Pesan Terakir di Ujung Senja – Cerpen Rosidi Hadi Siswanto, S.Pd.

puisi guru

Pesan Terakir di Ujung Senja
Karya: Rosidi Hadi Siswanto, S.Pd


Segala yang ada dalam hidupku Kusadari semua milik-Mu Kuhanya hamba-Mu yang berlumur dosa

Tunjukan aku jalan lurusku Tuk menggapai surga-Mu Terangiku dalam setiap langkah hidupku Karena kutahu Hanya Kau Tuhanku

Allahu Akbar Allah Maha Besar Kumemuja-Mu di setiap waktu Hanyalah pada-Mu tempatku beteduh Memohon ridho dan ampunan-Mu

Lantunan lagu yang hampir setiap pagi kudengar. Bahkan sampai bisa kuresapi makna dari setiap bait dan setiap lariknya. Tapi memang telingaku cukup aneh. Terasa sakit bila yang kudengar lagu-lagu barat yang tak kuketahui maknanya.

Namaku Gemilang Putra Genta. Aku merupakan seorang guru di salah satu sekolah berbasis pondok pesantren. Tak pernah terbesit aku bakal mengajar di sekolah berbasis islam kentel seperti ini. Sebuah pengalaman berharga dan juga tak akan mudah untuk dilupakan.

Sehari-hari selalu bertemu dengan santri yang notabene sejenis denganku. Memang sekolah tempatku mengajar adalah sekolah khusus laki-laki, tak ada perempuan. Senin sampai Sabtu selalu bertemu dan bersenda gurau dengan mereka. Candaan kita sangat polos dan sopan. Hingga aku merasa terkaget ketika ada seorang santri yang memanggilku dengan sebutan ‘Ustaz’.

“Assalamualaikum Ustaz. Kenapa Ustaz masuk ke kelas kami. Bukannya hari ini tidak ada jadwal pelajaran dengan Ustaz ya?” tanya Moko salah satu santri yang cukup populer di sekolah.

“Ah jangan panggil Ustaz, panggil Bapak saja,” jawabku.

“Lah kami di sini memanggil semua guru dengan Ustaz. Karena kami mencoba menghormati guru-guru kami yang telah mendidik dan memberi ilmunya” ujar Moko.

Deeggg ….

Cukup kaget dan terperanga. Seorang anak muda yang baru mendapat gelar sarjana dan memulai menjadi seorang pendidik dipanggil seperti itu. Sebenarnya aku dipanggil bapak saja masih terasa berat. Lah ini malah dipanggil Ustaz.

Di kampung halaman saya, orang yang dipanggil Ustaz adalah orang yang memiliki kehormatan yang cukup tinggi, disegani, ilmu agamanya tinggi dan berwibawa. Sedangkan aku, masih sangat muda yang bahkan dipanggil bapak saja tidak sesuai dengan wajahku. Tapi mau gimana lagi, ini pilihanku untuk terjun di dunia pendidikan yang berbasis pondok pesantren.

“Enggak, bapak – eh Ustaz cuma sedang lewat saja dan melihat kelas kalian saja,” pungkasku dan langsung beranjak menjauh dari kelas itu.

Selama beberapa menit berjalan-jalan di area sekolah, tiba-tiba terlihat Moko yang merupakan santri terkenal di sekolah sedang duduk berdua dengan kawannya dengan asyik.

“Kalian sedang apa di sini? Bukannya ini masih jam sekolah?” tanyaku.

“Iya Ustaz, ini kami sedang melihat delegasi-delegasi olimpiade tahunan yang diadakan oleh sekolah kita. Ternyata ada Maya Ustaz. Ini cewek yang ditaksir oleh Moko Ustaz,” jawab Abdul sembari cengengesan.

“Loh Moko, apa itu benar?”

“Enggak Ustaz, si Abdul ini ngawur. Suka mengarang cerita,” tegas Moko.

“Ya sudah sana balik ke kelas,” pintaku.

“Baik Ustaz. Assalamualaikum.”

Mereka bergegas kembali ke kelas. Aku pun juga kembali menuju ruanganku yang letaknya cukup strategis, yakni di sudut lantai 2. Memang jadwalku tidak sepadat guru lain. Aku baru bergabung di sekolah ini dua minggu yang lalu. Hari-hariku di sekolah cukup longgar. Kepala sekolah menyarankan diriku untuk melihat-lihat situasi di sekolah ini. Supaya paling tidak, aku paham area yang biasanya digunakan santri-santri untuk nongkrong atau bolos ketika jam pelajaran.

