Guru Milenial Mengajar Generasi Z?
Karya: Agus Budiyanto
Ini adalah cerita saya di tahun 2023 saat mengajar generasi Z (Gen Z). Umumnya, menjadi guru adalah suatu cita-cita yang tak pernah terbesit sama-sekali di pikiran saya. Bisa dibilang, bahwa saya adalah generasi Y atau yang biasa disebut dengan generasi milenial. Pembedanya memang tak begitu jauh, karena generasi milenial adalah generasi transisi menuju Gen Z.
Tahun 2023 ini, merupakan tahun ke-5 saya mengajar Bahasa Indonesia di jenjang SMP, tepatnya di SMP Muhammadiyah 8 Batu. Tahun di mana semua butuh penyesuaian, termasuk dengan kurikulum yang diterapkan. SMP Muhammadiyah 8 Batu merupakan sekolah penggerak angkatan pertama, artinya saya mengajar dengan kurikulum merdeka ini jalan 3 tahun. Sehingga mengetahui setiap potensi yang ada di diri setiap siswa merupakan suatu keharusan.
Berbagai perbaikan-perbaikan kecil dan penyesuaian dengan gen Z terhadap proses kegiatan pembelajaran saya coba terapkan usai refleksi dan evaluasi pembelajaran. Saya menyadari memang seharusnya bukan murid yang harusnya mengikuti kita (gurunya). Namun, gurulah yang harusnya mendidik sesuai zaman murid kita. Gen Z memang tak akan pernah lepas dari yang namanya teknologi karena memang mereka tumbuh besar di era digital.
Mengajar gen Z di tahun 2023 ini bisa dibilang susah-mudah. Teknologi yang begitu laju majunya pun, mengharuskan guru untuk melek teknologi. Inisiasi untuk belajar teknologi dari media sosial, webinar, workshop, atau pelatihan-pelatihan lainnya, saya coba lakukan hingga saat ini. Mengingat, gen Z lebih aktif dan keingintahuan di bidang tekonologi sangat tinggi. Anak sekarang cenderung lebih suka scroll media sosial ketimbang membaca tulisan yang bentuknya cetak seperti buku mata pelajaran. Sehingga, ketika mengambil contoh pun, saya tidak semata-mata menjadikan buku mata pelajaran sebagai sumber belajar satu-satunya.
Seringkali saya coba selalu mengaitkan materi dengan topik yang sedang viral/trending di kalangan anak-anak. Hal ini, nyatanya membuat anak-anak semakin aktif berdiskusi, menyampaikan argumen, dan merespon tanggapan teman sebayanya ketimbang membaca buku yang isi topiknya sudah lama. Memang banyak pro-kontranya ketika anak-anak lebih suka eksplor dunia digital ketimbang suka membaca buku.
Akan tetapi, menurut saya kembali lagi kepada perspektif masing-masing dan bagaimana pengawasan kita dalam setiap kegiatan pembelajaran yang menggunakan alat digital di dalam prosesnya. Saya tak anti dengan aplikasi media sosial yang anak-anak gemari atau sering dibuka setiap waktunya. Sebab dengan begitu, guru pun terkhusus saya akan menjadi banyak belajar dari muridnya dengan cerita yang beragam. Sebagai contoh kecil, kita bertanya, “Siapa tokoh favoritmu?” Kebanyakan dari murid saya pasti akan memiliki beragam jawaban. Namun, bisa dihitung siapa yang menyebutkan pahlawan sebagai tokoh favoritnya. Bahkan, tak sedikit yang menjawab tokoh selebgram yang sedang viral. Apa ini menandakan salahnya sebuah kemajuan teknologi? Tidak juga menurut saya.
Peran gurulah pada poin tersebut yang sangat dibutuhkan. Tidak salah, ketika anak-anak lebih tahu dengan selebriti ketimbang pahlawan yang ada. Karena memang tiap harinya, algoritma sosial media mereka tentang selebriti tersebut. Maka, peran gurulah yang harus mengenalkan pahlawan pada gen Z dengan cara yang sesuai zamannya. Namun, sebagai guru milenial pun, saya juga mencoba masuk di dunia anak-anak, dengan tidak menutup mata dengan tokoh-tokoh selebriti yang mereka sebutkan. Dengan begitu, saya menjadi tahu apa yang sedang mereka gemari dan juga memberikan arahan mana yang bisa dijadikan teladan, serta mana yang harusnya dijadikan pelajaran. Sehingga hal tersebut akan menjadi sinkron antara guru dan juga murid.
Sebenarnya, anak-anak gen Z merupakan anak-anak yang cakap di bidang teknologi. Sebagai gurupun, saya coba untuk menghilangkan gengsi saya untuk bertanya ke anak-anak perihal sesuatu hal yang berkaitan dengan teknologi yang belum bisa saya operasikan. Balik lagi, saya begitu menyadari bahwa mereka bisa belajar lebih cepat akan dunia digital. Imbasnya, saya dan anak-anak pun dapat berkolaborasi dengan media digital yang ada.
Di tahun 2023 ini, saya dan anak-anak dapat kolaborasi dengan memanfaatkan teknologi di dalam proses pembelajarannya. Adapun karya yang kami hasilkan, seperti film pendek penguatan profil pelajar pancasila dan poster digital. Karya hasil pembelajaran pun saya coba ikutkan di beberapa festival film pendek, hingga kami memperoleh penghargaan di salah satu festival film pendek.
Suatu hal yang tak terduga di tahun 2023 ini, karena sebenarnya karya film pendek yang dihasilkan merupakan salah satu tagihan tugas pada mata pelajaran Bahasa Indonesia yang saya ampu. Hal tersebut, nyatanya membuat anak-anak begitu antusias di dalam proses pembelajarannya. Dengan begitu, pembelajaran ini menjadi pembelajaran yang bermakna di mana setiap anak terlibat langsung di dalam proses pembelajarannya.
Akan tetapi, anak-anak di usia gen Z ini perlu perhatian dan kontrol terhadap keingintahuan mereka terhadap sesuatu yang baru. Pembelajaran yang menyenangkan dan berdifirensiasi memang dibutuhkan di kurikulum merdeka ini. Namun, saya pun juga memberikan skat/batasan dan tetap memberikan nilai-nilai moral di dalam proses pembelajarannya. Sehingga anak-anak pun tahu batasan kepada gurunya dan tidak menganggap gurunya sebagai ‘teman’.
Hal itu begitu penting, karena anak di usia SMP, merupakan anak-anak yang keingintahuannya begitu besar dan masih butuh arahan di dalam prosesnya. Apalagi banyak bahasa slang yang perkembangannya begitu pesat. Sehingga mereka cenderung meniru apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar. Bahkan, mungkin kita sering dengar bahwa apa yang disampaikan anak-anak adalah suatu hal yang menurut kita tidak pantas, namun menjadi suatu wajar di kalangan anak seusia mereka. Lagi-lagi, perhatian, kontrol, dan arahan yang perlu diperhatikan.
Memang budaya, lingkungan, dan kebiasaan yang dilakukan oleh Gen Z dan kita begitu berbeda. Intinya, sebagai guru milenial, saya mencoba untuk tak henti belajar mengikuti arus gen Z. Akan tetapi, juga jangan hanyut akan arus yang mengalir. Teknologi boleh berkembang, tetapi jangan sampai kita diperalat oleh teknologi. Hal itulah yang membahayakan di era ini. Sebab sampai kapan pun, peran guru tak akan bisa digantikan oleh teknologi, meski secanggih apapun. Guru tetaplah teladan yang harus bisa memberikan contoh dan bisa menjadi sosok yang bermanfaat bagi murid dan sekitarnya.
Bagi saya, mengikuti sesuatu yang sedang trend atau viral di kalangan gen Z bukanlah suatu kesalahan jika dilakukan dengan proses menyaring. Namun, akan menjadi salah jika kita tidak tahu apa-apa dan berusaha menutup mata dengan perkembangan yang ada. Setiap hal termasuk teknologi pasti ada saja positif-negatifnya, pro-kontranya, dan baik-buruknya. Secara sederhana saja, apa yang menurut kita positif dan baik kita pelajari, serta apa yang negatif dan buruk kita tinggalkan. Intinya, nikmati setiap prosesnya. Sama halnya permen karet, tak perlu kita telan seluruhnya, cukup kita nikmati manisnya.
2 Responses
Guru yang adaptif 🫰 semangat pak 🥰
Keren sekali pak 💞 Menginspirasi untuk tak henti belajar mengikuti arus zaman demi pendidikan yang lebih baik lagi.