Cita-Cita yang Layak
Karya: Alzena Putri Andriani
Jangan berpikir terlalu keras, nanti kamu akan kesulitan. Meski kamu sudah berusaha memberikan segalanya sebaik mungkin, ketika hal itu tidak terpenuhi pada akhirnya kamu akan menyalahkan diri sendiri dan menyakitinya. Biarlah alur hidup itu berjalan alami sesuai dengan takdirnya. Berputar sesuai dengan waktunya.
…
Awal tahun ajaran baru sudah dimulai 5 hari yang lalu. Kembali berutinitas menjadi seorang guru dan bertemu dengan siswa siswi baru adalah hal yang selalu aku tunggu. Tantangan dan tanggung jawab baru datang kembali padaku.
Masa pengenalan siswa sudah berakhir dan kegiatan belajar mulai berjalan. Pagi ini tak seperti biasanya. Ada yang sedang menungguku datang disalah satu ruang. Hari ini ia datang lebih awal dan duduk di kursi paling depan. Lambaian tangannya menggiring langkahku agar dipercepat sampai tujuan.
“Bu Nana, hari ini aku datang pertama. Boleh ya aku mengaji duluan sama ibu.” sambutnya dipintu kelas.
“Assalamu’alaikum cantik, wahh pintar sekali anak ibu datang pertama di sekolah. Boleh dong cantik.” balas hangatku
“Ouh iya aku lupa mengucap salam tadi… Wa’alaikumussalam ibu” jawabnya dengan ceria.
Sungguh singkat ia menyambut dan menyapaku. Seperti sesederhana apa yang ia mau. Ia bergegas kembali menuju tempat duduk, untuk mencari barang yang ada didalam tas berwarna biru. Tak lama ia membawa buku iqra dan secarik kertas padaku. “Ini untuk ibu”
Jelas ini baru hari ke-5 kami bertemu, wajar kan jika aku belum mengenal siswa siswi baru. Banyak nama dan wajah yang harus ku ingat jadi maafkan jika aku lupa bahkan belum hafal siapa namamu. tapi kini aku dibuat malu dengan gambar disecarik kertas itu. Gambaran itu tak terlalu beraturan namun mengisyaratkan ada 2 lingkaran dan diberi garis lurus berbentuk anggota badan yang saling diberi nama, mungkin pikirnya itu adalah gambar manusia. Ia bahkan begitu hafal nama asliku, Hana dan Omara. Detail kaca mata menjadi khas menggambarkan bahwa itu aku. Hadiah yang sangat indah dari gadis kecil yang kini akan selalu ku ingat namanya.
“Terimakasih ya omara sayang, indah sekali gambaranmu.”
“Sama-sama bu nana, disimpan baik-baik yaa.” Ucapnya diakhiri dengan senyum yang manis.
Waktu pulang menandakan perpisahan antara kami. Jam pelajaran bagi anak usia dini tidaklah memakan waktu lama. Aku akan kembali kerumah untuk berisirahat dan melanjutkan kegiatan mengajar di jam 2 nanti.
***
Cuaca siang hari ini ternyata cukup bersahabat, matahari terasa lebih hangat dan aku harus kembali berangkat. Seperti biasa aku bersemangat sampai tiba waktu istirahat salah satu murid menghampiri mejaku.
“Apa jadi guru itu cita-cita ibu?” tanya siswi itu tiba-tiba
“Mungkin bisa dibilang begitu…”
“Jadi cita-cita ibu sebenernya pengen jadi apa?” tanyanya dengan rasa penasaran
“Hmm… Ibu pengen jadi orang yang berguna.” jawabku
“Oh jadi guru bukan cita-cita ibu dong ya?”
“Ibu gak bilang gitu ya,. bukankah karena jadi guru ibu bisa berguna untuk orang lain? Sebetulnya dulu cita-cita ibu pengen jadi Polwan dan itu bertahan sampai ibu masuk SMP.”
“Kenapa cuma sampai SMP? Setelah itu ibu pasti bingung ya pengen jadi apa?” tanyanya kembali
“Bener banget, tapi enggak lama sih. Setelah itu ibu pengen jadi Relawan, rantau kedaerah terpencil bisa ngajar dipelosok-pelosok daerah karena ibu pikir ibu bisa lebih dihargai dan dibutuhkan disana. Dan sebelum ibu lulus SMA cita-cita ibu berubah lagi pengen jadi Psikolog.”
“Kenapa ibu gak jadi relawan atau jadi Psikolog aja kalau itu keinginan ibu?”
Aku hanya bisa terdiam beberapa saat. ‘karena hidup tidak selalu berjalan tentang apa yang kita inginkan’ getirku dalam hati
“Karena sekarang ibu kan jadi guru kalian. Ibu juga lagi belajar gimana caranya bisa lebih berguna untuk orang lain. Untuk sekarang ibu cukup jadi itu. Coba sekarang ibu yang tanya deh, cita-cita Rea mau jadi apa?”
“Kok ibu malah tanya balik Rea sih.” timpalnya dengan rasa kecewa
“Kenapa kok jadi lesu begitu? Kayanya kamu bingung ya mau jadi apa?” tanyaku dengan nada yang sedikit menjengkelkan
“Yaa gitu deh bu. Waktu masih kecil aku pengen jadi dokter dan sekarang…” ucapannya terjeda dan terlihat berfikir sangat dalam
“Jangan terlalu dipikirkan ya, perjalanan menuju masa depanmu masih panjang meski harus kamu pikirkan dari sekarang. Tapi cukup perlahan-lahan, nanti juga pasti kamu menemukan jawabannya kok. Ikuti kata hati kamu.” kataku dan dibalasnya dengan anggukan.
“Oke? Semangat dong anak ibu. Yaudah sekarang kamu istirahat dulu, nanti keburu bel masuk bunyi.”
“Oke deh bu. Dadah ibu…” pamitnya meninggalkanku.
Tak lama Rea berbalik dan memunculkan wajahnya saja diambang pintu “Bu, jadinya kapan mau jadi psikolognya?.
“Sampai sini aja ya sesi konselingnya hari ini Reaaaa. Pertanyaan kamu disimpen aja dulu buat besok. Cepet istirahat atau mau dilanjut sampai bel masuk aja nih sesinya?”
“Eh i-iya deh bu sampe sini aja aku mau jajan dulu. Beneran sekarang mah bu gak nanya-nanya lagi. Dadah ibu..” ia benar-benar pergi setelah tak terlihat lagi di ambang pintu.
Memahami karakter setiap anak bisa dikatakan tidak mudah. Apalagi dengan perbedaan umur dalam waktu ajar. Pagi berhadapan dengan anak anak balita dan siang dengan anak anak yang menginjak remaja. Emosi keduanya berbeda. Tapi jangan jadikan itu suatu penghalang bukan?.
Setelah anak anak pulang sekolah, aku menikmati sebentar kesendirian hanya untuk melepas penat dari keseharian mengajar. Pertanyaan yang tadi aku terima terlintas kembali. Aku tersenyum kecil karena dulu aku pernah menanyakan hal yang sama. Dan kelas ini juga adalah kelas yang kutempati 8 tahun lalu. Duduk dibaris terakhir menjadi saksi aku pernah mencari sebongkah ilmu. Meski cara belajarku masih main-main, tapi kursi yang tak lagi sama itu menjadi bukti aku hanya meninggalkan kelas 2 hari dan menjadi siswi terajin.
Bisakah aku mengulang kembali masa itu? Yang hanya bingung menentukan ingin jadi apa dimasa depan ketika sesekali berubah saat hati goyah. Dan sekarang aku duduk ditempat yang dulu hanya bisa ku pandang. Terkadang jika lelah menghadapi tingkah mereka itu datang, aku selalu bertanya. Mengapa mereka sulit kukendalikan? Mengapa aku merasa sulit mendapatkan hati mereka? Apa tahun kita berbeda? Atau karma itu benar benar ada?
***
Hari berganti, Minggu berlalu. Kini aku terbiasa, sedikit demi sedikit aku tau sifat mereka. Bagaimana pun perilakunya, baik dan buruknya, lucu dan menjengkelkannya. Mereka adalah anak-anak istimewa yang aku punya dan anak-anak yang harus ku didik dengan sempurna. Lagi dan lagi semua hanya tentang waktu. Disaat-saat ternyaman membersamai, aku dipaksa untuk pergi.
Pergi hanya untuk sementara. Ternyata aku tak sekuat itu. Disatu waktu aku menyesalinya dan diwaktu lain aku menikmatinya. Menyesalinya karena merasa tidak maksimal dalam mengajar dan menikmatinya karena bisa lebih menyayangi dan mengenal diriku sendiri lebih dalam. Fisik dan mentalku rapuh. Tapi aku percaya aku akan segera sembuh.
