Runcingnya Alis Zahsy, Sinyal Darurat Generasi Cemas
Anna Sulisetiawati
SD Al Muslim
Tidak seperti biasanya pagi ini saya melihat Zahsy datang terlambat ke sekolah. Agenda peringatan hari besar di sekolah dasar meminta anak-anak menggunakan busana muslim bebas, sopan, dan rapi. Zahsy yang cantik sudah siap dengan busana muslimnya. Kecantikannya bertambah saat saya melihat sesuatu yang berbeda di wajahnya. Dan, ternyata baru sadar jika alis Zahsy berbeda dari biasanya. Ya Tuhan, ia pakai pensil alis. Setelah ditanya, Zahsy memakai pensil alis milik Bundanya, karena ingin alisnya sama dengan pemengaruh di media sosial.
Fenomena alis Zahsy membuat saya merenung dan meyakini pendapat para ahli bahwa anak adalah peniru ulung. Generasi sekarang yang lazim disebut Generasi Alpha ini tumbuh di era teknologi yang sangat maju. Kemajuan teknologi dan globalisasi di segala bidang dengan akses yang luas tentu memiliki konsekuensi. Di satu sisi, ia sangat membantu dan membuat nyaman, namun di lain sisi teknologi mampu membuat Generasi Alpha menjadi sangat rapuh, mudah menyerah dan gampang putus asa saat kenyataan tidak sesuai dengan harapan.
Saya teringat dengan Generasi Emas tahun 2045 yang santer digaungkan oleh pemerintah. Beragam pertanyaan berkecamuk dalam benak seperti mampukah Generasi Alpha menjadi Generasi Emas 2045? Bukan sebaliknya, Generasi Cemas? Dan mengapa generasi ini dianggap rapuh? Generasi Emas ini tidak akan terbentuk secara tiba-tiba tepat pada 100 tahun Indonesia merdeka, banyak proses atau tahapan yang perlu dilalui. Layaknya emas perlu ditempa dipanaskan dalam suhu tinggi, Generasi Emas juga harus melewati hal tersebut, perlu banyak belajar, perlu banyak bersosialisasi, perlu mengetahui gejolak dalam negeri, perlu banyak mengisi diri sehingga nantinya menjadi generasi yang matang dan siap dalam menghadapi berbagai polemik yang terjadi. Generasi Emas menurut saya adalah mereka yang berteman dengan keberanian, tidak memusuhi ketakutan dan merangkul keraguan. Maksud dari kalimat tersebut adalah setiap anak harus memiliki keberanian, berani untuk berpendapat, berani mengkritik, berani mengakui kesalahan. Ketakutan sama halnya dengan keberanian, bahwa kedua hal itu menular. Ketakutan pasti dimiliki oleh setiap orang tapi hendaknya ketakutan tersebut menjadi sinyal agar lebih waspada dalam bertindak. Kemudian keraguan dalam diri hendaknya dirangkul, didiskusikan hingga menemukan titik penyelesaiannya. Lantas, mengapa generasi ini mudah menyerah, cemas, dan putus asa hingga menjadi sinyal kedaruratan?
Mari kita simak beberapa alasan mengapa Generasi Alpha sering dianggap mudah menyerah dan putus asa diantaranya: pertama, terlalu terbiasa dengan kenyamanan, terlebih dengan berbagai kemudahan akses informasi, layanan digital, dan fasilitas instan membuat mereka jarang menghadapi kesulitan nyata. Ketika masalah datang, mereka cenderung kewalahan karena kurang terbiasa berjuang. Kedua, pengaruh media sosial membuat mereka mudah merasa tidak cukup dan meningkatkan kecemasan serta kerentanan mental. Cepat terpengaruh dan konsumtif serta cemas atas banyak hal seperti kecemasan akan masa depan. Ketiga, kurangnya keterampilan mengatasi masalah yang menyebabkan generasi sekarang lebih terbiasa mencari solusi instan daripada berpikir kritis dan berusaha mandiri. Sehingga ketika tidak menemukan jawaban cepat, mereka mudah frustasi. Apalagi dengan lemahnya komunikasi dan dukungan dari lingkungan sekitar. Keempat, overprotectif dari orang tua yang terlalu melindungi anak dari kegagalan membuat mereka tidak memiliki ketahanan mental saat menghadapi kesulitan. Mengeluh akan banyak hal yang terjadi di sekeliling dan menolak kekalahan serta kegagalan yang berujung pada stres berkepanjangan hingga depresi yang membutuhkan penanganan.
Lalu, bagaimana solusi agar Generasi Alpha tidak mudah rapuh dan putus asa? Solusi berikut mungkin bukan yang terbaik, tapi marilah kita coba untuk berpikir positif. Pertama, melatih ketahanan mental dengan terbiasa mengajarkan bahwa kegagalan sebagai proses belajar, bukan akhir segalanya dan dorong mereka untuk mencoba hal baru di luar zona nyaman. Memang tidak mudah seperti membalik telapak tangan. Butuh waktu yang tidak sebentar. Selaras dengan profil al muslim bahwa ketahanan mental berawal dari hidup yang sehat (Living Health), hal tersebut dapat terbangun dengan terbiasa memberikan tantangan sederhana dan membiarkan mereka mencoba sendiri sebelum dibantu. Menceritakan kisah orang sukses yang pernah gagal seperti Thomas Alfa Edison dan JK Rowling untuk menormalisasi kegagalan. Mengajarkan mereka keterampilan hidup seperti mengelola emosi, bukan justru menghindarinya, dan menganalisis masalah langkah dami langkah Kedua, kecemasan timbul karena mereka mengetahui kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi, sehingga takut untuk melangkah ataupun mengambil langkah. Tetapi alangkah baiknya jika kecemasan yang sudah dikenali ini hadir, sebaiknya kita mengetahui cara untuk mengendalikannya juga. Kecemasan ini tentunya dapat dilawan dengan rasa keberanian. Masa muda, masa belajar. Belajar dari kesalahan, kekeliruan maupun kritikan, jangan takut salah selagi niat kita adalah untuk kebaikan. Mengurangi ketergantungan pada teknologi instan juga menjadi solusi untuk mengurangi kecemasan dengan membiasakan menyelesaikan masalah tanpa bantuan Google yaitu dengan berpikir mandiri dan melakukan aktivitas fisik seperti olahraga. Kemajuan teknologi dan globalisasi yang membuat peranan media sosial sangatlah besar dalam kehidupan sehari-hari harus kita manfaatkan dengan baik, jangan mau dikendalikan oleh sosial media tersebut, sehingga menimbulkan kecemasan baru bagi diri kita. Batasan harus kita miliki dalam setiap langkah sehingga kita tidak kebablasan. Hindari pula memberikan solusi instan saat mereka mengeluh, ajaklah berpikir untuk mencari ide keluar dari masalah. Ketiga, menciptakan sistem pendukung yang sehat dengan membangun komunikasi positif antar teman dan guru. Mengundang profesional seperti dokter, seniman, programmer ke sekolah untuk bercerita tentang perjalanan mereka menghadapi kesulitan. Di al muslim ada kegiatan serupa seperti Tokoh Profesi atau Kelas Inspirasi. Tidak kalah penting untuk menciptakan ritual keluarga seperti sharing time setiap minggu dengan bercerita tentang tantangan dan keberhasilan. Bonding antar anggota keluarga akan perlahan terbentuk dengan hal ini sehingga mereka tidak merasa sendiri. Keempat, orang tua dan guru harus memberi ruang untuk berjuang. Hendaknya orang tua dan guru tidak selalu membantu saat mereka menghadapi kesulitan kecil. Sebaiknya beri tanggung jawab sesuai usia agar mereka mampu beradaptasi terhadap perubahan.
Sejatinya generasi sekarang rapuh bukan karena lemah, tapi karena lingkungan yang meliputi teknologi, pola asuh, dan budaya yang tidak melatih mereka untuk tangguh. Solusinya adalah membangun ketahanan mental, mengurangi ketergantungan instan, dan menciptakan sistem pendukung yang sehat. Perlu diingat bahwa hidup bukanlah perlombaan, melainkan sebuah perjalanan. Hidup bukan perlombaan tentang siapa yang paling hebat, namun perihal bagaimana kita bisa menjalani hidup dengan sebaik-baiknya agar nanti diakhir menjadi kebaikan. Hidup juga bukan tentang bersaing dan berkompetisi dengan semua orang, melainkan menantang diri kita sendiri untuk menjadi versi terbaik. Be the best version of you.