Pengalaman Terhebat
Karya: Lulu Nelul Janah Nurrohmah, S.Pd.
“Selamat pagi anak-anak, mulai hari ini Ibu akan menjadi wali kelas kalian ya,” ucapku ceria sebagai perkenalan.
Tak ada raut excited ataupun terkesan saat aku memperkenalkan diri, mereka malah tak acuh. Sibuk dengan kegiatannya masing-masing dan itu cukup membuatku down untuk sebuah permulaan.
“Oke … Mel, tenang. Ini baru permulaan, kamu hanya belum mengenal mereka begitu pun sebaliknya. Seiring berjalannya waktu mereka pasti akan dengan terbuka menerima kehadiranmu,” batinku menenagkan.
Mereka adalah anak-anak kelas sebelas IPS yang terkenal dengan kenakalannya di mata para guru, dan entah atas dasar apa pihak sekolah memberikanku amanah untuk membersamai mereka. Seringkali dianggap pembuat onar, semaunya sendiri dan seringkali membuat kesal guru yang masuk ke kelas.
Untuk mengawali kebersamaan, aku tanamkan dalam hati bahwa mereka adalah anak-anak hebat yang memiliki potensi masing-masing dan butuh diarahkan. Tuhan percaya bahwa aku bisa menjadi arah bagi mereka dan pihak sekolah menjadi perantara untukku membersamai mereka satu tahun ke depan.
***
Hari pertama efektif belajar dan rutinitas di sekolah ini setiap pagi di mulai dengan pembiasaan atau pendidikan karakter. Kegiatan yang dilakukan diantaranya salat dhuha, tadarus Al-Qur’an dan pembinaan. Hal ini juga menjadi ajang pendekatan bagi para wali kelas dengan murid-muridnya.
Setelah selesai salat dhuha dan tadarus kini saatnya aku berbincang dengan murid-muridku. Dalam benakku setelah selesai kegiatan salat dan tadarus, mereka akan kondusif untuk mendengarkan. Namun, ternyata mereka malah saling berebut untuk bercerita. Entah apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan, karena sepertinya topik pembicaraan tak pernah habis bagi mereka.
“Bisa diam dulu sebentar,” upayaku untuk membuat situasi kondusif, tapi ternyata mereka abai. Terus mekanjutkan obrolan asik masing-masing.
“Hey … diam dong, ini Ibu mau bicara,” teriak salah satu anak perempuan yang geram juga dengan sikap teman-temannya.
“Hargai dong kalau ada guru di depan,” timpal murid yang lain.
“Bisa ibu minta waktu sebentar untuk berbicara,” ungkapku.
“Bisa, Bu,” jawab mereka serentak setelah terdiam karena bentakan temannya tadi.
Setelah itu mengalirlah banyak pembicaraan antara aku dan murid-muridku. Pelan-pelan mulai menciptakan obrolan dan lelucon yang mebuat seisi kelas tertawa lepas. Mulai memperkenalkan diri lagi secara singkat, dan mulai melihat serta coba memahami karakter mereka satu persatu. Banyak sekali hal yang kita bicarakan, bahkan aku ikut menimpali lelucon konyol yang mereka utarakan. Rasanya aku bisa sering tertawa lepas jika bersama mereka. Apalagi pertemuan seperti ini akan dilalui setiap hari.
***
Hari ini jadwalku sedang mengajar di kelas MIPA, aku adalah seorang guru matematika. Anak-anak biasa memanggilku dengan sebutan BUMEL … singkatan dari Bu Melati. Menjadi guru adalah cita-cita masa kecilku yang akhirnya terwujud di masa kini, dan aku sangat menikmati peranku sebagai seorang guru. Hal yang paling menyenangkan dari profesi guru adalah mengajar, bertemu dengan anak-anak dan tertawa bahagia bersama mereka setiap hari. Meskipun pelajaran yang aku ampu masuk dalam kategori menyeramkan bagi sebagian murid, tapi aku selalu mencoba untuk menjadikannya menyenangkan.
Jadwalku di kelas MIPA sudah selesai dan aku pun keluar dari kelas untuk menuju kelas berikutnya. Namun, langkahku terhenti saat melihat beberapa anak muridku sedang berada di luar padahal ini masih jam pelajaran.
“Loh … kok kamu di luar, Ri?” tanyaku.
“Dikeluarin, Bu,” jawabnya singkat.
“Kok bisa sih?” tanyaku heran.
