Menanti Datangnya Harsa – Cerpen Alya Nadila

puisi mencintai diri

Menanti Datangnya Harsa
Karya: Alya Nadila

Aku menutup tahun 2022 ku dengan kosong. Tak ada yang menarik di tahun 2022, hanya berjalan layaknya di tahun-tahun sebelumnya. Kubuka tahun 2023 ku dengan kosong pula. Beberapa bulan pertama berjalan dengan hambar. Tidak ada yang berubah. Bahkan, kututup tahun 2022 dan membuka 2023 dengan agenda patah hati. Maklum, yang katanya gagal move on padahal hanya cinta monyet. Sudahlah tidak ada interaksi, lantas apa yang harus di gamon kan?

Hari-hariku berjalan seperti biasa, benar-benar tidak ada yang menarik. Terlebih, waktu itu aku baru dinyatakan lulus undangan masuk Perguruan Tinggi Negeri, tugasku hanya perlu menunggu waktu masuk kuliah dan title-ku yang awalnya siswa berubah menjadi mahasiswa- ralat, mahasiswa baru. Kunikmati masa liburku itu, sesekali sambil membaca novel atau Alternative Universe di aplikasi X. Pikiranku melayang. Mulai berpikir hal menarik untuk mengisi waktu luang di era sedang galau-galaunya. Ah, ya, aku suka membaca, kalau menulis hanya sesekali saja. Kupikir, menarik jika kisah cintaku yang gamon itu dijadikan sebuah karya? Dasar gamon berkedok menyelami hobi.

Masihkah Kau Berkenan? itu salah satu puisi karyaku yang menceritakan tentangnya. Benar, ini juga gamon berkedok menghasilkan karya. Kulanjutkan kisah gamon ku itu pada karyaku yang lain. Kadang pula, aku mulai menulis cerita pendek. Kisahnya juga tak jauh-jauh dari hal yang kuharapkan lalu kutuangkan ia pada sebuah tulisan. Aku hanya seorang pemimpi dengan banyak hayalan di dalam pikiran.

Jariku mulai berselancar di sosial media. Mulai tertarik mengikuti lomba-lomba yang mengaitkan dunia kepenulisan. Perlu digaris bawahi, hanya puisi dan cerpen. Kuberanikan diri meng-upload puisi karyaku menjadi salah satu karya yang akan bersaing dengan banyaknya puisi milik orang lain yang akan dimuat di salah satu website kala itu. Tidak ada kabar kapan akan diumumkannya.

Title menjadi mahasiswa baru akan kuambil sekitar 1 bulan lagi, masih cukup lama jika hanya dihabiskan untuk rebahan di kasur. Aku menghabiskan waktu setiap malamku untuk menulis puisi, kadang kuselipkan dengan cerpen yang idenya masih seputar keinginan diri sendiri. Kuberanikan diri lagi untuk meng-upload cerpen karyaku menjadi sebuah buku antologi. Tak lama, di akhir Juni aku nyaris merasa menjadi penulis seutuhnya. Karyaku terbit menjadi sebuah buku antologi cerpen.

Aku masih rutin menulis meskipun waktu kuliahku sudah mulai aktif. Aku sudah mengambil title maba di kampusku. Setiap bulan, aku masih menyempatkan diri meng-upload karya-karyaku meski hanya melalui sosial mediaku, sosial media yang ku privasi, tak banyak orang tahu. Atau melalui post-an aplikasi burung biru yang berubah menjadi X sekarang. Lagi-lagi, akun itu kubuat privasi. Masih malu menampilkan karya.

Aku merebahkan diri di atas kasur, mengambil posisi nyaman untuk beristirahat sejenak setelah menghabiskan waktu dan energiku di kampus pagi tadi.

Ting!

Tanganku bergerak meraih benda pipih di sampingku. Notifikasi WhatsApp ku berbunyi. Kali ini bukan hanya bubble chat berupa pesan saja, melainkan dering ponselku dengan nama bertuliskan Geya meneleponku.

“Halo, Arin! Terdengar suara yang mengangetkanku di seberang sana. Geya, teman SMA-ku sekaligus partnerku saat bergabung di organisasi sekolah.

Nyawaku belum sepenuhnya terkumpul, aku masih terdiam. “Arin, ih. Kamu tidur, ya?” tanyanya yang kubalas dengan deheman.

“Itu tuh kamu udah buka belum post-an terbarunya Secarik Aksara?”

“Apa? Ada apa memangnya?” tanyaku masih setengah sadar.

“Puisi gamonmu itu bakal jadi karya di majalah mereka, Rin,” ujarnya dengan nada penegasan di akhir, sepertinya ia kesal menghadapi sifatku yang kalau bangun tidur sangat lama mengumpulkan nyawa.

“Puisi gamon apa? Siapa yang gamon, sih?”

“Siapa lagi yang pernah gamon sama sampai nangis-nangis padahal tuh cowok cuma penasaran doang? Mana nggak ada interaksi pula,” katanya menyindirku. “Itu makanya lihat dulu website nya,” sambungnya.

“Sebentar. Jangan dimatiin dulu teleponnya.”

Aku membuka aplikasi yang sebelumnya disebutkan Geya. Mulai mencari username kampus yang dimaksudnya.

“Loh?” Satu ucapan keluar dari bibirku. Aku memperbesar halaman terakhir website tersebut. Halaman pengumuman karya yang terpilih pada website Secarik Aksara.

“Jadi, nggak sia-sia gamon dong, ya?” tanyanya sambil menggodaku.

