Goresan Pena Artanti
Karya: Nirmala Dian Pertiwi, S.S.
Lantas siapa bapak dari anakku? dimana dia? mengapa tidak ada kabarnya?
Semua tersaji di tahun 2023. Tahun yang mana aku sangat memahami arti hidup.
“Ma… mama…. Stres aku mah. Perlakuan mereka selalu gitu terhadapku! Sadar tidak mah, aku layak mengetahui keberadaan ayahku. Sekadar mengetahui namanya pun tidak kau izinkan. Usiaku 14 tahun ma. Ingat 14 tahun.”
“Sudahlah diam!” bentakku naik pitam
Kata 14 tahun semakin menyadarkanku apa aku mati saja? atau anak itu yang harus mati? Bagaimana kalau aku kembali seperti dulu? merayu pria-pria berdasi, mengapa tidak? wajahku rupawan, tubuhku molek, hasutanku juga…. Astagfirullahhaladzim. Sahutku dengan secuil iman di benakku.
Sungguh begitu muak tekanan dunia. Rasanya sulit sekali menyambung hidup, tugas ini benar-benar membuatku harus memeras otak. Sudah hampir sepuluh sekolah aku lamar. Tak ada satu pun panggilan. Ya, beginilah nasibku sebagai Artanti yang bagi rakyat Jawa nama itu banyak rezeki. Tapi faktanya malah mengemis rezeki.
Padahal di otakku dipenuhi kata optimis lolos. Tapi setelah ku pikir-pikir apakah aku layak melamar di sekolah islami? ilmu agamaku saja amburadul. Anak ada suami tak punya, ya itu berarti akhlaku tak lebih baik dari binatang. Apa iya di madrasah menerima calon guru sepertiku?
Benar dugaanku seminggu berlalu, dua minggu, tiga minggu, sebulan, tak ada panggilan apapun. Namun siapa sangka dua bulan penantianku sekolah itu melelehkan hatiku. Tepat di umurku ke 34 aku bak keluar dari sarang. “Selamat bergabung dengan MTs An-Najma Anda kami terima.” Wow tutur kata itu membuat diriku melayang di udara.
Mendengar itu Dita anakku langsung gercap mendatangi
“Selamat ma, debatku juga juara 1 lagi.”
“Oke.”
Lanjut tanggal 10 Februari 2023 yang mana kali pertama aku mengajar. Terkejutnya aku saat melihat Bu Sofi wali kelas anakku di sekolah mendatangiku kesini. Bualan itu lumayan menguras emosi.
“Bu kebetulan kan tempat kerja kita berdekatan. Maksud saya kesini ingin memberikan ucapan selamat ibu akhirnya resmi menjadi guru. Saya selaku wali kelas Dita juga ingin meminta izin ke ibu kalau Dita akan mengikuti lomba MTQ di luar kota dan…”
“Cukup Bu, saya tidak setuju. Saya ingin anak saya menjadi sastrawan, bukan ustadzah atau yang berbau Islam.”
“Dita ini murid berprestasi Bu, bisa juara 1 pidato Arab, juara 2 debat bahas asing, storytelling, hebatnya MTQ tingkat nasional. Kita kan sama-sama tenaga pengajar mbok tolong dukungannya Bu. Apa ibu tahu jika semua uang tunai hadiah lomba Dita dititipkan ke saya sudah hampir 10 juta. Bu Artanti masih tidak tergerak hati untuk mendukung bakat anaknya? Kok malah membisu Bu? Ya sudah permisi.”
Secuil perbincangan itu perlahan membuatku melek. Sungguh mataku melotot membayangkan betapa kerasnya keringat anakku sampai ia mengantongi 10 juta upah kemenangan lomba-lombanya. Aku sadar anak hasil zina bukan berarti terkutuk.
Waktu pasti berlalu. Hari demi hari meninggalkan kita dengan atau tanpa senyuman. Hari baru akan datang. Sudah hari ketiga aku kerja menjadi guru, disini gajiku masih jauh di bawah UMR Semarang, ya hanya sekitar 800 ribu per-bulan.
Mengingat gajiku segitu, hatiku semakin dongkol. Mengapa Dita tak menyerahkan upah hasil lomba padaku sudah jelas aku ibunya. Kok malah diberikan wali kelas kampret itu!
“Ditaaa. Dita sini!” panggilku geram
“Apa sih ma, aku lelah.”
“Kamu kenapa tidak kasih tahu mama kalau kamu punya uang 10 juta?”
“Terus apa mama peduli? Mama saja acuh denganku. Temanku hampir tiap hari membully diriku. Dikata Aku anak haram lah, ayahku lelaki jahanam, ibuku pelacur. Sakit dihina ma! Mama sudah jadi guru seharusnya kasih aku pengetahuan juga dong. Pengetahuan tentang ayah. Ingat ma ayah!”
“Terserah kamu saja” responku sambil menarik selimut
Esok di sekolah, isi pikiranku hanya merenungi alur hidupku sambil menunggu bel upacara. Persis di hari peringatan guru, aku sedikit tersentuh ketika satu dari anak didikku memberikan surat padaku.
Dear Bu Artanti
Bu Artanti, guru favorit kelas kami. Ibu lebih spesial daripada guru-guru lain karena tidak pernah memberikan tugas, ulangan bulanan hampir tidak ada, yang paling membuat kami puas Ibu sering jam kosong. Terima kasih banyak Bu
Perwakilan kelas 9 Doni
Rasanya teriris baca surat singkat itu, entahlah itu murni pujian atau memang sebuah sindiran. Halah tak penting juga. Seperti biasa jam mengajar di ujung kepulangan aku berat kaki naik ke lantai dua menyampaikan materi. Batinku siang bolong pelajaran, anak-anaknya juga mengantuk. Akhirnya aku putar haluan saja ke kantin. Sakadar nongkrong makan cemilan.
Selang satu jam muridku datang
“Bu tolong Doni Bu. Sekarang dia ada di pinggir jalan, mukanya kena hajar lawan tadi Bu. Perutnya sakit kena lempar batu juga. Tolong Bu.”
“Kok gitu? Kalian tawuran ya! Hah jawab!”
“I-iya Bu tadi maaf.”
“Kurang ajar. Berani-beraninya jam saya kalian pergi keluar sekolah!”
Mendengar kabar itu darahku serasa mendidih. Aku bergegas menuju lokasi. Puluhan warga juga polisi membanjiri jalan melihat muridku itu. Tak menunggu lama langsung aku ikuti Doni diangkut mobil polisi.
Tiba di rumah sakit asumsiku hanya satu “apa aku akan diproses hukum?” Seluruh isi pikiranku kacau, hatiku remuk redam sangat ketakutan. Ditambah ponselku 10 kali terus berdering. Aku yang tak sempat menjawab telepon, akhirnya menerima pesan singkat.
Sungguh terkejut setengah mati membaca kabar anakku Dita juga berada di rumah sakit yang sama sepertiku. Segera aku hampiri dan temui dokter, lantas apa yang ia katakan?
“Dita kondisi psikisnya sedikit terganggu, sehingga mencoba bunuh diri. Dia harus menjalani pemeriksaan lebih intens dengan psikolog Bu.”
Seketika air mataku mengalir deras beradu pandang dengan dokter dan melihat wajah anakku berbaring tak sadar di rumah sakit. Aku tak mampu menahan jeritanku menyalahkan diriku sendiri. Artanti gagal jadi guru, Artanti hina jadi ibu. Aku tak peduli seisi rumah sakit mendengar suaraku.
Kata guru kembali mengingatkanku pada Doni anak didikku. Sambil menenangkan diri, aku berjalan menuju ruang perawatannya. Amat bahagia melihat dirinya mampu membuka mata melirik ke arahku. Tak banyak bicara aku langsung menyerahkan ponselku agar Doni menelepon bapaknya.
Pasca dua jam menunggu. Rasanya parah campur aduk melihat pria berjas dengan sepatu hitam berjalan ke arah ruangan ini.
“Bu Artanti, ini ayahku Rais Ardjo. Ayah, ini guru favoritku Bu Artanti” ujar Dito saling mengenalkan kami
Aku seperti mati berdiri mendengar nama itu. Hatiku hancur lebur, seluruh perasaanku terkoyak-koyak mengingat masa laluku bersamanya. Ya, bersama Rais Ardjo yang nyatanya dia ayah Doni sekaligus ayah anakku Dita.
Di luar ruangan aku dan Rais berseteru hebat. Tak segan dia melaporkanku ke polisi detik ini juga akibat kelalaianku mengajar di kelas anaknya.
“Wanita kurang ajar bisa-bisanya kamu jadi guru tak beretika. Tugasmu apa sampai anakku bisa ikut tawuran ha? Perlu aku laporkan ke polisi! Ingat kamu pantas dipecat juga dari jabatan!”
“Tugasku apa? Memang kamu tak sadar tugasmu? 14 tahun kamu hilang tanpa kabar. Apa kamu tanggungjawab terhadap anakmu Dita?” balasku ingin menamparnya
“Dimana dia?”
“Lihat saja di kamar sebelah dia di rumah sakit! Mentalnya hancur gara-gara kamu!”
“Hanya salahku? Kau yang tak mengizinkan ku bertemu dia sejak kecil. Masih kau berani membantah?!” tutup Rais
Peristiwa-peristiwa goresan pena 2023 ini membuatku tahu diri. Bagaimana lelahnya mencari kerja, senang sedih menjadi guru, dipecat kepala sekolah, bahkan hampir dibalik jeruji besi, dan ya memang aku tak pantas menjabat sebagai pengajar.
Nyatanya lisanku sungguh keji, aku sebagai guru namun otakku otak udang. Anakku Dita yang sering dibully di sekolah lamanya sampai-sampai aku tak peduli. Aku selalu merahasiakan hak mengenal ayahnya, memaksa ia jadi sastrawan. Bahkan diriku sendiri melakukan hubungan haram semasa kuliah, hingga akhirnya aku harus memeras keringat hidup bersama anakku tanpa suami.
Menjadi guru pun aku sudah hilang akal. Sampai jarang masuk kelas, anak kabur tawuran. Kejadian-kejadian itu membuat hatiku remuk. Seperti sedia kala aku kembali menganggur di rumah.
Diriku sebagai mantan guru tersadar jika peran guru bukan sebatas mengajar memberikan teori atau materi pelajaran. Guru HARUS profesional dalam hal mendidik, membimbing, mengarahkan, dan mengevaluasi para siswa. Terutama memberi contoh perilaku yang baik. Guru harus berperan dalam memberantas pembullyan, pergaulan bebas, tawuran, dan jenis kenakalan siswa lainnya.
Di sisa umurku, aku bertekad memulai semua dari awal. Ingat balas dendam terbaik adalah menjadikan diri ini lebih baik.