“Cuma karena gak ngerjain tugas Bu jadi kita di keluarin,” jawab Fahri.
“Eum … pantesan. Kenapa atuh gak ngerjain tugas?” lanjutku.
“Lupa, Bu,” katanya.
“Alasan aja ah itu mah, emang belum dikerjain aja,” jawabku santai.
“Kalau lupa ya harus gimana atuh, Bu. Bu Rima nya aja yang sensi, baru juga sekarang gak ngerjain tugas dan itu pun karena lupa da udah lama … malah di hukum. Padahal guru lain juga gak kayak gini kok Bu.” Fahri menjelaskan dengan menggebu-gebu.
“Jadi siapa yang salah?” tanyaku lagi.
Seketika mereka diam seperti berpikir.
“Ya emang kita yang salah, Bu. Tapi kan bisa jangan dikeluarin dari kelas gitu,” sangkal beberapa dari mereka hampir bersamaan.
“Nah itu tahu kalian salah,” timpalku fokus dengan pengakuan salah mereka.
“Sekarang gini deh … kalian balik lagi ke kelas, terus temuin Bu Rima dan minta maaf,” usulku.
“Tadi juga udah Bu minta maaf, tapi gak dianggap,” lagi-lagi Fahri yang menjawab. “Ya udah ah Bu biarin aku mah gak ikut belajar juga da gak dianggap,” lanjutnya.
Masih dengan keras kepalanya mereka tetap diam di depan kelas MIPA yang dekat dengan toilet sekolah itu. Mereka enggan untuk melakukan saran yang aku berikan, ego mereka masih terlalu tinggi.
***
Akhirnya aku mendapat laporan langsung dari guru yang bersangkutan, Bu Rima. Ternyata anak-anak dikeluarkan karena yang tidak mengerjakan tugas hampir setengahnya dari empat puluh jumlah keseluruhan murid, dan siapa yang tidak akan marah jika hal seperti itu terjadi. Bu Rima mengatakan jika mereka yang tadi dikeluarkan cukup mengerjakan tugasnya dan minggu besok sudah bisa mulai mengikuti pelajaran sebagiamana biasanya.
“Ah males Bu ngerjainnya juga, takut gak diterima.” Respon yang pertama aku dapatkan saat menyampaikan amanah dari Bu Rima.
“Iya Bu, percuma aja kita mengerjakan kalau gak diterima,”ucap yang lain menimpali.
“Saya mah gak peduli, Bu. terserah aja lah gimana kedepannya,” ucap Fahri tak acuh.
Sejak awal anak itu yang sangat menggebu dan terlihat paling kesal dengan kejadian ini. Cukup ketara perbedaanya denga anak-anak lain yang membuatku penasaran sebenarnya ada apa dengannya. Saat hari-hari biasa dia terlihat seperti sosok yang terkadang cuek tapi juga terkadang sangat mecari perhatian. Beberapa murid pun ada yang kesal dengan sikapnya yang tidak jelas itu.
***
Setelah beberapa bulan berjalan aku membuat program wali kelas yang ku beri nama “One Day One Student”, itu adalah salah satu ikhtiar yang ku lakukan untuk lebih dekat dengan murid-muridku. Menggali mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah aku persiapakan dan hal ini cukup efektif untuk dilakukan oleh seorang wali kelas.
“Hai, Ri apa kabar?” tanyaku megawali. Murid yang saat ini sedang berbincang dengaku adalah Fahri.
“Baik, Bu,” jawabnya singkat.
“Gimana sekolahnya?” lanjutku.
“Gitu-gitu aja,” jawabnya lagi-lagi singkat.
Dari beberapa pertanyaan yang dilontarkan sepertinya tidak ada yang menarik perhatiannya, dia masih saja cuek meskipun saya ada di hadapannya.
“Ibu liat-liat di story kamu galau terus, kenapa sih,Ri?” Berhasil, dia tertarik dengan pertanyaan itu.
“Gitu deh, Bu ditinggalin lagi sayang-sayangnya. Nyebelin banget kan Bu, padahal aku gak punya salah apa-apa, tapi dia bilang ‘kita putus aja ya, aku mau fokus belajar dulu’ alasan klise banget,” jelasnya.
“Berarti kamu juga harus membalas dengan hal yang sama, fokus belajar dan buktikan kamu bisa berprestasi,” tuturku. “Emang kenal di di mana?” lanjutku.
