Jika Kotak Infak itu Tak Pernah Kusentuh

Hujan rintik-rintik membasahi jalanan sempit saat Kang Roso berdiri di depan mushala kecil di ujung gang Parikesit. Jaket lusuhnya basah, tubuhnya menggigil, tapi ia tak peduli. Di rumah, anaknya menangis kelaparan. Kotak susu terakhir sudah habis sejak kemarin siang.

Sejak istrinya, Nyai Amah, meninggal dunia sesaat setelah melahirkan, hidup Kang Roso berubah. Ia bekerja serabutan, tapi sebulan ini tak juga mendapat pekerjaan. Di Kampung Tompeyan, semua orang lagi dalam kesulitan. Tak ada yang bisa ia harapkan untuk memberi pinjaman. Perutnya sudah terbiasa kosong, tapi bagaimana dengan anaknya?

Malam makin larut. Mushala sepi. Tatapannya jatuh pada kotak infak. Hatinya berontak, tapi tangis anaknya lebih menyayat. Tangan gemetar, ia menggoyang kotak kayu itu. Gemboknya lemah. Sekali tarik, kuncinya terbuka. Ia mengambil beberapa lembar uang, cukup untuk membeli sekotak susu.

Saat hendak pergi, suara parau menghentikannya.

“Kang Roso?”

Di ambang pintu, Haji Mukhtar, marbot mushala, menatapnya tajam.

“Apa yang kau lakukan?”

Kang Roso menunduk.

“Saya… butuh uang, Pak Haji. Anak saya lapar.”

Haji Mukhtar menatap kotak infak yang sudah terbuka.

“Kenapa kau tak pernah meminta bantuan?”

“Saya malu, Pak Haji. Saya bukan pengemis…” Suaranya pecah.

Lelaki tua itu menghela napas.

“Aku tahu kau orang baik. Tapi ini bukan jalan yang benar.”

Kang Roso bersiap menerima hukuman. Tapi yang terjadi justru mengejutkannya. Haji Mukhtar merogoh sakunya, menyerahkan beberapa lembar uang.

“Ini untuk beli susu anakmu. Tapi jangan lakukan ini lagi.”

Tangisnya meledak. “Pak Haji…”

“Besok datang ke rumahku,” kata lelaki tua itu.

“Kita cari cara agar kau bisa bekerja.”

Malam itu, Kang Roso berjalan pulang dengan sekotak susu. Hujan menyamarkan air matanya. Ia berjanji, ini yang pertama dan terakhir kali. Namun, ada sepasang mata mengawasi.

Pagi itu, kampung gempar. Kotak infak ditemukan kosong. Warga berkumpul di halaman mushala, wajah mereka penuh amarah.

“Seseorang mencuri uang infak!” seru Pak RT.

“Aku melihat seseorang tadi malam,” ujar seorang lelaki paruh baya.

“Dia masuk ke mushala saat hujan. Aku yakin dia pelakunya.”

Nama Kang Roso langsung disebut. Desas-desus segera menyebar.

“Dia tertangkap basah oleh Pak Haji semalam,” timpal yang lain.

Haji Mukhtar mencoba menenangkan.

“Tunggu dulu. Kita tak boleh menuduh tanpa bukti.”

Apa daya, prasangka telah menelan suara kebijaksanaan.

Di rumah, Kang Roso menggantikan popok anaknya yang baru tertidur. Ia tak tahu bahwa di luar, vonis telah dijatuhkan. Ketukan keras menghantam pintunya. Beberapa warga berdiri di sana, tatapan mereka penuh kecurigaan.

“Uang di kotak infak mushala hilang semua. Kau satu-satunya yang terlihat di sana semalam,” ujar Pak RT.

Jantung Kang Roso berdegup kencang.

“Saya memang mengambil sedikit, tapi…”

“Jadi kau mengaku!” seseorang menyela.

“Dengar dulu!” Kang Roso berusaha menjelaskan, tapi tatapan mereka sudah penuh penghakiman.

Di kejauhan, seorang pria lain berdiri dalam bayang-bayang, tersenyum puas. Dialah yang menguras habis isi kotak infak setelah Kang Roso pergi. Tapi ia tahu, tak akan pernah disalahkan. Sebab dunia lebih mudah percaya pada keburukan seseorang yang sudah terlanjur dicap sebagai pencuri.

*Cerpen ini diterbitkan dalam kumpulan fiksi mini Conten Creator, Gol A Gong dkk (2025)

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *