih menyapa dengan rupiah yang menjanjikan. Kau hanya menghela napasmu. Terasa tercekat pada tenggorokanmu. Kau takkan berharap banyak untuk kemajuan sekolahmu. Nyatanya, meski jatah dari pemerintah setiap tanggal muda. Tak membuat rekan kerjamu yang statusnya sudah dianggap abdi negara, tidak lebih baik tanggungjawab dan kepeduliannya terhadap pendidikan sekolah.
Bahkan sebagian rekan kerjamu sering kau dapati, pekerjaannya tak berbanding lurus dengan kinerja yang diberikan oleh mereka. Sedangkan kau. Kau sendiri hanya pekerja yang banyak dituntut tenagamu. Dan tak ada setiap bulannya rupiah sebanyak rekan sejawatmu. Kau hanya satu di antara tiga orang sahabatmu yang statusnya sama sepertimu. Belum disahkan sebagai abadi negara. Tapi kau tak pernah mengeluh meski ulu hatimu terkadang iri jika kau bandingkan beban kerja yang kau jalani.
Kau menempelkan ujung pantatmu pada kursi yang teronggok di antara meja-meja pengajar yang berderet-deret. Kau mengedarkan pandangan hingga waktu bergerak cepat. Riuh murid-murid terdengar semakin nyaring. Mereka seakan protes karena belum ada pengajar yang masuk kelas. Kau bangkit dan mengambil satu buku untuk kau ajarkan sebagaimana biasanya.
Kau kembali berpapasan dengan penjaga sekolah, Pak Risman. Di tangan kanannya tampak menenteng pengki dan bak sampah plastik wana biru tua. Dari kejauhan Pak Risman, mengangkat kedua ujung bibirnya tanda penghormatan kepadamu sebagai pengajar. Kau pun membalas penghormatannya dengan menganggukkan kepalamu. Dalam batinmu bergemuruh melihat apa yang dilakukan Pak Risman. Ia dengan senang hati mengerjakan pekerjaan sekolah setiap hari. Kau tahu, Pak Risman selalu datang paling pagi untuk membuka kunci sekolah dan membereskan semuanya. Ia pun akan pulang paling akhir untuk menutup gerbang sekolah. Kau melihat kinerjanya yang sepenuh hati dilakukan tanpa pernah mengeluh, tanpa pamrih, dan tak pernah mendemo kepala sekolah untuk dinaikkan gajinya. Padahal jika dibandingkan dengan pengajar lain, gaji Pak Risman jauh berkali-kali lipat lebih rendah.
“Dari mana sampah-sampah itu, pak?’
“Dari bawah pohonn sukun, lihat daunnya yang bergugur banyak sekali. Mungkin sedang masa penghujan ya, Bu.”
Kau menengok pada sebuah pohon sukun yang menjulang di pojok sekolah. Benar saja pohon sukun itu telah tumbuh cepat. Padahal kau masih ingat, ketika dulu kau datang ke sekolah itu pohonnya masih setinggi badanmu. Kau menyadari keberadaanmu di sekolah itu hampir dua dekade. Pantas saja sekarang pohon itu telah berbuah. Tampak di beberapa titik menonjol buah-buah sukun berbentuk menyerupai bola ynag saling berpelukan.
“Jika ibu mau buahnya, nanti saya ambilkan untuk dibawa pulang.”
“Beneran, Pak. Bolehlah untuk digoreng.”
“Betul, Bu. Dimakan hangat-hangat cocok di musim penghujan begini.”
“Baiklah, Pak. Saya masuk kelas dulu.”
Pak Risman menganggukkan kepala dan berlalu. Kau mempercepat langkah menuju kelas tempatmu menyampaikan nilai-nilai kebaikan. Hanya setengah siswamu yang hadir saat itu. Suara hujan di atap genteng kian nyaring terdengar. Meski tidak banyak siswa yang sekolah, namun tak menyurutkan niatmu untuk terus mengabdi. Teriakan dan gurauan siswa lain dari ruang kelas sebelah tiada henti. Suara nyaring mereka seakan saling mengejek dengan bunyi kilat dan air hujan yang terus mengucur dari langit. Kau tak dapat berdiam diri. Hanya kau satu-satunya pengajar yang datang. Kau memeras isi tempurungmu, bagaimana kau dapat membagi satu tubuhmu untuk enam kelas. Kau harus berpindah-pindah kelas hanya sekadar memberikan tugas.
Entah karena guyuran hujan yang turun hingga rekan kerjamu menjadikan alasan untuk tidak datang atau menyampaikan tugasnya. Kau merasa tenagamu terkuras habis. Hingga suara azan duhur dari kejauhan sayup-sayup terdengar. Anak didikmu tak dapat menahan diri untuk tidak berbasah-basahan. Mereka berjingkrak jingkrak menerobos dinginnya hujan yang tak kunjung usai. Wajah mereka tanpa beban memanggul tas sekolah yang mulai terbasahi. Kau melepaskan mereka dengan ketulusan.
Kau merebahkan tubuhmu di kursi berbentuk huruf L. Kau tatap meja kepala sekolah dan meja-meja rekan sejawatmu yang tak bertuan. Nahas, hingga waktu pulang tiba mereka tak ada yang datang, lirihmu pelan. Hanya menyisakan kertas-kertas yag bertumpuk di atas meja mereka. Kau menyesap air putih yang kau ambil dari termos untuk menghangatkan badanmu. Tiga tegukan cukup melonggarkan tenggorokanmu yang kering.
Pintu ruang kantor terbuka. Pak Risman tampak berdiri dengan lima butir buah sukun yang sudah diikat dengan kulit batang pisang di tangan kanannya. Kau mengangkat kedua ujung bibirmu. Ada sesuatu yang akan kau bawa pulang hari ini. Kau berdiri mengambil buah sukun yang diangsurkan Pak Risman.
“Hari ini ibu bekerja sendirian.”
Kau hanya menerbitkan bulan sabit dari bibirmu. Sebelum kau melangkah meninggalkan kantor sekolah, kau dan Pak Risman seakan bersamaan melirik ke arah meja-meja pengajar yang tak bertuan. Kau berpamitan kepada Pak Risman dengan membawa buah sukun menerobos hujan yang mulai mereda.
satu Respon
Tidak paham Alvin 10 1