“Awalnya di game, Bu,” timpalnya. Mengalirlah cerita tentang ketertarikannya terhadap game yang sedang ramai saat ini di kalangan anak sekolah. Hampir semua murid di kelas bermain game ini sepulang sekolah, dan tugasku mengingatkan mereka untuk tidak larut dalam permainan hingga lupa salat, makan dan membantu orang tua.
“Orang tua masih ada, Ri?” pertanyaanku masih berlanjut.
“Ada … Mama sibuk kerja, kalau Ayah gak tahu ke mana,” jawabnya acuh.
“Terus kamu sama siapa di rumah?” Aku makin penasaran.
“Ada ayah tiri. Tapi biasanya aku di rumah Wawa (kakak dari Mama). Dari kecil juga aku mah diurusin sama Wawa,” jawabnya.
Pertanyaan terus berlanjut dan aku menemukan kesimpuan bahwa Fahri memerlukan banyak perhatian. Dia tidak mendapatkan perhatian itu dari sosok orang tua kandungnya dan beberapa waktu lalu dia dapat itu dari sosok perempuan yang menjadi pacarnya. Sayangnya mereka putus dan Fahri kembali ke mode caper sehingga dia berusaha untuk mencarinya di tempat lain. Dia mencari perhatian dari teman-temannya dan juga guru-gurunya.
Saat ini dia bisa sedikit terbuka karena merasa ada yang memperhatikannya, peranku sebagai wali kelas dirasakan oleh Fahri. Setiap hari di kelas kita berbincang santai, berdiskusi, bertanya kebutuhan dan keinginan mereka, entah itu dalam lingkup besar atau pun terkadang aku bertanya pada mereka satu persatu. Ternyata setiap murid memiliki cerita yang menarik dan membutuhkan jalan yang berbeda untuk menyelesaikannya, sehingga mengenal satu persatu sangat dibutuhkan. Mereka pun memberikan aku banyak pelajaran dari setiap pengalaman yang mereka lalui.
***
“Bu, aku gak ikut-ikutan ngerokok. Tadinya aku mau buang air kecil tapi ada mereka yang sedang asik merokok dan sialnya saat ada guru yang berkeliling justru aku ada di sana,” ujar Levi membela diri.
Levi, Romi, dan Fahri dibawa oleh guru BK karena terlibat sedang berkumpul dengan orang-orang yang merokok di area sekolah, hingga akhirnya mereka pun ikut menjadi tersangka. Mereka bertiga tampak murung dan khawatir orangtuanya akan dipaggil untuk datang ke sekolah. Akhirnya setelah keluar dari ruang BK aku pun meminta mereka untuk menghampiriku.
“Bu, maaf ya Bu da kita mah enggak ikutan ngerokok,” ucap Romi.
“Iya, Bu, kita cuma mau buang air kecil,” timpal Levi.
“Bu, masa kebelet harus di tahan,” ujar Fahri. “Kita di sidang malah di bilang makannya kalau lagi belajar jangan bolak balik ke toilet, kan gak bisa di tahan, Bu kalau jadi penyakit gimana,” lanjutnya.
Anak muridku memang terkenal dengan bolak-balik ke toilet apalagi jika tak ada guru, tempat kumpul mereka di dekat toilet. Jadi wajar jika guru BK mengatakan itu karena sudah paham dengan kebiasaan mereka.
“Iya .. iya, Ibu percaya sama kalian,” ungkapku.
Bukan hanya untuk menghibur atau membela mereka, tapi aku percaya mereka tidak akan berani melakukan hal itu, karena sebelumnya mereka pernah melihat temannya ketahuan merokok di toilet dan diberikan konsekuensi selama seminggu berturut-turut. Jadi itu sudah menjadi pelajaran bagi mereka untuk tidak melakukan hal yang sama.
Mereka pun berbinar setelah mendengar aku mengucapkan hal itu. Beberapa hari kemudian permasalahan mereka selelsai dan mereka diputuskan tidak bersalah setelah melihat rekaman CCTV.
Semenjak kejadian itu mereka jadi lebih terbuka denganku, apalagi Fahri yang ku lihat mengalami peningkatan. Dia jadi sosok yang lebih ceria, banyak bertanya dan peka terhadap sesama. Pelajaran yang aku dapatkan dari murid-murid hebatku adalah jadilah pendengar yang baik, dan cobalah untuk memahami situasi orang lain.
satu Respon
Yoᥙr style is very unique in comparison to other
folks I have read stսff from. Many thanks for posting when you have the opportunity, Guess I’ll
just bookmark this site.