kami terlahir dari rahim darah
yang telah ditelan tanah
sebelum sempat mengucap kata “ibu”
tiada damai
hanya kepulan partikel dan tangisan
yang menyusupi inti kehidupan
dengarkan mereka!
yang digali dari bawah reruntuhan masjid
yang berselimut pekikan sirene
yang mencintai puisi
satu bait, ditulis di telapak tangan
di negeri yang renggut penjaga jahanam
catatkan nama mereka
di pohon zaitun terakhir
di sana
tak satu pun suara kabar baik
jika peniup trompet kehancuran
bernyanyi tentang perdamaian
tanyakan padanya di mana ketika langit terbakar?
buka jendela ke tanah yang hancur
lihatlah, roket, reruntuhan
jendela ilmu hancur
buku-buku berserakan
tak satu pun suara adalah doa,
benih kehidupan yang belum sempat menggigit dunia
kini terbenam reruntuhan puing-puing
sementara ibunya mengecup batu
yang dihantam ledakan neraka
di tempat orang menunggu harapan
seorang lelaki menggumamkan lagu nina bobo
untuk tangan anaknya yang entah di mana
tak satu pun suara adalah nyanyian,
langit menunduk membawa luka
dinding-dinding berdarah membisikkan kalimat
yang tak sempat diajarkan pada anak-anak
bayangan berjalan sendiri
mencari nama-nama
di lorong-lorong berjelaga
di antara bayi kain tanpa tangisan
cinta adalah luka
yang tak selesai dijahit
dan mereka yang masih ingin bernapas
harus belajar menjerit
dengan mulut tertutup moncong bedil
suatu hari,
anak-anak akan menggambar rumah
dengan arang di dinding tank-tank itu
langit pun memuntahkan batu
menggantikan cahaya bintang
di hari lain,
seekor burung kembali tanpa terbang
pada sarangnya yang hilang
dan manusia akan bicara
dalam bahasa beton dan serpihan kaca
waspada waspada waspada
tak satu pun suara adalah diam
aku telah katakan sebelumnya;
tak satu pun suara
jika ada yang menyembunyikan luka ini
di balik bait-bait palsu,
bukalah halaman-halaman malam
biarkan tinta merah itu mengalir,
dan dunia membaca
“Kami Tidak Mati”