“Nggak sia-sia katamu? Air mata yang kemarin-kemarin keluar itu kalau dikumpulin ada kali segalon, Ge,” kataku sambil menutup postingan sebelumnya.

“Tapi, lihat deh, apa yang kamu dapatin sekarang? Meskipun kamu mulai nulis dari galau-galaumu pas gamon kemarin, tapi kamu nemuin hobi kamu sekarang, kan? Kamu udah mulai ketemu apa potensi kamu. Menulis bukan hal yang mudah tanpa ide, meskipun ide pertama yang terbesit di pikiranmu tentang galaumu karena ditinggal tuh cowok. Tapi, sekarang penulisku ini juga udah berhasil move on nya, kan?” katanya seolah menasihatiku.

“Bener, sih. Mungkin ini, ya, rencana Tuhan? Dikasih nangis-nangis dulu, dikasih galau-galau dulu. Tapi bener, deh, kalau kemarin aku nggak coba nulis meskipun tersulut jiwa galau, bisa aja aku nggak pernah nulis lagi setelah terakhir bercengkrama dengan tulisan kelas 2 SMP, 5 tahun lalu. Sekarang, aku jadi tahu potensiku di mana, aku harus berkembang di mana, dan aku harus apa sekarang,” ucapanku kali ini membenarkan nasihat yang diberikan Geya.

Kali ini ia mengubah fitur telepon suara menjadi telepon menampilkan gambar. “Selamat jadi penulis, Arin-ku. Selamat karena karyamu akan jadi tulisan yang dibaca oleh banyak orang.”

“Geya,” rengekku.

“Dih, jangan nangis. Arin keren. Nggak boleh nangis, ih. Nggak perlu nyesel karena kemarin kamu udah galau-galau nggak jelas. Biar itu jadi pelajaran dan bukti kalau kamu bisa berkembang abis patah hati nggak jelas kaya kemarin dan kamu serius sama apa yang kamu tekuni.”

Aku menyeka air mataku, “Geya, makasih udah jadi partner nulisku, sampai nangis-nangis kemarin juga ditemenin.”

“Sama-sama, penulisku. Semangat nulisnya, okay?” ucapnya sebelum mematikan panggilan berlangsung itu.

Sudut bibirku tertarik, tidak pernah terpikirkan hadiah Tuhan akan datang dengan demikian. Alih-alih memilih untuk move on, selepas memperoleh pengumuman dimuatnya karyaku, aku memilih di posisi galau yang membuat jariku bergerak menuliskan isi kepala yang lagi-lagi karena cinta monyet tidak jelas itu. Supaya ada topik, kataku.

Semangatku untuk menuangkan isi kepala yang sesekali berisik ini semakin besar. Tak jarang, kesedihan yang justru membuatku tak bisa berpikir juga ikut kutuangkan dalam sebuah tulisan. Juli 2023, aku menuliskan sebuah tulisan, tentang Tuan yang kulepaskan genggamannya. Benar, gamon ku telah usai. Meskipun topik yang kuangkat tak lagi tentangnya, aku justru tertarik menulis tentang penerimaan diri sendiri. Diri sendiri yang seharusnya lebih dicintai dibandingkan orang lain, diri sendiri yang seharusnya berhenti untuk merutuki diri, dan diri sendiri yang seharusnya paham bahwa dirinya hanya memiliki ia sendiri.

Bulan berganti bulan, aku menyibukkan diri menulis cerita-cerita singkat sekaligus agar inginku untuk menulis itu tak surut. Akhir tahun 2023 aku memilih fokus belajar, mengikuti ujian hingga mengakhiri semester pertamaku sebagai mahasiswa dengan predikat yang bagus dan membanggakan. Usahaku untuk memperoleh hal yang kuinginkan sudah kulakukan dengan semestinya, doa yang cukup besar sudah kulangitkan. Kini hanya perlu menunggu hadiah apa yang akan diberikan oleh Tuhan kepada hambanya.

Minggu terakhir di tahun 2023, aku kembali menulis beberapa tulisan, lagi-lagi tentang penerimaan diri sendiri dengan ombak kehidupan yang terus saja pasang dan surut. Bukan, bukan aku tak ingin keluar dari zona nyaman yang terus menulis tentang penerimaan diri. Hanya saja, sering kali aku menulis sesuai dengan kondisiku, entah itu sedang berantakan sekalipun. Terkadang, aku masih sering mengirim karyaku, atau sedikit cerita tentangku yang tak begitu menarik pada sebuah website.

Pencapainku tak cukup banyak, tapi aku turut senang karena telah berproses. Ceritaku tak cukup menarik. Namun, menurutku ada banyak hal yang dapat kupelajari dari tiap-tiap kejadian yang datang di kehidupanku. Merasakan sesak yang datang saat awal tahun, emosi yang kian menyulut, redam yang datang di tengah tahun, dan tenang yang melengkapi di akhir tahun 2023 ku.
Aku, sebagai pemeran utama dalam cerita hidupku. Melewati banyaknya kejadian yang harus ke lakonkan. Entah apa yang digariskan Tuhan untukku. Aku hanya percaya bahwa akan ada hadiah terbaik dari Tuhan atas hal-hal yang sebelumnya sulit ku lalui. Aku percaya takdir Tuhan yang terbaik. Cerita ini tak akan lahir jika sang penulis lengah dan tak melakukan hal apapun untuk berkembang di tahun kemarin.

Ceritaku di tahun 2023 usai. Usahaku akan terus berjalan dan doaku akan tetap melangit, hingga menanti datangnya hadiah terbaik apa lagi yang akan diberikan Tuhan untukku di masa depan.

Tagar:

Bagikan postingan

satu Respon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *