Rantau Ngeri!
Karya: Gisti Kartika
Cepatlah kamu ke sini! Saya tunggu, loh. Bye.
Tutt tutt tutt…
Telepon terputus. Suara di seberang tak lagi terdengar. Seorang pemuda berkaos oblong kembali mengecek gawainya, mengetikan sesuatu lewat pesan Whatsapp dan mengirimkan pada seseorang yang tadi menelepon. Wajahnya semringah sebab besok ia akan berangkat ke Jawa Timur, tepatnya ke kota Malang. Tak lama, dilihatlah selembar kertas yang sedari tadi digengam. Menatapnya sembari bergumam, “luar biasa, Abdul Muis!” Hasil tes masuk perguruan tinggi menunjukkan bahwa ia diterima di Universitas XXX jurusan Desain Komunikasi Visual. Betapa senangnya. Tentu saja, berkat perjuangannya selama ini belajar mati-matian tanpa banyak tidur dan istirahat. Sembari menimang-nimang dengan antusias kertas itu, ia beranjak masuk ke dalam rumah. Langsung disambut wanita paruh baya dengan sepiring goreng ubi di tangan.
“Siapa yang menelpon, kau?”
“Aji, Mak. Kenalan di Malang. Mau minta tolong nanti saya diarahkan saat tiba di sana.”
“Baiklah. Hati-hati saja di rantau orang. Kuliah yang benar, jangan banyak bertingkah. Tambah, jangan mudah tertipu. Ngerti, ndak?”
“Ngerti, Mak.” Ucap pemuda yang bernama Abdul Muis itu sembari mencomot goreng ubi yang sudah ditaruh Amaknya di atas meja. Ia mengunyah makanan itu sembari berpikir, belum pernah sebelumnya ia pergi ke luar kota apalagi ke tanah Jawa. Selama sekolah di kota Padang, tak sekalipun ia berkesempatan menghirup udara di belahan bumi lain. Oleh sebab itulah ia dijuluki teman-temannya seorang introver. Tapi, setelah lulus sekolah ia berkeinginan untuk merantau. Meski introver ia masih mau berkembang dan memperbanyak pengalaman sekalipun di tempat yang jauh.
Muis mengunyah satu goreng ubi lagi. Dalam pikirannya terbayang sosok Aji Santoso. Seorang teman yang akan menyambutnya selepas tiba di Malang nanti. Lima bulan yang lalu, ia kenal Aji di Facebook. Pemuda asal Malang yang kebetulan seorang mahasiswa juga di Universitas XXX, jurusan DKV dan sudah semester tiga. Tadinya, ia tak berniat berteman. Biasanya, orang Minang seperti dirinya tak akan cocok dengan arek Malang. Belum lagi kadang-kadang Aji suka bicara pakai bahasa Jawa. Ia tak mengerti. Namun, entah mengapa seiring berjalannya waktu ia merasa cocok dengan arek Malang itu. Sangat asyik diajak mengobrol. Lucu dan kocak. Sama-sama hobi nge-game dan Wibu-an. Selain memang keinginan sendiri untuk kuliah di Malang, Aji juga lah yang memotivasinya untuk masuk jurusan DKV saja. Nanti, bakal dibimbing dan diarahkan. Ia bilang pada Muis bahwa Malang itu kota pelajar. Tinggal di sana bikin betah sebab kotanya indah dan ramai. “Ya, sebelas dua belas sama Jogja.” Ucap Aji pada Muis kala itu di telepon. Ia mengangguk. Tak sabar ingin membuktikan kebenaran kata-kata Aji.
Esoknya, Muis diantar Amak dan Eteknya ke Bandara Internasional Minangkabau. Jauh-jauh hari sudah dipesankan tiket pesawat Lion Air. Sebelum pergi, Amak masih sempat mencium kening Muis dan memeluknya dengan erat. Tiba-tiba perempuan paruh baya itu menangis haru. Betapa sayang ia pada anak semata wayangnya itu. Setelah kepergian suaminya, ia betul-betul kesepian. Hanya Muis yang menemani hari-harinya. Sekarang Muis pun harus pergi merantau meninggalkannya seorang diri. Tapi, apa mau dikata. Meski perasaannya sedikit tak enak, tak sampai hati pula ia menahan Muis agar tetap berada di sisinya. Biar bagaimanapun anaknya mesti punya pendidikan dan masa depan yang bagus. Ia berusaha tegar. Eteknya menepuk-nepuk punggung Amak. Mencoba menguatkan perempuan paruh baya yang gurat wajahnya sudah dihiasi dengan tangis haru. Beberapa jam kemudian, pesawat Lion Air pun lepas landas meninggalkan pulau Sumatra.
Setelah berjam-jam mengudara, Muis akhirnya tiba di bandara Abdul Rachman Saleh Kecamatan Pakis Kota Malang tepat pada pukul enam sore. Betapa ramainya. Ia sempat kesulitan menggiring koper. Harap-harap cemas situasi yang seperti itu memungkinkan terjadinya kehilangan barang bawaan jika kedapatan lalai. Ia mengecek gawainya. Memastikan keberadaan dan posisi Aji Santoso yang katanya sudah menunggu sedari tadi.
“Muiss… di sini!!”
Yang dipanggil pun celingak celinguk mencari sumber suara. Ia merasa ada yang memanggil-manggil namanya dari kejauhan. Seseorang melambai ke arahnya. Mengenakan kemeja biru kotak-kotak dan sling bag hitam. Benar saja, sosok yang dikenalnya di sosial media selama lima bulan terakhir. Aji Santoso berdiri di sana menyambut dengan antusias. Ia lega pada akhirnya ada orang yang akan mengurangi bebannya menggiring koper berat.
“Wuihh, senang bisa berjumpa, Mas Aji!” Ucap Muis sembari memberikan tos pada Aji. Keduanya langsung terlihat akrab.
“Akhirnya kita bisa ketemu, toh, haha. Kamu lihatlah di bandara ini, uakehh ramai. Apalagi di pusat kota nanti.” Ucap Aji dengan logat khas Jawanya.
Setelah berbincang-bincang sebentar, Aji pun membawa Muis bersamanya. Mereka mesti menempuh perjalanan sekitar 17 kilometer bila ke pusat kota. Aji menyarankan pada Muis untuk sementara tinggal di kosnya dahulu. Sampai di kota Malang, Muis membenarkan kata-kata Aji. Tak sedikit orang-orang seperti dirinya memenuhi kota. Katakanlah mahasiswa dari rantau. Di Alun Alun kota Malang, cuacanya sangat adem dan menyejukkan. Beberapa kali ia mengambil foto untuk diabadikan. Muis sangat senang kala itu. Sejenak ia lupa bahwa dirinya adalah seorang introver. Tapi, bersama Aji yang kocak dan aktif ia tak lagi menjadi dirinya.
“Muis, kamu tenang wae. Sam bakal bantu kowe selama di sini.”
Muis paham betul Aji suka membolak balik bahasanya. Kata Mas dibaliknya menjadi Sam seenak hati. Kebiasaan arek Malang kalau mengobrol dengan kawan-kawan sepermainan. Pernah suatu waktu ia diajak makan keluar oleh Aji. Tepatnya, di Alun Alun kota Malang lagi.
“Yok Muis, mangan oskab!”
“Oskab?”
“Bakso, toh, maksud aku itu. Haha”
“Dogmu aa!” Balas Muis menimpali. Aji tertawa melihat Muis terpancing mengumpat dalam bahasa Jawa. Dalam hati Muis sadar kota Malang ini perlahan akan mengubah dirinya. Tapi, ia memutuskan untuk tak ambil pusing dan menikmati hari-hari selama di sana.
Awal-awal ia tak begitu menemui kesulitan. Beberapa kali Aji membantunya persoalan kuliah dan sebagainya. Kadang-kadang ia merasa segan. Tapi, ia tak bisa sepenuhnya mandiri selama di sini. Ditambah, sifat introvernya belumlah hilang. Bahkan, ia berusaha keras untuk mendapatkan teman yang cocok saat di kampus. Belum lagi, setiap kali ia membawa teman sejurusan ke kosan, Aji selalu memperlihatkan rasa ketidaksukaannya. Ia juga tidak mengerti kenapa. Tapi, setelahnya Aji menjelaskan bahwa teman yang dibawanya bukanlah orang baik.
“Kowe itu tak paham pergaulan kene. Temen kowe itu arek Malang tulen, toh? Nah, kowe harus hati-hati. “
“Tapi, temen-temenku baik, Sam.”
“Ora mestii. Percaya aku, saja. Biarkan tak carikan temen lain kowe nanti.”
Muis berpikir, mungkin saja niat Aji Santoso baik. Ia tidak mau pergaulannya salah dan malah merusak pendidikannya selama di Malang. Tapi, lambat laun ia mulai merasa ada yang janggal. Aji terlalu protektif padanya. Membatasi pergaulan dan langkahnya. Aneh. Ia bukanlah bocah yang butuh banyak diawasi. Ia adalah mahasiswa. Sudah dewasa dari segi usia dan cara berpikir.
Suatu waktu ia risih setiap kali Aji bersedia mencucikan pakaiannya. Membuatkan sarapan dan menyelimutinya pas tidur. Candaannya juga mulai terdengar tak sopan. Mengarah pada hal-hal berbau seksual. Perasaannya mulai tak enak. Tak tahan dengan semua itu, Muis memutuskan untuk diam-diam mencari kosan baru. Ia meminta tolong teman sejurusan yang ia percaya. Bagaimanapun caranya, ia harus lepas dari Aji Santoso. Walau ia tak yakin Aji akan melepaskannya begitu saja.
Suatu malam, tepatnya jam dua dini hari ia memberanikan diri membuntuti Aji. Mencari tahu lebih jauh tentangnya. Aji bilang, selain kuliah ia juga bekerja part time di sebuah kafe. Namun, setahu Muis Aji jarang datang ke kampus dan mengurus kuliahnya dengan baik. Ia seringkali didapati pergi pagi dan pulang sampai tengah malam. Meskipun terlihat ekstrover, sejak datang ke kota Malang Muis tak pernah sekalipun melihat teman-teman Aji datang ke kosan sekedar untuk main atau nongkrong.
Pemuda Minang itu menelusuri gelapnya malam. Dingin begitu menusuk ke dalam tulang. Ia rekatkan jaket yang dikenakan. Ia luruskan niat demi sebuah kebenaran sebab tak mau berprasangka lebih jauh pada orang. Ia ikuti langkah Aji. Ia lihat pemuda itu berhenti di sebuah kedai kecil yang ada di ujung jalan. Hanya Aji seorang diri di sana. Tak ia temukan siapa pun selain seorang pria paruh baya yang diduga pemilik kedai. Namun, ketika ia perhatikan lebih seksama lagi batinnya langsung mengerjap. Muis memundurkan sedikit langkahnya dengan was was. Kedai tersebut lebih terlihat seperti basecamp.
Dinginnya malam semakin menusuk. Seolah mengiringi situasi yang sedang ia alami. Kalau sampai Aji Santoso tahu ia membuntuti akan berujung bahaya. Setelah lima belas menit menunggu, ia lihat satu orang muncul disusul dua tiga sampai lima orang. Semuanya lelaki. Ada yang bertubuh tinggi, kekar, bahkan kurus. Namun, anehnya semua lelaki itu terlihat gemulai. Tak seperti laki-laki normal. Saat itulah Muis berkali-kali mengumpat dalam hati. Betapa bodoh selama ini dirinya sampai tertipu. Lagi pula, sejak awal ia mestinya menaruh curiga. Bagaimana bisa ada orang yang begitu sangat baik di dunia ini tanpa menginginkan sesuatu.
Esoknya, ia kemasi barang-barangnya yang ada di kosan Aji. Ia akan segera minggat selepas Aji pergi. Lebih baik ia tidur di jalanan ketimbang seatap dengan kaum pemuja lambang pelangi. Ia jadi teringat Amaknya di pulau Sumatera nun jauh di sana. Susah payah menyekolahkan dan iba hati atas kepergiannya, tapi ia malah menggoreskan luka dengan terjebak dalam hal-hal yang tidak dibenarkan. Ia masih punya akal sehat dan menginginkan masa depan yang gemilang.
Selepas Aji pergi, Muis bergegas meninggalkan kostan itu. Ia kirim pesan pada teman satu jurusannya untuk diizinkan menginap di tempatnya sementara waktu. Sebelum pergi, ia pandangi sekali lagi rumah kosan Aji. Biar bagaimanapun kosan itu pernah menampungnya saat pertama kali datang ke kota Malang dengan kondisi tak tahu mau tinggal di mana. Ia ucapkan terima kasih pada rumah kosan itu. Namun, tidak pada pemiliknya.
Esoknya lagi, usai kelas di kampus sebuah telpon WA dari Aji Santoso masuk. Sebetulnya, ia tak ingin mengangkat. Tapi, rasanya tak sopan bila pergi begitu saja tanpa pamit pada orang yang sudah membantunya selama ini. Lagi pula, ia hanya mahasiswa rantau. Bahaya kalau punya perkara dengan arek Malang.
“Halo!” Ucap Aji sekadarnya.
Saya iki tau, kenapa kowe minggat. Tapi …
Selama beberapa menit suara di seberang telepon terdengar dingin dan lirih. Muis lebih mendekapkan ke telinganya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya setelah mendengarkan penjelasan orang di seberang telepon. Ia tampak berpikir dan termenung sangat lama. Sampai-sampai hiruk pikuk di sekelilingnya tak lagi dihiraukan dan diabaikan begitu saja. Pada akhirnya, ia menutup telepon dengan berucap, “baiklah. Bila itu keinginanmu saya akan segera ke sana!” Panggilan pun terputus. Detik berikutnya ia segera melesat pergi sembari menghembusan napas gusar. Dalam hatinya ia berucap, akan kuperjuangkan masa depanku yang lebih bahagia.