Waktu terasa begitu lambat ketika aku berada dalam rumah. Selama itu pun aku tak banyak menerima kabar bagaimana perkembangan mereka disekolah. Apa berjalan baik-baik saja? ataukah ada masalah? Aku merasa khawatir dan bersalah. Namun sebelum pikiran tak baikku jauh mengarah, hingga pikiran tentang mereka yang perlahan melupakanku pun hadir tak ramah. Omara dan Rea menunjukan dengan caranya, bahwa apa yang aku pikirkan kan itu salah. Dihari guru, mereka kembali menungguku.
Dari pesan singkat yang rekan guru kirimkan pagi tadi, aku kembali percaya. Gelembung-gelembung kebaikan yang aku berikan ketika dikelas ternyata mereka merindukannya. Setidaknya ada yang merasa kehilangan ketika aku tidak hadir bersama dengan mereka.
Pesan suara pertama yang aku dengar adalah suara dari Omara. Tidak ada lagi rahasia diantara kami, hingga kejutan yang tadinya akan diberikan para wali murid itu dihancurkan oleh anak mereka sendiri. “Bu Nana besok datang kan kesekolah? Besok kan hari guru. Udah lama banget gak ngajar aku. Sayang juga kan sepatunya udah dibeliin mamah aku kalau ibu gak datang.” rengeknya diakhir suara, ada saja tingkah meraka.
Baru mendengarnya saja aku sudah dibuat tertawa. Ah aku jadi semakin rindu mereka.
Pesan kedua berbentuk pesan gambar yang dikirimkan. Berisikan tulisan tangan terampil Rea.
Ibu,. Bagaimana kabarnya? Kapan ibu kembali mengajar kami disekolah. Maafin kami ya bu kalau selama di kelas kami semua nakal. Apalagi si Jalu yang suka buat ibu pusing, dia emang gitu bu dari kelas 3 juga. Tapi kalau gak ada dia, kelas gak bakal rame bu. Takutnya gara-gara tingkah kita ibu jadi sakit. Oh iya bu, sebenernya aku masih belum menemukan jawaban pertanyaan itu, aku jadi kangen banget konseling sama ibu. Aku juga kangen sama ibu. Cepet masuk lagi ya bu…
Didalam surat masih sempat-sempatnya ia menuliskan perilaku salah satu temannya yang membuatku sedikit tertawa. Mendapat 2 pesan menyentuh seperti itu aku merasa dihargai. Kini gelembung-gelumbung kebaikan mereka lah yang memberiku semangat agar cepat pulih dan kembali kesekolah.
Pada akhirnya aku menemukan jawaban mengapa cita-cita manusia itu relatif. Saat kecil ingin menjadi polisi. Memasuki lingkungan awal sekolah ingin menjadi dokter. Memasuki usia remaja ingin menjadi pengusaha. Dan pada akhirnya ingin menjadi orang yang berguna untuk orang lain menjadi pemenangnya. Bukan karena tingginya impian itu sulit diraih dan menjadikan berguna untuk orang lain alasan yang masuk akal untuk mengobati perih.Hanya saja ada orang-orang sepertiku tidak bisa lebih jauh mengusahakannya. Tapi aku lagi lagi belajar, takdir hidup selalu memberi kesempatan dengan banyak peluang keberhasilan dan kebahagian untuk setiap pilihan.
Bukan aku tak mau berjuang lebih keras mencapai semua hal yang sangat aku impikan dan menjadikan profesiku saat ini menjadi batu loncatan. Aku membiarkan segalanya berjalan sesuai dengan takdirnya. Bukan aku juga menyerah pada keadaan tapi aku sedang berjalan dengan banyak mengambil pelajaran. Menerima dengan lapang apapun yang hari ini aku dapatkan. Menjadi diri sendiri dan merasa nyaman. Definisi cita-cita bukan melulu tentang berhasilnya kita bisa meraih impian tapi bisa juga sebagai tali harapan yang bisa selalu digenggam untuk tetap mengusahkan suatu tujuan.
Di tahun ini pilihanku adalah melanjutkan apa yang sudah aku jalani. Menjadi seorang guru adalah salah satu jalan menjadikan diriku menjadi orang yang berguna untuk orang lain. Jika pertemuan dengan mereka membuatku berdebar bahagia dan kehadiran diriku menjadi hal yang dirindukan oleh mereka. Maka, aku sudah menemukan titik terang cita-cita.
Semoga ditahun selanjutnya aku masih layak berada di titik ini, bahkan bisa lebih berguna bagi orang lain lewat tulisan ini.