Kring …. Kring ….

Suara merdu yang terdengar nyaring seantero sekolah membuat warga sekolah bergembira. Karena itu menunjukan bahwa jam sekolah sudah selesai dan waktunya untuk merehatkan pikiran dan merilekskan badan. Tidak hanya siswa, guru pun juga merasa sangat capek. Jadi suara bel pulang menjadi suatu hal yang ditunggu-tunggu dan kebahagiaan tersendiri.

Ketika para santri kembali ke asrama, para Ustaz pun segera memacu kendaraannya untuk pulang. Belum sampai aku di kendaraanku, aku dikagetkan dengan munculnya Moko yang menghadang di depanku.

“Assalamualaikum Ustaz. Mohon maaf mengganggu waktunya. Bisakah saya ngobrol sebentar dengan Ustaz?”

“Hmmmm gimana ya. Okelah. Ayo ke gazebo sebelah Gedung saja. Di sana kan lumayan nyaman tempatnya,” ajakku.

“Baik Ustaz.”

Kami pun bergegas menuju gazebo yang letaknya tidak jauh dari tempat parkir kendaraan. Memang gazebo ini merupakan gazebo yang cukup digemari warga sekolah. View yang ditawarkan sangat bagus. Hamparan sawah menghijau, apalagi sampai menjelang sore, kalau beruntung bisa melihat sunset yang masyaallah.

“Ada apa Moko, apa yang bisa Ustaz bantu?”

“Ustaz sudah tahu kan, kalau dua hari lagi merupakan pembukaan Pekan Olimpiade di sekolah kita. Saya minta pertimbangan Ustaz terkait acara nanti. Terlebih saya diminta sambutan oleh Kepala Sekolah sebagai ketua pelaksana. Dan juga tentang yang tadi di depan kelas Ustaz. Yang disampaikan Abdul itu benar …”

“Loh kan yah, kamu berbohong tadi sama Ustaz,” timpalku memotong perkataan Moko.

“Iya Ustaz, Moko minta maaf. Ijin Moko lanjutkan yah Ustaz. Moko sudah lama suka sama Maya Ustaz. Namun, karena Moko kan tidak pandai berkata-kata dan Moko malu mengutarakannya. Jadi sampai detik ini Moko masih menyimpan perasaan itu Ustaz. Gimana ini menurut Ustaz?”

Aku cukup terkejut. Bagaimana tidak? Anak pondok pesantren kukira hanya mengaji dan halaqoh. Ternyata Moko juga memiliki rasa seperti itu. Tapi wajar namanya juga manusia.

“Jadi gini Ko, kamu sekarang kan sudah kelas 11. Mendapat tanggung jawab yang besar menjadi ketua pelaksana itu kesempatan yang luar biasa. Moko percaya sama diri Moko sendiri, insyaallah Ustaz siap membantu Moko.”

“Kalau untuk Maya, analoginya gini. Menahan eek itu sakit. Akan terasa plong jika segera dikeluarkan. Jadi kurang lebih sama, Moko memendam perasaan Moko selama ini kan bikin hati Moko gundah gulana. Jadi bagaimanapun hasil dan reaksinya, alangkah baiknya kalau itu diutarakan saja. Kamu lihat senja sebelah sana, indah bukan? Sama seperti senja. Indah itu tidak harus muncul diawal. Masih belum terlambat untuk mengutarakannya” tambahku.

“Baik Ustaz, terima kasih sharingnya. Maaf menggangu waktu Ustaz. Assalamualaikum,” pungkas Moko dan beranjak pergi meninggalkanku menuju asrama.

Selama di perjalanan pulang aku selalu kepikiran Moko. Anak yang simple, sederhana, tidak ganteng tapi manis, dan juga pintar. Moko sudah banyak mengharumkan nama sekolah dengan memenangkan olimpiade baik Tingkat Regional, Nasional, bahkan sampai Internasional.

Aku memang tak kenal dengan Maya. Tapi nampaknya Namanya juga cukup popular, karena di beberapa dinding kamar mandi muncul namanya sebagai bahan vandalisme.

^^^

Bruuuuaakkkk …

Tiba-tiba aku berada di sebuah kamar yang aku sendiri tidak tahu kamar siapa. Tiba-tiba muncul seorang Wanita yang membuatku kaget. Parasnya tidak asing bagiku. Aku juga menaruh hormat padanya. Ya itu kepala sekolah waktu aku masih duduk di Sekolah Menengah Atas.

“Ini Gege kan, siswa SMA Buana Sejahtera dulu?” begitulah panggilanku.

“I..iya Bu, ini Gege. Kok Gege bisa sampai ada di rumah Ibu?”

“Tadi Ibu lihat Gege terduduk lemas di kursi pinggir jalan sebelah Gedung Olahraga Candrabuana. Jadi Ibu dan anak Ibu berinisiatif untuk membawa Gege ke rumah Ibu, karena Ibu tidak tahu rumah Gege,” jelas Bu Farida – kepala sekolahku.

“Waduuhhh gitu ya Bu, mohon maaf Bu jadi merepotkan.”

Sungguh aku merasa bingung harus ngapain. Badan terasa sakit semua. Kepala pusing. Perut kosong dan akhirnya aku ingat. Tadi selepas bel pulang sekolah, perutku memang mulai meronta-ronta. Penghuni seolah meneriakkan kata ‘aku lapar!’ namun karena Moko menghadangku, akhirnya kuturuti keinginan anak tersebut.

Kurang lebih 30 menit aku berada di rumah Bu Farida. Akhirnya aku berpamitan karena hari juga sudah mulai malam. Aku tidak diperbolehkan pulang sendirian. Akhirnya anak Bu Farida yang mengantarku pulang. Selama di perjalanan, kami berbincang-bincang tentang banyak hal. Mulai dari pekerjaan hingga hubungan asmara.

^^^

Panggilan yang maha kuasa mulai menggema di sekitar kampungku. Aku pun segera beranjak dari ranjang untuk menunaikan kewajibanku. Dinginnya kampungku tak menghalangiku menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim.

Hingga sang surya mulai perlahan menunjukan cahayanya yang sedikit demi sedikit menghangatkan tubuhku. Sontak aku mengingat Moko. Aku tak sabar ingin bertemu dengannya. Mengingat aku sudah berjanji akan membantunya mensukseskan Pekan Olimpiade di sekolah. Lalu kuambil motor bebekku dan berangkat menuju sekolah.

Karena aku termasuk guru baru, aku selalu mencoba untuk tidak dating terlambat. Alhamdulilah mulai pertama kali aku bergabung di sekolah ini, sampai detik ini belum pernah telat dating ke sekolah. Bahkan aku bisa sampai di sekolah 30 menit sebelum bel sekolah berbunyi.

“Weeehhh Ustaz Gege, pagi bener datang ke sekolah,” ujar Pak Imam – satpam sekaligus tukang kebun di sekolahku.

“Alhamdulilah Pak,” jawabku sembari tersenyum.

Aku tak langsung menuju kantorku. Melainkan aku masih duduk berdiri di lantai 2 sembari memantau Moko memasuki gerbang sekolah. Riuh para santri berlarian memasuki gerbang sekolah. Karena jika mereka telat aka nada hukuman dari tim kedisiplinan. Meskipun mereka notabene sudah remaja, tapi wajah unyu dan polos mereka mengingatkanku ketika aku SMA dulu.

Hingga santri terakhir memasuki gerbang sekolah, aku tak melihat Moko. Aku beranggapan dia pasti telat karena harus memikirkan persiapan Pekan Olimpiade. Aku menunggunya lima menit lagi. Sampai lima menit belum terlihat, aku bergegas mendatangi kelasnya dan bertanya ke teman-temannya.

“Assalamualaikum anak-anak. Apakah Moko sudah di kelas?” tanyaku.

Tak ada jawaban satu pun yang membuatku lega. Rata-rata hanya terdiam dan menunjukan raut wajah tidak tahu. Sejenak mulai berpikir, mungkin ada di ruang waka kesiswaan untuk koordinasi Pekan Olimpiade.

Sesampainya di ruang waka kesiswaan, tak kulihat wajah Moko. Aku mulai bingung dan bertanya-tanya.

“Ada apa Ustaz? Sedang mencari saya?” tanya Ustaz Yunus – waka kesiswaan.

“Enggak Ustaz,” jawabku sembari tersenyum.

Akhirnya muncul Abdul sahabat Moko.

“Dul, apakah Moko hari ini masuk sekolah?”

“Saya tidak lihat, Ustaz. Ada apa Ustaz?” jawab Abdul.

“Enggak apa-apa.”

Pencarianku gagal. Karena aku sadar bahwa aku memiliki jadwal di jam pertama, aku bergegas menuju kelas. Meskipun selama perjalanan menuju kelas aku masih kepikiran kemana si Moko.

