Kapan Lulus? – Cerpen Febyana Safitri

puisi mencintai diri

Kapan Lulus?
Karya: Febyana Safitri

Seorang pemuda dengan perawakan tinggi kurus duduk dengan muka lesu di depan ruang dosen, raut mukanya terlihat tidak sabaran menunggu seseorang datang. Dirogohnya gawai dari balik sakunya, pesan yang pertama masuk membuat ia menyunggingkan senyum tanpa perlu dipaksa, merubah seratus delapan puluh derajat raut wajahnya yang sebelumnya sangat tak nyaman dipandang. Ia balas pesan itu, dan lagi-lagi ia tersenyum. Dari arah pintu masuk terlihat seseorang yang ditunggunya datang, wajahnya berubah menjadi serius. Seorang laki-laki dengan usia lima puluh tahunan itu masuk ke ruangan dan diikuti oleh si pemuda itu.

“Baik Ilham, maaf sudah menunggu, saya koreksi dulu skripsinya”, dengan santun dan terlihat tegas bapak itu berucap. Suasana seketika berubah menjadi dingin.

Ilham berharap semester ini bisa menjadi semester terakhirnya. Kebanyakan teman-teman sekelasnya telah berhasil mendapatkan gelar dan pergi dari kota ini. Hanya tinggal beberapa teman saja, dan Ilham tidak tahu bagaimana kabar mereka sekarang. Ia baru saja keluar dari ruang dosen, matanya tertuju pada lembaran skripsi di genggaman tangannya yang penuh dengan coretan tinta merah, membuat kepalanya berdenyut tak karuan. Dosen pembimbing mengharapkan hasil yang sempurna, Ilham sangat paham itu.

Terhitung sudah tujuh kali revisi yang ia kerjakan semenjak seminar proposalnya. Apakah skripsi harus sesempurna itu? Kepalanya terlalu berdenyut untuk memikirkan keras kesalahan-kesalahan di dalam lembaran-lembaran skripsi itu. Terlalu banyak revisi itulah yang membuat Ilham malas dan seringkali mengesampingkan skripsinya. Sejenak ia memilih untuk melupakan skripsi itu, dengan menghidupkan sepeda motor tua turunan dari sang ayah, Ilham meninggalkan halaman kampus. Suara berisik di kepalanya perlahan tertelan oleh suara berisik dari motornya.

Ilham memberhentikan sepeda motor tuanya di depan bangunan bertuliskan “Kos untuk Pria”, sudah lima tahun ia mendiami bangunan itu sejak ia datang ke kota ini sebagai bocah ingusan yang baru lulus SMA. Ia perhatikan lamat-lamat rumah di seberangnya, “Apa dia udah tidur?” ia membatin. Langit telah menggelap, tak terlihat lalu-lalang manusia di sekitarnya, Ilham sangat yakin ini sudah larut malam. Ilham rasa ia telah menghabiskan banyak waktu di warung kopi setelah ia menutup toko tempatnya bekerja pukul sembilan tadi. Ia berjalan masuk ke dalam kos nya dan merebahkan dirinya. Meski matanya terpejam namun kepalanya lagi-lagi aktif menciptakan berbagai pertanyaan yang tak mampu untuk ia jawab.

Tok, tok, tok. Suara ketukan pintu membangunkan Ilham seketika. Ia sudah sangat hafal siapa yang membangunkannya di pagi buta begini.

“Sarapan dari mama” sesosok perempuan berdiri di depannya dengan membawa sepiring pisang goreng saat Ilham membuka pintu.

“Makasiiih”, balas Ilham dengan senyum sumringah meski dengan muka bantalnya.

“Gimana bimbingan kemaren?”, tanya perempuan itu.

“Masih ada yang harus direvisi”, ucap Ilham lesuh.

“gak papa, pokoknya harus semangat terus”, perempuan itu menguatkan.

Perempuan itu adalah anak pemilik kos tempat Ilham tinggal, dan kekasih Ilham yang singgah di hatinya sejak satu tahun terakhir. Rumahnya tepat di seberang sana. Dina seketika menjadi salah satu penguat Ilham di kota orang ini. Dina juga salah satu alasan Ilham untuk ingin bisa segera lulus saat ini. Ia ingin membuktikan kepada orang tua Dina bahwa dirinya pantas dan layak untuk bersanding dengan putrinya.

Di depan layar laptop, lham terlihat serius menatap ratusan deret huruf sembari jemarinya mengetik dengan gesit. Ia menyempatkan memperbaiki revisi sebelum jam dinding berada di angka jam satu siang, jam keramat sebelum ia bergegas berangkat bekerja. Mata dan otaknya dengan cekatan berusaha memperbaiki kesalahan-kesalahan di setiap halaman. Terkadang ia mendengus karena beberapa hal yang dirasa sulit. Beberapa jurnal dan buku yang ia baca membuat kepalanya pusing bukan kepalang.

Beberapa kali Ilham mengistirahatkan matanya sambil mencomot pisang goreng dari Dina pagi tadi. Baginya pisang goreng dari kekasihnya cukup untuk sarapan dan juga makan siang. Bagaimana tidak? Pisang goreng sepiring menggunung hanya untuk dirinya sendiri, dan saat ini telah tersisa beberapa biji di piringnya. Ilham kenyang.

Satu pesan masuk yang Ilham baca membuat ia menghela napas. Pesan masuk itu dari ibunya, berkali-kali ibunya bertanya tentang masalah pendidikannya yang belum selesai, ibunya hanya ingin Ilham segera pulang. Terlambat lulus dua semester membuat ibunya khawatir di kampung halaman sana.

Ibu:
Nak bagaimana kuliahmu?
Kapan selesai nak?
Kapan kamu bisa pulang?

Ilham tidak kesal dengan pertanyaan sang ibu, ia kesal dengan dirinya sendiri karena hingga hari ini ia belum bisa mewujudkan keinginan ibunya. Apalah daya Ilham yang sedang dihajar sampai babak belur oleh waktu disini. Beberapa bulan terakhir ia berusaha mengatur waktu skripsian dan bekerja agar keduanya bisa ia kerjakan dengan optimal. Ia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di kota ini.

Ilham:
Ini skripsi masih Ilham kerjakan bu.
Mohon doanya ya bu, agar skripsiku segera selesai semester ini dan pekerjaanku lancar.
Ibu sama ayah jaga kesehatan di rumah ya.
Secepatnya Ilham akan pulang bu.

Satu jawaban pesan ia kirimkan kepada ibunya untuk meredakan kekhawatiran.

Ilham melajukan motornya meninggalkan halaman kos. Mengais sedikit tenaganya yang masih tersisa. Berkali-kali ia menguap di atas motor hingga mata berairnya beberapa kali mengganggu penglihatannya. Mata dan mulutnya tak bisa berbohong bahwa ia sangat mengantuk saat ini. Setelah mengerjakan revisian skripsi, ia segera bergegas untuk siap-siap bekerja. Tak ada kesempatan untuk tidur siang, dan memang selalu tak ada waktu untuk itu.

Ia berjalan memasuki toko dengan mata yang terlihat sayu dan merah. Tak ada yang bisa ia lakukan selain cuci muka saat ini. Melakukan tugasnya sebagai karyawan toko buku, ia mengesampingkan rasa kantuknya dan mulai berkecimpung dengan buku-buku di dalam gudang, satu persatu ia mencantumkan harga pada setiap buku-buku baru itu, lalu mulai menatanya pada rak-rak buku di depan sana. Ilham menikmati setiap tugas dan kewajiban yang ia kerjakan. Pekerjaan di toko buku ialah hal yang memang ia senangi. Ketika bekerja, ia merasa bisa melupakan sejenak pikiran rumit di kepalanya.

Dengan muka sangat ditekuk Ilham keluar dari ruang dosen. Lagi-lagi tak ada hasil untuk revisinya kali ini. Dengan menghembuskan nafas Ilham berusaha untuk tenang. “Paling tidak pak Purwo udah ngasih wejangan”, Ilham membatin. Seperti dejavu Ilham keluar dari ruang dosen, rasa gelisahnya yang sama, rasa lesunya yang sama, rasa kecewanya yang sama, dan rasa gagalnya yang sama. Rasa tak mengenakkan yang berkali-kali ia rasakan itu membuatnya takut untuk kembali ke ruangan bernuansa putih itu.

Ia tak bisa berbohong bahwa ia sangat frustasi saat ini. Rasa lelahnya membuat semangatnya perlahan kembali luntur. Berjam-jam ia hanya bisa memandangi laptop di depannya, penjelasan-penjelasan yang dituturkan dosen pembimbing seketika hilang dalam ingatannya. Hanya memandangi laptop tak akan membuat skripsinya selesai, segera ia tutup laptop itu. Ilham berjalan keluar kamar kos dan duduk di teras rumah sembari menghidupkan sepuntung rokok. Langit di atasnya begitu gelap, jalanan juga sangat sunyi. Kekasihnya di seberang sana mungkin juga sudah tertidur.

Dengan mengejar waktu yang tersisa, ia berusaha untuk fokus. Mengerjakan dengan hati-hati revisian skripsinya. Menanggalkan pikiran-pikiran lemah yang membunuh. Ia tak ingin memperlambat waktu lagi. Ia bertekad ini akan menjadi revisi terakhirnya. Satu per satu yang salah ia berusaha perbaiki. Menuruti segala permintaan dosen pembimbingnya. Hingga seminggu lebih berlalu. Ia harus kembali ke ruangan itu.

Ilham keluar dari ruang dosen dengan sumringah, dengan langkah ringan ia berjalan ke arah parkiran motor. Beberapa kali ia menyapa mahasiswa lain yang notabenenya adik tingkatnya. Ia keluar dari ruang dosen dengan rasa yang baru, rasa yang seringkali ia impikan. Dengan sepeda motor tuanya Ilham berjalan melewati angin yang begitu sepoi. Ia melajukan motornya dengan tenang. Kata ACC yang dilontarkan sang dosen membuat dirinya senang bukan kepalang. Yah dosen berbesar hati menyetujui skripsinya dan menyuruh Ilham untuk segera mendaftar ujian skripsi sebelum Desember 2023 ini berakhir. Jika keadaan berjalan mulus, ia akan bisa lulus di tahun 2024. Ilham begitu lega.

Tagar:

Bagikan postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *