Isak Tangis untuk Tuhan: Tertunda dan Berbeda Bukan Berarti Tiada
Karya: Marsetya Aulia Rahma Diyanti
Ketika impian tak lagi mampu digapai dan keinginan belum terwujud serta setiap usaha yang telah kita lakukan belum mendapatkan “hasil”, pikiran dan hati ini terus mengatakan “sia-sia sekali aku melakukannya, mengapa untuk mendapatkannya begitu sulit sekali? Bodoh sekali diri ini”.
Pada tahun yang bertepatan dengan kelulusan sekolah menengah atas, seorang gadis berusia delapan belas tahun yang kerap dipanggil “Marsetya” pertama kalinya merasakan kehancuran dan kesedihan yang membuat dirinya rapuh dalam seumur hidupnya. Campur aduk rasanya di dalam hati gadis itu ketika takdir belum berpihak dan berkata “yes” untuk dirinya. Sedih disaat semua yang telah dikeluarkan, baik waktu, usaha, tenaga, finansial, pikiran, dan semua hal telah dikerahkan dan dikorbankan, tetapi belum membuahkan hasil. Ketika sesuatu yang sangat diimpikan dan didambakan serta diperjuangkan tetapi seolah berkata “No” untuk dirinya miliki sekarang.
Rasa putus asa, hilang harapan, dan semangat terus menghampiri hari demi hari. Tetasan air mata kian berlinang membasahi pipi tanpa disadari. Raga dan otak yang lelah, tetapi harus terus berfikir dan bergerak kemana diri gadis itu akan pergi untuk mewujudkan semua impiannya. Penolakan yang berkali-kali bagaikan kabut hitam yang menutupi sinar indah matahari impian.
Gadis itu merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Dia terlahir dari keluarga yang bisa dikatakan cukup, bukan berasal dari kalangan keluarga yang kaya, tetapi bukan juga berasal dari keluarga yang kekurangan. Semenjak dia duduk dibangku SMP, dia sangat mencita-citakan untuk menjadi seorang dokter. Terlebih lagi saat beberapa anggota keluarganya, termasuk bapak gadis itu sendiri berkali-kali mengalami sakit dan berobat namun mendapatkan kesigapan penanganan yang “berbeda” dengan orang yang memiliki tingkat ekonomi yang lebih baik jika dibandingkan dengan gadis itu. Hal tersebut menjadi salah satu alasan yang membuat semangat dan ambisi seorang gadis itu untuk menjadi seorang relawan dokter sangat menggebu-gebu. Ia memiliki keinginan dan bercita-cita untuk dapat memberikan pengobatan murah hingga gratis bagi orang yang berekonomi rendah atau orang yang kurang mampu kelak suatu saat nanti.
Namun, harapan dan impian tersebut ternyata tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Orang tuanya, tepatnya bapak gadis itu hanyalah seorang lulusan SMA yang dalam beberapa tahun lagi akan memasuki masa pensiun dari dunia pekerjaannya. Namun, beliau harus tetap berjuang dan bekerja keras untuk membiayai ketiga anaknya yang masih mengeyam dunia pendidikan. Walaupun panas, hujan, hingga dalam kondisi sakit pun beliau tetap semangat bekerja dengan mengendarai motor tuanya sejak sang surya belum terbit hingga hendak tenggelam. Sejak SMP hingga SMA, gadis itu mulai mencoba untuk berjuang sesuai posisi yang ia jalani, yaitu menjadi siswi yang harus terus menerus giat belajar dan berprestasi dengan harapan melalui apa yang bisa ia lakukan dan raih sekarang dapat membantu dan mempermudahnya untuk mewujudkan cita-citanya dan meringankan beban finansial orang tuanya untuk dia dapat mengenyam pendidikan selanjutnya. Ada satu pesan dari bapak gadis itu yang selalu ia ingat dan sematkan di otaknya, kapan dan dimana pun berada terutama pada saat gadis itu belajar, “bapak hanya lulusan SMA, saat dahulu bapak lulus SMA…jangankan biaya untuk kuliah, untuk makan sehari-hari saja sulit…tetapi semua anak-anak bapak harus lebih baik daripada bapak dan semuanya harus bisa dan lulus kuliah.”
Ketika tepat duduk dibangku SMA tingkat akhir, setiap siswa biasanya akan ditanya mengenai keinginan terkait untuk mengenyam pendidikan jenjang selanjutnya, tetapi mulai saat seperti itu ujian yang berhubungan dengan kesiapan mental pun mulai teruji,
“Marsetya, setelah lulus SMA mau melanjutkan kemana?” ujar si guru A
“Insyaa Allah rencananya saya ingin melanjutkan dan mengambil kedokteran, Bu” jawab gadis itu
“Whoaah berat itu…(sambil memancarkan wajah yang terlihat merendahkan)” ujar kembali si guru A
“Kalau menurut ibu, kamu sepertinya agak sulit dan tidak bisa mengambil kedokteran…” ujar yang lain si guru B
Saat itu yang bisa gadis itu lakukan hanya diam dan merenungi semua kata-kata tersebut yang terus menerus melintas dipikirannya dan bertanya kepada Tuhan dan dirinya sendiri “ Ya Allah…apakah sesulit itu dan apakah aku tidak berhak menjadi seorang dokter?” hingga tidak terasa semakin lama kata-kata tersebut membuat hatinya terasa sedih hingga membuat matanya sedikit berlinang. Namun, satu hal yang selalu gadis itu percaya “Allah itu Maha Baik, Maha Mengetahui, dan Maha Segalanya” saat itu ia juga selalu menanamkan bahwa jikalau memang kedokteran menjadi jalan rezekinya maka Tuhan akan mempermudah jalannya untuk mewujudkan cita-citanya sehingga saat itu kalimat yang guru-gurunya telah sampaikan, ia hanya jadikan sebagai cambukan bagi dirinya untuk lebih keras dan semangat lagi dalam mewujudkan cita-citanya. Gadis itu terlihat menjadi lebih sering mengasingkan dan memfokuskan diri untuk belajar dalam mempersiapkan jalur lain masuk universitas untuk menjadi mahasiswi kedokteran.
Tepat ketika beberapa bulan ingin memasuki jalur rapot universitas, dimana pihak sekolah mengumumkan 40% siswa terbaik satu angkatannya di sekolah yang berhak dan akan mendapatkan kesempatan menjadi siswa eligible / siswa yang memiliki kesempatan untuk mendaftar masuk universitas negeri secara gratis dengan hanya menyertakan rapot dan prestasi yang diperoleh selama masa SMA. Saat itu diumumkan, alhamdulillah gadis itu mendapatkan kuota tersebut dan masuk kedalam peringkat lima besar satu angkatan.
Ketika jalur rapot tersebut dibuka, gadis itu mendaftarkan dirinya untuk mengambil jurusan yang sangat ia dambakan, yaitu kedokteran di salah satu universitas yang ada di Jakarta. Dua bulan kemudian tibalah pengumuan jalur tesebut, kata-kata “ANDA DINYATAKAN TIDAK LULUS SELEKSI SNMPTN” yang muncul di layar ponselnya seolah-olah menamparnya bahwa ia belum berhasil menjadi seorang calon mahasiswi. Namun, satu langkah kegagalan yang ia dapatkan tidak menjadikan penyurut semangatnya yang masih terus membara untuk menjadi seorang dokter. Dengan rasa kesedihan yang masih tergores dihatinya, disamping itu ia tetap harus mempesiapkan diri untuk jalur seleksi masuk universitas lainnya, yaitu melalui ujian masuk tes tertulis.
Dengan bekal ilmu yang telah gadis itu pelajari selama duduk dibangku SMA, restu dari kedua orang tuanya, dan doa yang sama yang selalu ia panjatkan kepada Sang Pencipta dalam setiap sujudnya, gadis itu berkali-kali mencoba tes ujian masuk ke beberapa universitas tujuan, mulai dari daerah Jakarta, Jawa, Lampung, hingga Sumatera ia terus mencobanya. Disamping gadis itu mencoba melalui jalur masuk ujian tes tertulis, ia juga mencoba mencari jalur lain, yaitu jalur beasiswa. Namun, semua yang telah ia usahakan disaat pengumuman tetap saja mendapatkan hasil yang sama, yaitu “PENOLAKAN” empat belas kali mencoba dan empat belas kali juga penolakan yang ia dapatkan. Tidak ada satu pun universitas manapun yang menerimanya.
Bersaman dengan penolakan yang terus gadis itu dapatkan, cacian, dan segala bentuk omangan orang juga terus berdatangan dan disorakkan oleh orang dan lingkungan sekitarnya hari demi hari tanpa melihat nasib kemalangan dan proses perjuangan.
“Kamu sih ketinggian impian dan keinginannya…”
“Itukan sulit,itukan mahal memangnya kamu mampu…?”
Perasaan lelah, gagal, kecewa, dan marah menjadi satu. Saat diri gadis itu merasa bahwa ia belum bisa memberikan sesuatu yang terbaik dan terindah untuk kedua insan manusia berhati malaikat yang telah menjaga dan merawatnya serta belum bisa menciptakan ukiran senyuman yang begitu manis di wajah mereka. Ditambah hanya bisa membuat derai air mata sedih dan hanya kegagalan yang terus menyelimuti jiwa. Sungguh dirinya merasa kehidupan ini benar-benar begitu tidak adil dan begitu kejam untuknya. Gadis itu merasa ingin benar-benar menghilang ditelan bumi, Ketika bibir gadis itu rasanya ingin berteriak membungkam semua perkataan, tetapi pikiran dan hatinya selalu menolak bahwa apa yang mereka katakan memang sebuah kebenaran dan kenyataannya untuk saat ini.
Rasa lelah dengan keadaan yang ada membuat gadis itu akhirnya memutuskan untuk mengasingkan dirinya dan lebih membatasi untuk berinteraksi sosial selama kurang lebih 5 bulan lamanya. Ia takut dengan respon orang luar terkait apa yang gadis itu alami. Gadis itu hanya merenungi dan meratapi kehidupan yang ia sedang jalani. Menangis merupakan sesuatu hal lumrah atau menjadi salah satu kebiasaan di masa gap year yang gadis itu sedang jalani. Bahkan sudah tak terhitung seberapa banyak air mata yang terus menerus mengalir dan menjadi hal yang tidak pernah luput dalam keseharian. Hanya kata “Ah dan Seandainya” yang kini menjadi ucapan yang tak pernah absen dalam lisan. Semua yang telah ia lakukan dan perjuangkan seakan sudah tak berarti dan hanya akan menjadi cerita yang sudah saatnya dikenang. Tidak jarang juga ia berkeluh kesah dengan dirinya dan Tuhannya.
“Ya Allah, dosa dan kesalahan apa yang telah aku lakukan kepadamu sehingga begitu berat ujian yang telah kau berikan kepadaku? dan mengapa perkataan mereka begitu menyakitkan…apakah perkataan mereka semua benar terhadapku? Tentang aku tidak pantas menjadi dokter…bukankah Engkau Maha Baik dan Maha Pendengar? Mengapa Engkau tidak mengabulkan doa-doaku?” ujar gadis itu.
Setelah lima bulan berlalu, gadis itu kembali bangkit dan membuka lembaran baru perjuangannya kembali dalam meraih impiannya untuk melanjutkan pendidikan melalui pencerahan dan nasihat yang cinta pertamanya selalu berikan, yaitu bapak gadis itu (cinta pertama seorang anak perempuan). Bapaknya selalu memberikan gadis itu motivasi dan selalu menanamkan kepercayaan bahwa Tuhan itu tidak pernah tidur dan selalu menyaksikan dan mendengar doa-doa gadis itu dan semua akan terjawab disaat yang tepat.
Gadis itu kembali berjuang dan belajar kembali untuk mempersiapkan tes ujian masuk di tahun berikutnya. Ia juga kembali memikirkan pendapat orang yang pernah mereka sorakkan terhadap dirinya mengenai jurusan yang gadis itu impikan.
“Sepertinya tidak ada salahnya juga apabila aku mencoba apa yang pernah mereka katakan terhadapku mengenai impian dan cita-citaku…sepertiya tidak ada salahnya juga apabila aku mencoba jurusan lain, yaitu teknik sipil. Mungkin jikalau Tuhan belum menakdirkanku menjadi seseorang yang dapat membantu menyembuhkan orang sakit menjadi seorang dokter…mungkin Tuhan nantinya akan menakdirkanku menjadi seorang pembangun dan pemilik rumah sakit sehingga aku bisa tetap memberikan pengobatan murah dan gratis terhadap orang yang membutuhkan bahkan hingga pelosok daerah terpencil” ujar gadis itu.
Dua bulan sebelum tahun berganti, gadis itu tidak sengaja melihat salah satu postingan di media sosialnya terkait salah satu basiswa yang memberikan bantuan berupa biaya kuliah selama mengenyam pendidikan hingga lulus selama empat tahun lamanya. Awalnya ia merasa ragu terkait keinginannya itu.
“Apakah aku harus mencoba beasiswa itu? tetapi bagaimana jika akan bernasib sama seperti yang sebelumnya? pasti pendaftarnya sangat banyak sekali…Namun, tidak ada salahnya juga untuk mencoba, toh biaya pendaftarannya gratis…” ujar hati gadis itu.
Dengan rasa ragu-ragu ia kembali mencoba, tetapi ia tidak terlalu menaruh harapan yang begitu besar seperti sebelumnya karena ia tidak ingin kecewa kembali apabila jika akhirnya beasiswa itu akan bernasib sama dengan sebelumnya. Gadis itu mengambil salah satu universitas di Jakarta dengan jurusan yang berbeda dengan sebelumnya, yaitu teknik sipil dengan beasiswa tersebut. Setiap seleksi ia berusaha untuk berjuang dan melalui. Doa yang ia langitkan kepada Sang Pencipta dalam setiap ibadahnya dan setiap sepertiga malamnya tidak pernah luput dalam sujudnya. Hingga tibala waktu pengumuman beasiswa tersebut secara online disaksikan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, yaitu Sandiaga Uno.
Pada hari itu doa-doa yang selalu gadis itu dan orang tuanya langitkan tanpa lelah dan henti akhirnya Tuhan jawab saat itu, dengan keajaiban disebut dan terpilihnya nama gadis itu menjadi penerima terbaik beasiswa itu di universtitas yang ia tuju dengan mengalahkan 3.047 siswa dan siswi yang berminat ke universitas tersebut. Gadis itu segera mengabari kedua orang tuanya dan orang tua gadis itu pun meneteskan air matanya ketika mengetahui bahwa nama putrinya itu disebut didepan orang-orang yang terhormat dan luar biasa serta mendapatkan biaya penuh untuk melanjutkan pendidikan di jenjang selanjutnya hingga lulus. Saat itu yang bisa gadis itu lakukan hanya sujud syukur dan tak henti-hentinya gadis itu mengucapkan terimakasih kepada orang tuanya atas doa-doa, dukungan, dan restunya dalam setiap langkah yang akan gadis itu ambil. Gadis itu juga sangat bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan atas segala rencana dan ujian yang telah Tuhan berikan kepada jalan hidupnya. Tuhan menjawab semua doa-doanya dengan cara dan waktu yang tidak pernah gadis itu kira sebelumnya.
Dari cerita gadis itu diatas, mengajarkan kepada kita bahwa kita harus terus melangkah dan melanjutkan kehidupan ini, meskipun getirnya kehidupan harus terus kita rasakan hari demi hari. Kegagalan bukan akhir dari segala kehidupan. Kehidupan itu bukan tentang seberapa banyak kegagalan yang kita dapatkan, tetapi kehidupan adalah tentang seberapa banyak usaha bangkit dari setiap kegagalan sampai kita mendapakan sebuah kemenangan. Ingatlah! iringilah setiap proses perjuangan bersama Sang Pencipta dan teruslah berdoa serta berharap kepada-Nya maka perjuangan akan terasa begitu nikmat dan indah. Ketika kita merasa ingin menyerah dan lelah untuk berjuang kembali, ingatlah!! Tuhan selalu Bersama. Percayalah suatu saat nanti akan ada hari bahagia untuk kita. Mungkin untuk saat ini adalah waktu sedih kita. Tuhan Maha Mengetahui apa pun yang terbaik untuk kita. Terkadang kita tidak mengerti alur atau cara Tuhan memberikan kejutan/sesuatu yang terbaik untuk kita. Sekarang yang harus kita lakukan ada melanjutkan kehidupan dan bersabar karena akan ada masa dimana doa yang selalu kita langitkan terjawab oleh Tuhan dan berdoalah agar Sang Pencipta selalu memberkahi dan meridhoi setiap langkah kehidupan ini.