Tiba-tiba datang santri yang aku tidak tahu namanya dengan santainya.

“Assalamualaikum Ustaz. Apakah ini benar Ustaz Gege?” tanya anak tersebut.
“Iya betul. Nama kamu siapa dan kelas berapa?”

“Saya Yoni Ustaz. Saya masih kelas 10. Jadi saya ada titipan dari Mas Moko,” jawabnya sembari memberikan secarik kertas dan langsung pamit meninggalkanku.

Ketika Yoni mulai menjauh dari tempatku berdiri. Perlahan kubuka isi kertas tersebut. Ternyata sebuah surat yang ditulis tangan oleh Moko. Meskipun anak laki-laki, tapi tulisan Moko menurutku sangat bagus.

Assalamualaikum Ustaz Gege.

Maaf jika kurang sopan. Moko menitipkan surat ini kepada Yoni.

Sebelumnya, Moko mengucapkan terima kasih atas waktunya kemarin sore. Berkat kata-kata dan ucapan Ustaz, Moko jadi tahu apa yang harus Moko lakukan. Pagi tadi Moko dijemput oleh Ayah. Moko pulang dengan tujuan menyampaikan isi hati Moko kepada Maya seperti yang dikatakan Ustaz. Hal ini Moko lakukan supaya Moko bisa tenang dan bisa fokus belajar. Apapun jawaban dari Maya, insyaallah Moko bisa terima. Moko juga minta doa dari Ustaz Gege, semoga Moko bisa lapang dada menerima apapun jawaban Maya.

Terima kasih Ustaz.

Wassalamualaikum Ustaz.

Tak berselang lama, ada Ustaz Yunus – Waka kesiswaan yang menghampiriku. Beliau meminta saya untuk ikut menuju ruangannya. Dengan cukup kaget dan deg-degan aku mengikuti Ustaz Yunus sampai ke ruangannya.

“Ada apa ya Ustaz, sampai saya diminta ke ruangan Ustaz?” tanyaku memulai pembicaraan.

“Jadi gini Ustaz Gege, kemarin Moko menyampaikan ke saya bahwa Moko akan ijin pulang selama 3 hari ke depan. Pekan Olimpiade kan tingga l satu hari lagi. Moko juga menyampaikan bahwa Ustaz

Gege cocok untuk menggantikan Moko menjadi ketua pelaksana dan menyiapkan sambutan di acara pembukaan nanti.”

“Loh … “

“Sudah tidak apa-apa Ustaz. Saya yakin Ustaz bisa,” pungkas Ustaz Yunus menutup pembicaraan.

Aku pun keluar dari ruangan Ustaz Yunus dengan muka datar dan masih tidak percaya. Bagaimana tidak? Aku masih guru baru dan langsung mendapat tugas menjadi ketua pelaksana Pekan Olimpiade. Tapi aku berpikir, mungkin ini salah satu ujian. Hmmmm.

Kegiatan belajar mengajar berjalan seperti biasanya. Antusias para santri luar biasa. Meskipun mulai pagi sampai siang menjelang sore mereka belajar terus-terusan, namun semangat mereka tetap membara. Tak ada yang mengantuk di kelas ketika guru sedang menerangkan. Luar biasa.

Kring …. kring ….

Akhirnya nada dering yang ditunggu-tunggu muncul juga. It’s time to go home. Tiba-tiba gawaiku gemetar tanda ada Whatsapp masuk. Setelah kubuka ternyata Moko.

Assalamualaikum Ustaz. Alhamdulilah berkat doa Ustaz, Moko sudah menyatakan perasaan ke Maya. Dan alhamdulilah, ternyata perasaan Moko tidak bertepuk sebelah tangan. Terima kasih pesan Ustaz sore itu. Dan semangat buat sambutannya ya Ustaz di Pekan Olimpiade. Wassalamualaikum.

Turut bahagia membaca Whatsapp dari Moko. Aku juga masih belum percaya, padahal ucapanku waktu hanya sebatas spontanitas saja. Tapi ternyata ucapanku waktu itu mampu membuat seseorang tergerak untuk mengambil keputusan dalam lika-liku kehidupannya. Sungguh aku bangga dengan pekerjaanku. Meskipun aku tergolong guru newbie, namun sudah mampu menjadi teman sharing dari proses lika-liku kehidupan anak didikku.

Tagar:

Bagikan postingan

3 Responses

  1. Mantap, keren…. alur ceritanya sangat bagus, seakan akan kita yang membacanya berada dalam cerita tersebut

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *