Ketika Tekanan Didamaikan oleh Tuhan
Karya: Ersa Sania Azzahro
“Nduk, senajano akeh seng ogak seneng mbek awakmu, akeh seng gagelem koncoan mbi awakmu, ngenyek awakmu. Ilingo nduk, tancepno ndek njerone ati lan pikiranmu lek Allah SWT, Emak, lan Almarhum Bapak temen sayang ambi awakmu. Sejatinya, emas senajano dipanaske, dibuwak, diidek-idek, selawase bakal tetep rupo emas”. (Nak, meskipun banyak yang nggak suka denganmu, banyak yang tidak mau berteman denganmu, menghina kamu. Ingatlah Nak, tanamkan dalam hati dan pikiranmu bahwa Allah SWT, Emak, dan Almarhum Bapak sangat sayang padamu. Sejatinya, emas meskipun dipanaskan, dibuang, diinjak-injak, selamanya akan tetap berupa emas. Pesan Emak sebelum Marni pergi merantau untuk berkuliah di Jawa Timur.
Marni Handayanicakso, biasa dipanggil Marni atau juga Si udik, dia berasal dari salah satu desa di Yogyakarta yang kini sedang menempuh Pendidikan di salah satu universitas terkenal yang ada di Jawa Timur, perkuliahannya baru dimulai sekitar 3 minggu yang lalu.
Di Kampus, minggu ke 2 perkuliahan
“Baik Saudara, setelah saya memberikan penjelasan terkait dengan Limit, Saya akan memberikan soal latihan sebanyak 15 soal dan harus kalian selesaikan dan kumpulkan sebelum perkuliahan minggu ketiga berlangsung, dan nantinya kelompok yang bisa, bisa mengerjakan di depan. Kalian bisa mengerjakannya secara berkelompok, 1 kelompok 4 orang. Silakan dibagi sendiri, Terimakasih” Ucap Bu Salimah yang merupakan dosen pengampu mata kuliah Matematika Dasar di kelas Marni.
“Baik Bu” Ucap teman-teman sekelas Marni secara serempak. Setelahnya Bu Salimah keluar dari ruangan setelah mengucapkan salam.
“Eh… Eh… Guys untuk pembagian kelompoknya kita spin aja ya??? Nanti gue kirim hasil pembagian kelompoknya di Grup” kata Toni didepan kelas selaku PJ Mata Kuliah Matematika Dasar ini.
“Siap brow”
“Udah gue share ya guys, selamat belajar!” Kata Toni. Mendengar ucapan tersebut, Marni segera mengeluarkan ponselnya untuk melihat pembagian kelompok. “Hah… Aku sekelompok sama Firza, Raya, dan Sasti, kok bisa???” Batin Marni. Marni syok bukan kepalang karena mengetahui dirinya sekelompok persis dengan 1 genk yang sudah terkenal bermulut manis dan suka cari perhatian itu, meskipun perkuliahan baru berlangsung 2 mingguan. “It’s Okay lah, aku disini untuk belajar, gausah peduliin siapa temen kelompoknya tapi peduliain cara ngerjain soalnya gimana aja” Kata Marni dengan suara selirih mungkin seraya mengetunk-ngetuk pelan kepalanya.
Setelahnya Toni selesai memberikan arahan teknis mengenai cara pengerjaan soal, semua teman-teman sekelas Marni membereskan barang-barang dan bersiap untuk pulang, mengingat Mata kuliah ini merupakan mata kuliah satu-satunya yang ada di hari ini. Marni yang akan beranjak dari tempat duduknya tiba-tiba dikagetkan dengan satu tangan yang tiba-tiba menarik tas ranselnya, dan disana ternyata hanya sisa dirinya dan 3 orang se-geng yang merupakan anggota satu kelompok Marni.
“Eh… Woiii Udik, berhubung kita sekelompok di tugas Mata Kuliah ini, gue mau Lo kerjain semuanya, gue tanggal terima jadi aja. Ya kan Guys?” “BETUL!!!” jawab kedua temannya yang lain “Inget!!! Harus betul semua. PAHAM!!!” Kata Sasti selaku ketua geng tersebut.
“Kenapa harus Marni yang ngerjain semua, kan kita sekelompok, harusnya kan kita kerjain sama-sama?” Jawab Marni.
“Eh… Lo Marnot, gausah banyak ngebacot deh, lu kagak tau kan tugasnya itu dikumpulin hari Minggu malem, Gue sama temen-temen gue yang ‘cantik’ ini mau hangout, yang ‘udik’ kan cuma babu jadi kudu ngerjain tugas-tugas kita. Kita mah mau happy-happy, mana ada hangout sambil mikirin tugas!” Tukas Sasti dengan menekankan kata cantik dan udik sembari menarik kerah kemeja Marni dengan rahang mengeras penuh kemarahan. Sementara dua teman lainnya yaitu Firza dan Raya menatap Marni dengan tatapan sinis.
“I-Iya…” hanya kata itu yang lolos dari mulut Marni sembari memejamkan mata karena menahan tangis dan kesulitan napas karena kerahnya ditarik.
“Nah… Gitu dong, jadi orang tu biar berguna digit, udah udik, kampungan, norak, masak disuruh ngerjain soal kita aja nggak mau. Ayo guys kita pergi” Seru Sasti sembari melangkah keluar dari dalam kelas dan diikuti oleh Firza dan Raya di belakangnya yang juga dengan sengaja menyenggol dan mendorong bahu Marni sampai terjatuh. “Ups… Sorry… Gue Sengaja…” “Ha… Ha… Ha…” mereka semua tertawa begitu kencang sembari keluar dari kelas.
Marni yang terjatuh pun dengan segera bangkit dan menyeka ujung matanya, ada rasa mengganjal di hati yang harus dikeluarkan. Ya, Marni ingin menangis. Marni pun segera bergegas pulang ke kos dengan sesekali menyeka air mata yang sudah terlanjur jatuh sepanjang perjalanan.
1 minggu kemudian pada mata kuliah Matematika Dasar minggu ke-3
“Oke… Saudara, terimakasih karena kalian sudah mengumpulkan tugas tepat waktu, sekarang saya ingin ada perwakilan kelompok yang mengerjakan jawabannya didepan, nanti apabila ada yang salah atau perlu dibenarkan bisa kita diskusikan bersama-sama. Bisa dimengerti?” tanya Bu Salimah “Silakan kelompok yang mau maju” imbuhnya.
“Kelompok saya Bu” Sasti mengangkat tangannya dengan suara lantang.
“Iya… Silakan”
Setelah Sasti, Raya, Firza dan Marni selesai menuliskan jawaban soal mereka dipapan tulis, Bu Salimah langsung mengoreksi jawaban mereka dan membubuhkan tanda centang pada setiap jawaban, artinya jawaban kelompok mereka lebih tepatnya jawaban Marni (karena yang mengerjakan semua soal Marni dan lainnya hanya numpang nama kelompok) benar semua.
“Bagus Saudara, jawaban kelompok kalian benar semua. Silakan duduk kembali” ucap Bu Salimah sembari mempersilakan mereka berempat untuk duduk Kembali.
Jam mata kuliah pun selesai, dan sudah memasuki waktu sholat dzuhur juga. Sebelum pulang teman-teman sekelas Marni berbincang-bincang sambil membereskan alat tulis.
“Eh… Sas, keren bener jawaban kelompok elo bisa bener semua. Bu Salimah sampai ngasih 15 nilai partisipasi lo per masing-masing anggota kelompok kalian tadi” ujar Hendra dengan sangat heboh sambil menepuk bahu Sasti.
“Ya Iyalah… Gue gitu loh… Gue kan emang dasarannya cerdas. Soal segitu mah kecil buat gue” balas Sasti dengan sedikit menjentikkan jari jempol dan kelingking saat mengucapkan kata kecil.
“Wih… Gue maskin kagum deh sama lu Sas, udah cantik, PD, berani, pinter lagi. Maulah elo jadian ama gue” ujar Hendra sembari duduk di meja Sasti, kali ini posisi badannya sudah berada di depan Sasti.
“Idih… GJ. Untung ada temen gue Raya sama Firza yang sekelompok sama gue, apa jadinya kalau gue cuma berdua sama si Onoh… dia kan nggak ngerti apa-apa, bisa-bisa gue yang capek ngerjain sendirian, emang dasar beban kelompok. Huh…” jawab sasti sembari menengok ke arah Marni saat mengucapkan kata ‘si Onoh’
Marni yang mendengar hal tersebut, sakit hati bukan kepalang, bukan hanya tentang usahanya yang tidak dihargai, diklaim itu hasil kerja mereka, tapi dia juga dipermalukan di hadapan banyak orang, mengingat masih hampir 3/4 temannya masih berada di dalam kelas tersebut. Marni yang sudah tak tahan disana segera bergegas keluar dari dalam kelas dan dia segera pulang ke kos agar bisa cepat
meluapkan segala tangisnya. Di perjalanan pulang, Marni melewati masjid kampus yang sudah mengumandangkan iqomah, Marni yang saat itu sedang sangat sedih tidak mampu melanjutkan perjalanan ke kos dan ia memilih untuk mencurahkan segala hal yang ia rasakan di Masjid sembari sholat. Suasana di Masjid kala itu terlihat sangat sepi. Entah pergi kemana mahasiswa yang biasanya sholat, belajar, ataupun hanya duduk-duduk di Masjid.
Marni segera mengambil air wudhu, dan di sela-sela ia berwudhu, entah mengapa tiba-tiba air mana Marni jatuh, makin lama makin deras. Dan puncaknya, air mata itu pecah ketika Marni berdo’a setelah selesai melaknakan sholatnya. “Ya… Robbiii… kenapa orang-orang itu rela tidak menghargai perjuangan hamba, padahal hamba sudah sangat bekerja keras untuk dapat menyelesaikan itu semua?” batin Marni di sela do’a dan tangisnya.
Setelah berdo’a marni memutuskan untuk membaca Al-Qur’an agar lebih menenangkan hatinya. Ia membuka halaman Al-Qur’an secara random, dan ia sampai pada ayat “ وَكَفَ ى بِٱللَّ شَهِيدًا ” yang terdapat dalam surat Al-Fath ayat 28. Setelah membaca potongan surat tersebut wajah Marni tiba-tiba tersenyum dan ia berkata pada dirinya sendiri “Untuk apa aku menangis, aku sudah berusaha sekuat dan sebaik mungkin, maka cukup bagiku Allah SWT saja yang menjadi saksiku”.