Meniup Randa Tapak: Pesantren Semi Modern – Cerpen Abdi Galih Firmansyah

Merpati, Senja, dan Lelakiku

Meniup Randa Tapak – Pesantren Semi Modern
Karya: Abdi Galih Firmansyah

Saat sore menjelang magrib terlihat tiga santri sedang asyik berbincang di salah satu warung kopi langganan mereka. Kopi hitam dan rokok kretek adalah konsumsi paten kala berembuk di warung itu. Menurut beberapa orang, kopi dan rokok dipercaya dapat menciptakan kepuasan tersendiri bagi konsumennya, keduanya dipilih atas dasar keramahan harga dan keenakan rasa. Terutama bagi Hajil dan Nawi yang hidupnya pas-pasan di pesantren. Kopi hitam dan rokok kretek selain menciptakan kenikmatan, harganya juga bersahabat, dan itu adalah solusi yang paling tepat.

“Kalau saja pesantren membolehkan santrinya merokok, kasus kabur dari pondok pasti sudah tuntas!” Bukankah begitu? Hajil membuka obrolan.

Nawi menyingkap bungkus rokok lalu menyulutnya dan menyodorkan kepada Hajil. Wajahnya terlihat brilian ketika asap tembakau itu mengepul.

“Menurutku, idemu tidak cocok untuk pesantren yang coraknya modern, kalau salaf baru pas.” jawab Nawi.

“Status pesantren kita saja belum jelas. Para ustadnya berebutan pengaruh kesalafan dan kemodernannya. Menurutku, pesantren kita itu setengah salaf dan setengah modern. Hajil menimpal.”

“Meski begitu, masyarakat lebih mengenal Pesantren Jadal ini modern, karena yang terlihat dari luar seperti itu. Sekolah saja diwajibkan memakai pantofel, kita makan tinggal makan, lemari dan kasur pun premium. Kalau Salaf ya masak masak sendiri, tidur di mana-mana, sekolah pakai sandal. Beda jauh!” Nawi membalas.

Baki hanya terdiam, menyimak mereka beradu pendapat.

“Sudah-sudah kok jadi ribut, ini kopi dan tehnya diminum dulu. Baik salaf maupun modern yang penting kalian fokus belajar jangan kebanyakan ngopi begini!” Bu Yul melerai sekaligus menyuguhkan pesanan mereka.

Pesantren Jadal adalah pesantren semi modern. Para pendiri mengadopsi sistem pendidikan ala Gontor yang fokus terhadap praktik penggunaan bahasa internasional Arab-Inggris, serta memadukan dengan kultur pendidikan salaf yang mengacu kepada kitab kuning dalam mengkaji ilmu agama. Para santri diwajibkan berbahasa Arab-Inggris ketika berkomunikasi di lingkungan pesantren, baik dalam kondisi belajar maupun bercakap sehari-hari. Mereka diajarkan pula memaknai kitab dengan tulisan arab pegon.

Nawi dan Hajil adalah kawan seangkatan sedangkan Baki adalah adik kelas mereka. Nawi dapat dibilang sebagai santri yang lebih dewasa dibanding Baki dan Hajil. Dalam persahabatan mereka, Nawi bagaikan kakak tertua sedangkan Hajil adalah adik pertama yang humoris dan banyak ide. Topik pembicaraan selalu dimulai dari Hajil, sedangkan Baki adalah santri yang pendiam dan tertutup. Ia sering memendam ekspresi suka maupun duka, wajahnya tetap begitu, datar, tak bertukar. Ialah Sang Bungsu.

Persahabatan mereka dimulai ketika Baki meronta-ronta di gerbang pesantren memaksa pulang karena tak betah, padahal baru genap dua hari. Nawi dan Hajil memantau dari serambi masjid, dalam hati mereka muncul rasa iba dan berniat merawat Baki. Setelah pihak kemanan berhasil menenangkan, mereka menghampiri dan meminta izin untuk menemani dan bersedia tanggung jawab atas kebetahannya di pesantren. Sejak itulah, mereka selalu mengajak Baki kemanapun pergi.

Obrolan mereka berlanjut.

“Kalian tahu nggak, kasus Parli?” Hajil memulai.

“Wah edan itu santri, bisa-bisanya baru masuk sudah berani menghajar Pak Sobirin! Itu temanmu kan Ki?”

“Oh Parli, dia teman sekelasku.”

“Menurut rumor yang kudengar, ia marah kepada Pak Sobirin lantaran susah dibangunkan saat subuh. Begitu air dicipratkan ke wajahnya, ia ngamuk luar biasa. Menantang Pak Sobirin hingga mendorong beliau sampai menabrak pintu.” sambung Hajil.

“Lalu apakah Pak Sobirin membalasnya?” Nawi bertanya.

“Bagaimana mau membalas, apakah kalian tidak tahu kalau Parli itu keponakan Pak Muktamir, kepala pesantren kita. Ya mana berani.”

Langit mulai memunculkan kemerahannya, tanda magrib sudah mendekat. Mereka bergegas kembali ke pesantren. Baki tak pernah lupa memetik Randa Tapak yang banyak tumbuh di sekitar warung kopi. Ia suka meniup bunga itu sambil menikmati senja yang terbaring. Matahari semakin redup, menyisakan misteri hidup.

Ada Pelik Menimpa Baki

“Ketika salat berjemaah, seorang imam diwajibkan mengeraskan Basmalah dalam Al-Fatihah, menurut pendapat siapakah itu?”

“Imam Syafi’i pak.”

“Ya, tepat sekali.”

Petanyaan Pak Burhan, disambar langsung oleh Baki ketika santri lain sibuk sendiri. Ada yang memandangi atap kelas, ada yang sibuk berdebat jawaban, ada juga yang sibuk menjahili teman.

“Ketika salat berjemaah seorang imam disunnahkan melirihkan Basmalah dalam Al-Fatihah, menurut pendapat siapakah itu?”

“Imam Hanafi.”

Jawaban Baki tangkas, mengagetkan temannya yang lain. Semuanya kagum kepadanya tapi tidak bagi Parli. Wajahnya kecut seolah ia tak terima dengan raut apresiatif temannya terhadap Baki. Ia bergegas menuju bangku persis di belakangnya, mengusir santri yang duduk di situ dengan isyarat jari telunjuk dan lirikan mata yang tajam.

“Hei awas ya kalau kau jawab pertanyaan Pak Burhan lagi, mampus kau!” Parli berbisik mengancam.

Baki seketika terdiam, ia kaget bahwa bisikan itu adalah suara Parli. Ia tak mau mengambil resiko, saat pertanyaan selanjutnya dilambungkan ia lebih memilih diam meski jawaban sangatlah jelas di benaknya. Perlakuan itu menggoncang mentalnya, sejak kejadian itu ia menjadi pribadi yang suka menutup diri dan kesusahan mengekspresikan wajahnya, apalagi kalau ada Parli. Nawi dan Hajil tak mengetahui jika Sang Adik mendapat perlakuan seperti itu, andaikan mereka tahu pun belum tentu berani menindak Parli, karena bekingannya pusat.

Di sekolah, kamar, kantin, atau di tempat lain lirikan mata Parli selalu mengganggunya. Kemana-mana selalu terbayang wajahnya. Hidupnya jadi tak tenang di pesantren. Ia memilih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan untuk membaca buku daripada bermain dengan kawan-kawannya, lantaran takut melihat wajah Parli. Ia selalu menunggu Jumát tiba, karena di hari itulah kakaknya biasa mengajak ngopi di luar dan memang hanya di hari itu saja para santri dibolehkan keluar pesantren, di sana ia bisa melepaskan sedikit kepenatan dengan mendengarkan mereka cerita tentang apapun.

Mata Itu

“Ngomong-ngomong aku ada rekomendasi buku menarik untuk kalian?” Hajil memulai.

“Aku tahu, Filosofi Teras kan! Sudah bisa kutebak.”

“Iya betul, tahu saja kamu Wi.”

“Aku sudah tamat buku itu beberapa hari yang lalu, sebelum kamu beli.”

Baki hanya menyimak pembicaraan kakaknya.

“Kalau kamu Ki?”

“Enggak, aku baru dengar buku itu dari kalian.”

“Kamu harus membacanya, apalagi sifatmu sangat kaku begini, seperti menyimpan banyak masalah. Bacalah, pasti hidupmu berubah. Wajahmu ini tak lihat lihat seperti psikopat. Kemana mana selalu datar.” Hajil berujar disertai gelak tawa.

“Huss, ngawur. Kamu kalau ada masalah cerita saja, jangan dipendam!” ujar Nawi.

“Enggak kok, ya memang begini wajahku, datar seperti biasanya.” Baki menjawab.

“Sudah, kamu jujur saja. Aku tahu memang wajahmu begitu, tapi yang ini beda. Kamu memendam masalah kan? sudah jujur saja!” Nawi hanya membatin.

“Enggak kok, ayo balik keburu magrib!” Baki menyudahi pembicaraan.

Mereka bertiga balik menuju pesantren. Baki berjalan di belakang kedua kakaknya sambil menyimpan hingar duka dalam hati sambil menggenggam Randa Tapak kesukaannya. Ia agaknya menyesalkan waktu berkeluh kepada mereka yang terbuang sia-sia, hanya dapat meniup bunga itu dan berharap tangisnya menguap dan terbang bersama anai-anai.

Matahari semakin redup, masih menyisakan misteri hidup.

Jawaban dari Mimpi

Waktu istirahat telah tiba. Baki bergegas menuju perpustakaan tanpa menghiraukan apa-apa. Ia teringat buku yang diceritakan kakaknya kemarin, Filosofi Teras. Buku filsafat karya Henry Manampiring yang membahas Filsafat Stoisisme dengan bahasa sederhana dan dicocokkan dengan situasi zaman modern. Berbeda dengan filsafat lain yang lebih menekankan pemahaman teoritis, Stoisisme lebih bersifat praktis, mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Filsafat ini mengajarkan melihat masalah dengan bahagia dan penuh optimis. Salah satu tokohnya yang terkenal adalah Marcus Aurelius Sang Kaisar Romawi sekaligus filsuf.

“STAR!”

Setelah melewati beberapa halaman ia menemukan satu formula benteng hidup yang membuatnya lega. Stop, ketika emosi negatif muncul maka yang harus dilakukan adalah berhenti. Think, setelah itu baru berfikir. Assess, lalu menilai. Yang terakhir Respond, baru menanggapi. Disingkat STAR!

“Maka ketika Parli mengancam seperti itu, aku harus mengosongkan pikiran sekarang juga. Lalu apakah ancaman itu boleh mengganggu ekspresi wajahku? Yang benar saja, ya enggak lah. Omongan itu sama sekali tak punya hak sampai situ. Lalu apakah lirikan matanya boleh membatasi pertemananku? Ya enggak juga. Memangnya lirikan mata itu apa bisa merantai kaki-tanganku? membungkam mulutku? nyatanya aku masih leluasa berjalan kemana-mana pun dapat bicara tentang apapun. Berarti semua yang dilakukan Parli kepadaku sama sekali tak ada pengaruhnya! Buat apa aku pusing-pusing? anggap saja dia itu monyet gila yang harus kita maklumi kelakuannya, selesai kan!”

Baki semakin antusias membaca buku itu. Ia meminjam kepada pustakawan selama dua minggu ke depan. Setiap hari ia menyisihkan waktu dua jam untuk buku. Ia biasa membaca tengah malam, ketika semua temannya terlelap hingga suatu saat ia tertidur dan mimpi bertemu Marcus Aurelius di tengah hamparan sabana yang dipenuhi Bunga Randa Tapak. Mereka duduk berdua di atas kursi panjang memandang langit di bawah purnama dan bintang.

Marcus berkata:

“Alam semesta berada di dalam jiwamu, kebahagiaan bisa kau ciptakan, pun kesedihan bisa kau taklukkan!”

Ia berpesan singkat lalu menghilang, meninggalkan Baki yang larut dalam mimpinya. Ribuan Randa Tapak saling beterbangan ke atas, semuanya menghamburkan anai anai, sedang Baki asyik menari-nari bersama mereka.

Tagar:

Bagikan postingan

8 Responses

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *