Pagi yang Lucu
Oleh: Siti Miftachussolichah, S.Pd.
“Assalamualikum, good morning bunda?” sambutan hangat yang ku terima hampir setiap pagi. Kali ini seuntai kalimat itu keluar dari mulut mungil Yuri sambil memelukku, tulus. Anak-anak meraih telapak tanganku dan menciumnya bergantian satu sama lain. Kebiasaan yang diterapkan kepada siswa-siswi salah satunya adalah bersalaman mencium tangan guru. Berharap hal-hal sederhana semacam itu kelak akan membentuk akhlak anak-anak menjadi generasi yang mengenal dan menerapkan ilmu tawadhu’. Iya, aku seorang guru sekolah dasar yang akan menjadi bagian dari proses tumbuh kembang anak-anak bangsa untuk menjadi versi terbaik mereka dan meraih masa depan terbaik mereka.
“Wa’alaikumsalam, good morning. Waaah, wangi-wangi banget hari ini” jawabku sekena nya. Karena memang hari ini anak-anak terlihat lebih bersih dan rapi. Terang saja, ini masih hari senin jadi baju seragam yang dipakai masih bersih dan rapih. Coba kalau hari selasa, masih pagi saja seragamnya sudah beraneka ragam warna yang menghiasi. Bagian siku dan lutut sudah pasti warna coklat yang menempel. Belum lagi tetesan saos di dada, coretan pensil dan juga krayon.
Setelah meletakkan tas dan juga bekal di meja, juga bersalaman dan berpelukan dengan anak-anak, aku keluar kelas untuk menuju ke halaman depan sekolah. Seperti biasa aku harus mengisi absen dan menyambut siswa-siswi di halaman sekolah bersama para guru yang lain. Yang pertama aku tuju adalah meja absen, memegang pena yang tersedia dan memasang mata diikuti gerakan telunjuk jari dari atas ke bawah, sejeli-jelinya untuk mencari secari nama “Alenia Keira Putri, S.Pd”. iya itu namaku. Nama yang membawa penuh harapan dan doa kedua orang tuaku. Namaku sudah kutemukan, lalu kububuhkan tanda tangan.
Selesai membubuhkan tanda tangan, kakiku seperti sudah otomatis terprogram berjalan menuju gerbang sekolah. Bertemu dengan banyak guru yang sudah wangi, rapih, dan memasang senyum terbaiknya pertanda siap menghadapi pertempuran hari ini. Aku menyalami mereka satu persatu dan bergabung berdiri di barisan paling ujung. Kami menyambut siswa, membukakan pintu mobil, membantu anak turun dari motor, bersalaman dengan setiap siswa yang baru saja datang di antar ayah, ibu atau saudara mereka. Kami menyambut para generasi penerus bangsa, ujung tombak nasib negeri ini.
Bel masuk berbunyi, aku sudah pasti langsung menuju kelas dan menjalankan peranku sesuai porsi. Hal pertama adalah mendampingi siswa-siswi untuk salat Dhuha di dalam kelas.
“Ayo disiapkan alat sholatnya dan sholat Dhuha berjamaah” ucapku sambil berdiri disamping loker siswa.
“Bun, imamnya siapa hari ini?” tanya Andra sambil sibuk menyiapkan sajadah.
“Kan jadwalnya sudah ditempel, dilihat dong sayang” jawabku singkat.
“Abrizam buuuun, Abrizam imam sholat Dhuha hari ini” teriak Seta gercep melihat jadwal imam salat yang sudah tertempel didinding. Seta memang bertugas sebagai seksi keagamaan di kelas, jadi wajar dia akan selalu mengingatkan petugas imam salat setiap hari.
“Nah tuh, ayo Abrizam jadi imam. Ingat sholatnya tidak boleh bercanda ya, berdoa dengan khusyuk, menghadap Allah harus apa?” tanyaku pada anak-anak.
“Seriuuusssss!” jawab anak-anak dengan kompak.
Suasana kelas sejenak hening, semua siswa-siswi khusyuk. Sedangkan aku mengawasi sembari mengambil gambar menggunakan ponselku untuk kukirimkan ke WhatsApp group wali murid. Para guru memang harus mengabadikan dan membagikan moment kepada wali murid supaya mereka ikut menyimak kegiatan yang anak-anak lakukan. Saat salat dhuha aku sengaja salat di rumah supaya di kelas aku bisa mengawasi anak-anak salat sekaligus melatih mereka untuk bertanggung jawab terhadap ibadah mereka sejak dini. Walaupun tidak dipungkiri pasti ada salah satu atau salah dua siswa yang masih bercanda dan banyak gerak ketika salat.
“Bund, tadi Arkan sholat masa gerak-gerak tangannya pas sujud” lapor si Dion. Laporan seperti itu hampir selalu ada setiap harinya. Dengan pelaku dan pelapor yang berbeda-beda. Tetapi aku hafal dan aku menerimanya.
“Kok, kamu tau dia gerak-gerak, berarti kamu tengok-tengok dong pas sujud?” jawabku pada Dion.
“Hehehe, ya kan aku ga sengaja bund” jawabnya singkat sambil nyegir. Aku menahan tawa, tapi tetap harus menjaga wibawa. Memang kadang-kadang mereka ini banyak lucunya.
“Ya sudah, besok lagi jangan diulangi ya Arkan, Dion. Kan sayang udah sholat tapi kalau tidak sah sholatnya” nasehatku pada mereka. “Udah sekarang berdo’a lalu selesai berdoa disiapkan alat mengajinya, kita ngaji ya” sambungku.
Selesai salat Dhuha berjamaah anak-anak berdoa bersama dipimpim ketua kelas. Setelah berdo’a, semua siswa-siswi mengambil Al-quran dan Iqro’ masing-masing. Mereka maju ke mejaku satu persatu sesuai nama yang aku panggil. Aku menyimak dan mengoreksi bacaan mereka dengan teliti dan mengajarkan yang benar.
“Heeeem, panjang pendeknya dong Abrizam” tegurku pada Abrizam.
“Hakama, lajama a’. Eh, bentar-bentar” selanya ketika sadar akan kesalahannya membaca Iqro 2 halaman 32.
“Panjang dong baca huruf maa nya” tegurku lagi.
“Iya bund, maaf. La jamaa a’” lanjutnya. “fataqoya” bacanya lagi.
“Huruf ya nya jangan di baca. Fataqoo. Qo nya dua harokat” aku membenarkan.
“Lah ini ada huruf ya bun,kok ga di baca?” tanya nya bingung.
“Iya kan ya nya tidak ada harokat, jadi jangan dibaca, kalau ada harokatnya baru kamu baca” aku berusaha memberikan penjelasan yang mudah diterima.
“Oh, berarti huruf ya nya cuma buat bagus-bagusan aja ya bund, kaya huruf wa kemarin. Kaya buat bagus-bagusan aja” jawabnya dengan polos.
Mendengar jawaban Abrizam, aku tidak sanggup untuk tidak tertawa. Aku tidak menyangka istilah ”cuma buat bagus-bagusan” bisa ia ucapkan. Tanpa protes panjang Abrizam melanjutkan bacaannya hingga selesai dan menerima penjelasanku yang seadaanya tadi.
“Nanti kapan-kapan bunda jelaskan kenapa ada huruf ya nganggur di situ ya, dia punya asal usul jadi bukan buat bagus-bagusan saja. Sekarang gentian yang lain ngaji keburu waktunya habis” terangku padanya. Lalu dilanjutkan dengan siswa lain yang mengaji dengan semangat. Namun, hanya ada satu yang memiliki istilah “Cuma buat bagus-bagusan” yaitu Abrizam.
Menyimak dan mengajar bacaan Al-quran dan Iqro’ belum selesai, satu dua murid perempuan sudah menghampiriku sambil memeluk dari samping. Hal itu adalah sebuah pertanda bahwa mereka sudah mulai bosan memegang Al-quran dan Iqro’, mereka mengajak memulai pelajaran hari ini. Mereka tidak sabar ingin bermain game sambil belajar. Karena beberapa hari lalu aku menjanjikan akan mengajak mereka bermain game seru sambil belajar.
“Bunda, kapan belajarnya?” rengek Sheril sambil memelukku.
“Ayo, setelah ini ya, tunggu Seta dan Raziq selesai mengaji dulu. Sabar sedikit” aku mejawabnya dengan lembut.
“Jadi main game kan bun?” tanya Ratu.
“Iyaaaaa” jawabku singkat.
“Yeeeeeay, kita main game temen-temeeeen” teriak Ratu dan Sheril berbarengan sangat girang.
Inilah alasan aku menyukai profesiku sebagai guru, Selain aku bisa tetap terus belajar dan mengajarkan ilmu yang aku dapat, aku juga bisa tertawa dengan hal-hal receh akibat kepolosan anak-anak. Aku bisa menikmati hari yang menyenangkan bersama mereka. Pun aku bisa terus mempertebal kesabaranku yang setipis tisu ketika menghadapi bermacam-macam sikap anak-anak yang tak jarang menyulut emosi. Aku bersyukur aku menjadi seorang guru.
2 Responses
Bagus, mudah di mengerti dan sangat menginspirasi 👍
Terimakasih 🙏