Sahabat Kereta Waktu
M. Ikmal Yazid
Kereta itu, sebuah mesin waktu yang siap menjemput para penumpang seperti kita. Gerbongnya begitu luas, memberikan tempat singgah sementara di tengah perjalanan menuju tempat-tempat yang aroma dan nuansanya begitu asing. Yang membuat hidupku begitu berharga adalah menjadi sahabat perjalananmu. Momen saat kita bersama-sama, menggenggam tiket menuju tujuan yang sama.
Plastik pembungkus buku kita robek bersamaan, seperti suara kereta api yang tiba di stasiun. Peluit kondektur, deru mesin yang memburu, dan tatapan penumpang lain yang menanti perjalanan baru, semuanya memiliki keindahan sendiri. Kereta itu, sebuah teman setia yang membawa kita ke tempat-tempat yang penuh misteri. Menyuguhkan perjalanan tanpa perlawanan, membawa kita jauh dari rutinitas, hanya ditemani bayangan kita sendiri. Selalu begitu.
“Halaman pertama buku selalu memberikan aroma yang khas,” ucapmu.
“Bau awal perjalanan memang seperti itu. Hidupku penuh dengan berbagai aroma, namun bau buku selalu menjadi yang terbaik,” jawabku.
“Suka mencium buku. Kebiasaan itu yang membuat kita bertemu,” tambahmu.
“Aku juga tak bisa memilih antara kau dan buku,” keluhmu.
“Jangan memilih. Aku tak memintamu memilih,” jawabku.
Setelah sesi mencium aroma buku, tangan kita membuka halaman prakata dengan cekatan. Mencermati bab-bab yang akan menjadi bagian dari perjalanan ini. Kau memandangku dan bertanya, “Sudah siapkah kau?”
“Apa gunanya tanya seperti itu?” desisku.
“Ah,” desahmu sebelum kembali ke halaman buku.
Perjalanan buku, seperti kereta api jarak jauh, membutuhkan waktu yang berbeda-beda. Kadang sehari, kadang dua, atau bahkan seminggu. Saling menyesuaikan agar tiba di tujuan pada saat yang sama sering kali menjadi tantangan tersendiri. Kita merasakan kesedihan, tangisan, tawa, dan hening panjang di halaman terakhir. Aku senang tanganmu selalu ada sebagai teman setia. Dalam perjalanan buku, tak ada GPS sebagai panduan, tak ada petunjuk sebelum membaca, hanya bayangan-bayangan kita sendiri.
Pernahkah kita terpisah terlalu jauh? Mungkin dari sudut pandang berbeda, bocah dalam kehidupan yang berbeda, namun takdir membawa kita bersama di dunia ini.
“Apa yang membuat hidung orang yang suka buku berbeda?” tanyamu.
“Hidung itu hanya untuk mencium orang yang suka buku juga,” jawabku. Kau tertawa, dan aku tahu bahwa mencium buku dan keinginanmu menciumku adalah kebutuhan dasarmu. Meski kadang kau berlebihan, aku diam-diam menyukainya.
Ironi Pertemuan yang Nyaris
Sebuah ironi yang mencekam adalah saat kita nyaris bertemu di dunia nyata. Kita, dua penghuni kereta waktu ini, mengalami pertemuan yang seringkali hanya sejengkal dari kenyataan. Seolah hidup kita adalah catatan ketersesatan dan nyaris bertemu. Kamu menyebutku “Orang Asing,” sebuah panggilan yang merangkum misteri pertemuan kita. Meski tak pernah berjumpa tatap muka, namun kita bersatu dalam lembar-lembar buku. Dalam dunia maya yang menjadi ladang pertemuan kita, kau menghadirkan kehadiranmu melalui buku-buku yang kau pilih dengan seksama.
Dua eksemplar buku selalu menjadi kebiasaanmu. Satu untukmu dan satu lagi untukku. Sebuah tindakan yang menyiratkan bahwa kita, meski nyaris bertemu di dunia nyata, selalu bersama dalam perjalanan baca kita. Namun, pertemuan yang nyaris itu juga membawa candaan tak terduga. Restoran yang sama, jam yang sama, bahkan kota yang sama, namun kita tetap berjarak. Sebuah ironi hidup yang membuat kita terkejut dan tertawa bersama.
Pameran buku menjadi babak baru dalam ironi pertemuan kita. Aku berada di belakangmu, melihatmu dengan saksama. Kau sibuk memilih buku-buku untuk keluargamu. Ironi datang saat kita menyadari bahwa kita nyaris bertemu, tapi kembali ke kenyataan bahwa kita tetap berpisah. Nyaris bertemu, seperti pengertian “nyaris” dalam kamus, seringkali membawa keadaan yang hampir membahayakan. Tapi apakah pertemuan kita, meski hanya sebatas “nyaris,” membawa bahaya ataukah kebahagiaan? Ironi itu menyatu dalam hidup kita yang penuh misteri. Dan di balik semua ironi itu, kita tetap bersama. Dalam lembaran buku, dalam kata-kata yang kau kirim, dan dalam nyaris pertemuan yang menyiratkan bahwa kita selalu ada satu sama lain.
Mungkin kita akan terus merayakan pertemuan yang nyaris ini, karena pada akhirnya, nyaris atau tidak, kita selalu bersama dalam perjalanan waktu yang tak terbatas. Sebuah ironi yang kita peluk dan nikmati dalam sahabat perjalanan yang tak terpisahkan.
Perjalanan Menuju Pertemuan yang Sebenarnya
Perjalanan melalui kereta waktu yang kita tempuh semakin membingungkan. Nyaris bertemu menjadi tema utama dalam catatan hidup kita. Namun, siapa sangka, mungkin saatnya tiba untuk melanjutkan perjalanan kita menuju pertemuan yang sebenarnya. Kita masih terjebak dalam kereta waktu ini, dan meski kerap nyaris bertemu, sepertinya takdir telah menulis skenario yang lebih kompleks untuk kita. Namun, apakah kita hanya akan terus menjadi penumpang yang berkelana tanpa akhir? Seiring perjalanan waktu yang tak terbatas ini, mungkin kita harus mengganti peron. Melangkah keluar dari kereta waktu yang selama ini menjadi saksi kehidupan kita. Apakah kita akan menemukan stasiun baru di mana takdir akan menyatukan langkah kita? Saatnya melangkah ke perjalanan yang lebih nyata, tanpa harus selalu nyaris bertemu. Meski ironi dan misteri telah menyelimuti perjalanan kita, mungkin ini juga saatnya untuk menghadapi pertemuan yang sebenarnya.
Dalam dunia nyata, di luar kereta waktu dan dunia maya, mungkin kita bisa bertemu tanpa hambatan. Melihat mata kita satu sama lain, merasakan kehadiran yang tak lagi hanya nyaris. Mungkin ini juga saatnya untuk mengejar pertemuan yang tak lagi diselimuti oleh ironi. Apa yang mungkin terjadi di luar kereta waktu ini? Mungkin kita bisa duduk bersama di sebuah kafe, berbagi tawa dan cerita, bukan hanya melalui buku dan kata-kata yang kita kirim. Mungkin ini saatnya untuk merayakan pertemuan yang sebenarnya, bukan hanya sekedar nyaris.
Langit biru terbentang luas di atas stasiun baru ini. Kami berdua keluar dari kereta waktu yang telah menjadi sahabat perjalanan kami selama ini. Hembusan angin segar menyambut langkah-langkah pertama kami di dunia nyata ini. Tiba di stasiun baru ini membawa perasaan yang berbeda. Nyaris bertemu menjadi sejarah di belakang kami, dan kini kami berdiri di persimpangan jalan yang belum pernah kami singgahi sebelumnya. Apakah takdir akan membimbing langkah kami menuju pertemuan yang sebenarnya? Kami memilih melewati jalan kecil yang dipenuhi dengan kehidupan sehari-hari. Toko-toko kecil, kafe yang ramai, dan senyum orang-orang yang kami temui memberikan warna baru dalam perjalanan ini. Rasanya seperti kembali ke dunia nyata setelah begitu lama terperangkap dalam kereta waktu.
Bicara-bicara ringan mengisi udara di antara kami. Tidak lagi hanya bertukar kata-kata melalui buku dan surat. Mata kami bertemu, dan tawa riang menggema di jalanan kecil ini. Seperti ada keajaiban yang terjadi di saat kami memasuki dunia nyata. Kami duduk di sebuah kafe yang nyaman. Suara cekcok antara suara mesin kopi dan obrolan santai pengunjung membuat suasana semakin akrab. Kami tidak lagi merayakan pertemuan yang nyaris, tapi pertemuan yang nyata di antara meja dan kursi ini.
Waktu berlalu begitu cepat, seolah-olah dunia ini memberikan kami kesempatan untuk mengganti setiap detik yang telah terlewatkan. Kami merasakan kehangatan matahari sore dan senja yang memayungi langit. Tak ada lagi ironi, hanya kebahagiaan dari pertemuan yang sebenarnya. Malam tiba, dan kota ini menyala dengan lampu-lampu yang indah. Kami berjalan di bawah cahaya gemerlap, merasakan getaran kota yang hidup. Tak ada lagi perasaan nyaris bertemu, hanya kepastian bahwa kami benar-benar bersama di sini dan sekarang.
Akhirnya, kami tiba di puncak bukit kecil yang menawarkan pemandangan kota dari ketinggian. Dua sosok berdiri di sana, bersatu bukan hanya oleh kata-kata, tetapi oleh kehadiran yang sebenarnya. Melihat bintang-bintang yang bersinar di langit, kami merasakan kedamaian yang belum pernah kami rasakan sebelumnya. Pertemuan yang sebenarnya terjadi di luar kereta waktu. Dunia nyata menyuguhkan keajaiban yang lebih besar dari yang pernah kami bayangkan. Dan sekarang, di sini, di puncak bukit di kota yang baru, kami merayakan kehadiran satu sama lain dalam pertemuan yang tak lagi hanya nyaris.